Hari Kusta Sedunia: Kenali Gejala-gejala Penyakit yang Telah Ribuan Tahun Menjangkiti Manusia
Masyarakat di seluruh dunia biasa memperingati Hari Kusta Sedunia (HKS) pada setiap hari Minggu terakhir di bulan Januari.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Masyarakat di seluruh dunia biasa memperingati Hari Kusta Sedunia (HKS) pada setiap hari Minggu terakhir di bulan Januari.
Pada tahun ini peringatan HKS tersebut jatuh pada 30 Januari 2022.
Kementerian Kesehatan RI dalam peringatan HKS tahun ini mengangkat tema Hapuskan Stigma dan Diskriminasi Kusta.
Tema ini diangkat karena kusta sering dianggap sebagai penyakit kutukan, keturunan dan bahkan berasal dari makanan.
Padahal, kusta bukanlah penyakit kutukan dan penderitanya tidak boleh dikucilkan karena kesalahpahaman atau kekeliruan stigma yang ada di masyarakat tersebut.
Baca juga: Hari Kusta Sedunia, Ganjar: Yang Dijauhi Penyakitnya, Jangan Orangnya
Apa itu kusta? Kusta adalah penyakit menular menahun atau infeksi kronik yang disebabkan oleh kuman kusta yaitu Mycobacteriu leprae.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkategorikan kusta sebagai salah satu Penyakit Tropis Terabaikan (NTD) yang ada di Indonesia, yang paling sering bermanifestasi pada jaringan kulit.
Penyakit ini juga menyerang saraf tepi, dan organ tubuh lainnya.
Meski sering bermanifestasi di jaringan kulit, tetapi penularan penyakit yang satu ini diketahui melalui pernapasan dan kontak erat dengan durasi lama.
Gejala awal penyakit kusta ditandai dengan timbulnya bercak merah ataupun putih pada kulit, yang tidak gatal, tidak sakit dan tidak sembuh dengan obat kulit biasa.
Gejala kusta jika tidak segera diobati, maka berpotensi menimbulkan kecacatan yang berpeluang menjadi sumber diskriminasi baik kepada penderita maupun keluarga penyintas itu.
Baca juga: Hari kusta internasional: Kusta merenggut masa remajaku dan bagaimana aku bangkit untuk sembuh
Situasi kusta di Indonesia Indonesia menempati peringkat ketiga negara dengan penderita kusta terbanyak setelah India dan Brasil.
Berdasarkan data yang dihimpun Kemenkes per tanggal 24 Januari 2022 mencatat jumlah kasus kusta terdaftar yakni 13.487 kasus dengan penemuan kasus baru sebanyak 7.146 kasus.
Di tahun 2021, tercatat sebanyak 6 provinsi dan 101 kabupaten/kota di Indonesia yang belum mencapai eliminasi kusta.
Keenam provinsi tersebut adalah Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Eliminasi kusta di Indonesia Dalam peringatan Hari Kusta Sedunia, Kemenkes menyebutkan bahwa eliminasi kusta di Indonesia menghadapi tantangan yang sangat kompleks.
Baca juga: Pemerintah Indonesia Targetkan Eliminasi Kusta Tahun 2024
Sebab, yang terlibat bukan hanya dari bidang medis, tetapi juga meluas hingga masalah sosial, ekonomi dan budaya karena masih terdapat stigma dan diskriminasi di masyarakat terhadap penderita kusta dan keluarganya ini.
Kerap kali, akibat stigma ini pasien kusta tidak dapat melanjutkan pendidikan, sulit mendapat pekerjaan, diceraikan oleh pasangan, dikucilkan oleh lingkungan, ditolak di fasilitas umum bahkan fasilitas pelayanan kesehatan.
"Untuk itu, melalui tema nasional 'Hapuskan Stigam dan Diskriminasi Kusta', peringata HKS 2022 mengajak seluruh elemen bangsa untuk menggalakkan kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif sebagai upaya untuk mencapai eliminasi kusta," tulis Kemenkes dikutip dari akun resminya, Senin (31/1/2022).
