4 Juli jadi Hari Terpanas di Bumi, Ilmuwan Sebut Suhu Mencapai yang Tertinggi sejak 1979
Para ilmuwan menyebut pada tanggal 4 Juli 2023 kemarin menjadi hari paling panas di Bumi. Hal tersebut dikarenakan adanya perubahan iklim.
Penulis: Whiesa Daniswara
Editor: Nanda Lusiana Saputri
TRIBUNNEWS.COM - Pada Selasa (4/7/2023) kemarin, ditetapkan sebagai hari paling panas di Bumi.
Bumi telah mengalami kenaikan suhu paling tinggi sejak tahun 1979 pada 4 Juli kemarin.
Para ilmuwan mencatat, suhu rata-rata global naik 17,18 derajat celcius pada 4 Juli.
Akibatnya, beberapa ilmuwan percaya bahwa 4 Juli mungkin merupakan salah satu hari terpanas di Bumi dalam sekitar 125.000 tahun.
Dikutip dari The Washington Post, hal tersebut dikarenakan kombinasi berbahaya dari perubahan iklim yang menyebabkan suhu global melonjak, kembalinya pola El Nino, dan awal musim panas di belahan bumi utara.
Maka dari itu, para ilmuwan percaya akan terjadi banyak rekor panas pada musim panas ini.
Baca juga: Solusi Mengatasi Terjadinya Pemanasan Global
The Washington Post melaporkan di Amerika Serikat, 57 juta orang terkena panas berbahaya.
Di saat yang sama, China dilanda gelombang panas, Antartika lebih panas dari biasanya selama musim dingin, dan suhu di utara Afrika mencapai 50 derajat celcius.
Suhu rata-rata global hari Selasa dihitung dengan model yang menggunakan data dari stasiun cuaca, kapal, pelampung laut, dan satelit.
Sistem pemodelan ini telah digunakan untuk memperkirakan suhu rata-rata harian mulai tahun 1979.
"Ini adalah 'tebakan terbaik' kami tentang suhu permukaan di setiap titik di bumi kemarin," kata ilmuwan di Institut Grantham London, Paulo Ceppi.
Baca juga: Fakta Perubahan Lingkungan akibat Pemanasan Global
"Data ini memberi tahu kita bahwa belum pernah sehangat ini setidaknya sejak 125.000 tahun lalu, yang merupakan interglasial sebelumnya," lanjutnya.
Sementara itu, ilmuwan dari Barkeley Earth, Robert Hode mengatakan, rekor panas harian mungkin akan dipecahkan lagi.
"Kita mungkin akan melihat beberapa hari yang lebih hangat selama enam minggu ke depan," kata Rohde, dikutip dari USA Today.
Rekor global bukanlah jenis yang biasanya digunakan oleh entitas pengukuran iklim standar emas seperti National Oceanic and Atmospheric Association.
Akan tetapi, ini adalah indikasi bahwa perubahan iklim sedang mencapai wilayah yang belum dipetakan.
Baca juga: Mengenal Apa Itu Pemanasan Global, Lengkap dengan Penyebabnya
Stefan Rahmstorf, seorang ilmuwan di Potsdam Institute untuk Penelitian Iklim di Jerman mengatakan, faktor utama pemanasan global tetaplah perubahan iklim.
"Meningkatnya pemanasan planet kita yang disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil bukanlah hal yang tidak terduga bagaimanapun juga sudah diprediksi pada abad ke-19," katanya.
"Tapi itu berbahaya bagi kita manusia dan bagi ekosistem yang kita andalkan. Kita harus menghentikannya dengan cepat," ungkapnya.
Selama beberapa bulan mendatang, para ilmuwan mengharapkan lebih banyak hari panas yang memecahkan rekor karena kembalinya El Nino setelah empat tahun absen.
Pada bulan Juni, para ilmuwan menyatakan bahwa fenomena tersebut yang mendorong atmosfer untuk memerangkap lebih banyak panas kembali terjadi.
Baca juga: Dampak Pemanasan Global: Tingginya Temperatur Bumi hingga Penipisan Lapisan Ozon
"Rekor suhu global adalah kombinasi dari variasi alami dalam iklim dan tren pemanasan global yang mendasarinya," kata ilmuwan di Institut Grantham London, Paulo Ceppi.
Pola tersebut menggambarkan bagaimana lautan "menghirup" dan "menghembuskan" panas setiap beberapa tahun, kata Ceppi.
"Saat ini kita berada dalam fase di mana lautan melepaskan panas ke atmosfer."
"Melihat ke masa depan, kita dapat memperkirakan pemanasan global akan terus berlanjut dan karenanya rekor suhu akan semakin sering dipecahkan, kecuali jika kita segera bertindak untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi nol bersih," pungkas Ceppi.
(Tribunnews.com/Whiesa)