Baca juga: Kusta Sering Dianggap Penyakit karena Guna-guna, Hingga 2020, Total Kasus di Indonesia Capai 17 Ribu
Eliminasi atau pemberantasan kusta sendiri selain terhalang dari stigma yang dipercayai masyarakat, tetapi ketakutan dan rasa malu pasien untuk berobat juga menjadi ancaman semakin sulitnya pengentasan kusta di Indonesia bisa dilakukan.
Padahal, Ketua Kelompok Studi Morbus Hansen (Kusta), Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski), Dr dr Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi, SpKK(K) yang akrab disebut dr Dini menegaskan bahwa kusta bukanlah penyakit kutukan.
Kusta bukan disebabkan oleh kutukan, guna-guna, makanan atau penyakit keturunan seperti yang masih banyak dipercaya oleh masyarakat.
"Kusta ini bukan penyakit kutukan seperti yang dipikirkan orang-orang yang belum tahu itu, karena kusta ini penyebabnya jelas, pengobatannya juga ada, cuma mereka (penderitanya) saja yang kadang tidak tahu kalau mereka kena gejala kusta dan terlambat mengobatinya," ujar dr Dini.
Serta, kusta bukanlah penyakit orang miskin, dan bisa terjadi pada segala jenjang usia, serta meskipun menular tapi penderitanya tidak boleh dikucilkan.
Penyakit Kuno
Kusta adalah penyakit kuno yang telah ribuan tahun menjangkiti manusia. Meski telah ribuan tahun ada, penyebab kusta ternyata baru diketahui secara sains pada tahun 1873.
Hari Kusta Sedunia (HKS) diperingati setiap Minggu terakhir Januari, di mana pada tahun ini peringatan tersebut jatuh pada 30 Januari 2022.
Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per tanggal 24 Januari 2022 mencatat jumlah kasus kusta terdaftar yakni 13.487 kasus dengan penemuan kasus baru sebanyak 7.146 kasus.
Eliminasi kusta menjadi target utama pemerintah, terutama di 6 provinsi yang masih teridentifikasi kasusnya sampai saat ini, seperti Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Sebagai upaya pencegahan terjadinya kusta atau akibat buruk daripada penyakit yang juga disebut lepra ini, maka pahami penyebab dan gejala-gejala yang harus diwaspadai sebegai pertanda penyakit ini.
Penyebab penyakit kusta
Ribuan tahun menjangkiti manusia, penyebab kusta secara sains baru ditemukan pada 1873. Ternyata, kusta adalah penyakit yang terjadi akibat infeksi dari bakteri atau kuman Mycobacterium leprae.
Bakteri ini ditemukan oleh ilmuwan Norwegia, Gerhard Henrik Armanuer Hansen. Untuk penghormatan untuk dia pula, sekaligus mengeliminasi stigma penggunaan nama lepra atau kusta, penyakit ini belakangan disebut pula dengan nama Morbus Hansen.
Riset terbaru pada 2008, kusta dengan tipe yang berbeda disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium lepromatosis.
Sejumlah deskripsi evolusi bakteri dan jenis kusta yang ditimbulkannya diurai lengkap dalam riset tersebut.
Penyakit kusta pada dasarnya dapat diobati.
Namun, perkembangan penyakit ini sulit diukur secara in vitro. Ini adalah teknik pengembangbiakan kultur jaringan dalam istilah biologi.
Karenanya, masih banyak sisi penyakit kusta masih tidak dipahami, termasuk asal, rute penularan awal, dan waktu untuk penyebarannya.
Tak terkecuali di Indonesia dan kasus penyakit kusta di Indonesia tak lagi sebanyak era 1970-an.
Namun, Data Global Leprosy Update Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2017 menyebut, jumlah kasus baru kusta di Indonesia tertinggi ketiga di dunia (15.910 kasus) setelah India (126.164 kasus) dan Brasil (26.875 kasus).
Sementara, berdasarkan data yang dihimpun Kemenkes per tanggal 24 Januari 2022 mencatat jumlah kasus kusta terdaftar yakni 13.487 kasus dengan penemuan kasus baru sebanyak 7.146 kasus.
Gejala penyakit kusta
Ketua Kelompok Studi Morbus Hansen (Kusta), Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski), Dr dr Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi, SpKK(K) yang akrab disapa dr Dini mengatakan, gejala awal kusta tidak selalu tampak jelas.
1. Bercak putih seperti panu
Tanda-tanda awal kusta biasanya berupa bercak putih seperti panu, atau bercak kemerahan yang berukuran sebesar koin hingga selebar telapak tangan dan mati rasa atau kebal.
Kulit pada bercak tersebut kering karena terjadi gangguan berkeringat. Jumlah bercak bisa satu buah, atau sangat banyak.
2. Benjolan
Gejala kusta lainnya yang sering dialami penderita juga berupa benjolan di sekitar wajah seperti jerawat batu, benjolan di telinga, dan bisul yang lama dan banyak.
Ada juga yang mengalami gejala seperti luka bakar dan bekas kulit yang habis dijahit.
"Kusta di kulit ini bisa muncul di manapun di tubuh, muka, tangan, kaku, punggung, dan lain-lainnya. Tapi yang paling sering kami cek adalah bengkak atau benjol di telinga, itu meski ada gejala yang lain, tapi biasanya juga merah dan benjol telinganya (pasien)," tutur Dini dalam pemberitaan Kompas.com edisi 9 Semptember 2019.
3. Mati rasa
Selain itu, ada pula gejala kusta namun tidak tampak di kulit penderita. Sebab, kusta juga bisa menyerang gangguan saraf tepi tubuh penderitanya sehingga menyebabkan beberapa anggota tubuh mengalami mati rasa.
Setelah itu, gejala kusta lainnya diikuti dengan pembengkakan atau benjol pada bagian sarafnya.
4. Kesemutan
Rasa kesemutan terutama pada siku hingga jari-jari tangan atau pada area sekitar punggung kaki, juga menjadi gejala kusta yang dapat muncul jika terjadi peradangan pada saraf tepi lengan (siku) atau tungkai bagian bawah (lutut).
5. Kelumpuhan mirip stroke
Bahkan ada kalanya pasien datang dengan kelumpuhan kaki atau tangan mirip stroke, meskipun penyakit ini tidak berhubungan dengan stroke.
Dini berkata bahwa hal ini karena kuman kusta menyerang saraf di tangan dan kaki yang dapat mengakibatkan kelemahan otot, menyerupai lumpuh, atau sering disebut kaki semper atau tangan kiting.
"Juga ada yang enggak muncul kusta itu di kulit, tapi pas lihat sarafnya itu ada benjolan, atau mati rasa bagaian tubuhnya tangan atau kaki. Tapi banyak dari mereka (penderita) itu mikirnya biasanya aja, toh gak sakit, jadi dibiarkan. Bahkan ada yang sampai mengalami stroke, pasien itu periksa karena stroke katanya, eh ternyata ditelusuri dokternya itu karena kusta," jelas Dini.
6. Komplikasi
Diakui Dini, bakteri atau kuman yang menyebabkan kusta ini tidak menyebabkan kematian seperti bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan tuberkulosis atau TBC.
"Karena gejala yang ada itu biasanya tidak sakit, makanya banyak masyarakat yang menganggap itu tidak jadi masalah besar. Ya selama menurut mereka tidak mengganggu aktivitas mereka saja, kalau sakit nah baru banyak yang periksa," imbuh Dini.
Jika gejala penyakit kusta tersebut tidak segera ditangani dan disembuhkan, maka penderita akan mengalami cacat tubuh yang buruknya bisa permanen.
Terutama jika kusta tersebut memiliki komplikasi terhadap gangguan penyakit yang lain.
"Saya akui itu bakteri (kusta) tidak mematikan kayak bakteri TBC, tetapi kalau sudah parah kustanya dan enggak segera diobati, bukan tidak mungkin selain cacat tubuh (yang) permanen, juga bisa menyebabkan kematian karena bisa jadi ada komplikasi dengan bakteri atau kuman dari penyakit lainnya juga," jelas Dini. (Ellyvon Pranita)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Hari Kusta Sedunia: Apa Itu Kusta dan Perkembangan Penyakit ini di Indonesia"