Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Asal Mula Sekaten, Tradisi Perayaan Maulid Nabi di Keraton Yogyakarta dan Surakarta

Sekaten yang menjadi tradisi perayaan Maulid Nabi di Keraton Yogyakarta dan Surakarta berasal dari bahasa Arab syahadatain.

Penulis: Fitriana Andriyani
Editor: Fathul Amanah
zoom-in Asal Mula Sekaten, Tradisi Perayaan Maulid Nabi di Keraton Yogyakarta dan Surakarta
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
Alunan Gamelan Kyai Guntur Madu - Abdi Dalem Keraton Yogyakarta memainkan gamelan Kyai Guntur Madu di kompleks Masjid Gede Kauman, Yogyakarta, Jumat (18/1). Tradisi setiap perayaan Sekaten tersebut selalu dinanti oleh warga yang meyakini bahwa alunan bunyi gamelan tersebut dapat menghadirkan berkah serta ketentraman dalam kehidupan mereka. Kompas/Ferganata Indra Riatmoko (DRA) 

TRIBUNNEWS.COM - Sekaten adalah rangkaian kegiatan tahunan sebagai peringatan ulang tahun Nabi Muhammad yang diadakan oleh keraton Surakarta dan Yogyakarta.

Dilansir dari Wikipedia, kebanyakan pustaka bersepakat bahwa nama Sekaten adalah adaptasi dari istilah bahasa Arab, syahadatain.

Syahadatain berarti "persaksian (syahadat) yang dua", maksudnya adalah persaksian atas syahadat yang terdiri dari dua kalimat.

Perluasan makna dari sekaten dapat dikaitkan dengan istilah sahutain yang bererti menghentikan atau menghindari perkara dua.

Dua perkara itu adalah sifat lacur dan menyeleweng.

Baca: Insiden Kabin Terbalik, Walkot Jogja Tutup Semua Wahana Bianglala dan Kora-Kora di Acara Sekaten

Sekaten juga bisa dikaitkan dengan sakhatain atau menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan.

Kemudian juga sakhotain yakni menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan.

Berita Rekomendasi

Sekati atau setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk.

Serta sekat yakni batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan.

Rangkaian perayaan secara resmi berlangsung dari tanggal 5 dan berakhir pada tanggal 12 Mulud penanggalan Jawa.

Dalam kalender Masehi, tahun ini Sekaten diadakan sejak Senin, 12 November hingga Selasa, 12 November 2018.

Awal mula dan maksud perayaan Sekaten dapat ditarik sejak mulainya kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa, yaitu zaman Kesultanan Demak.

Sekaten diadakan sebagai salah satu upaya menyiarkan agama Islam.

Karena orang Jawa saat itu menyukai gamelan, pada hari raya Islam yaitu pada hari lahirnya Nabi Muhammad di halaman Masjid Agung Demak dimainkanlah gamelan.

Hal itu dapat menarik masyarakat berduyun-duyun datang ke halaman masjid untuk mendengarkan gamelan.

Saat itulah khutbah-khutbah mengenai keislaman juga disiarkan.

Baca: Vicky Shu Takjub Lihat Pasar Malam Sekaten Saat Jalan-jalan di Solo

Dilansir Tribunnews.com dari Karatonsurakarta.wordpress.com, Sekaten merupakan perimbangan dari tuntunan dan tontonan.

Sekaten diadakan sebagai penghormatan terhadap lahirnya tuntunan bagi manusia.

Penghormatan itu perlu didengungkan terus-menerus ke pelosok masyarakat sampai kapanpun juga.

Masyarakat yang datang ke Sekaten tidak lain hanya ingin mendapatkan pencerahan (berkah) dari tuntunan.

Tuntunan yang terbukti membawa manusia hidup dalam kebahagiaan lahir batin.

Semangat perayaan Sekaten tak lain sebuah peringatan kepada manusia untuk dapat hormat-menghormati satu sama lain.

Sekaten juga menjadi peringatan bagi manusia untuk dapat mengakui ide-ide orang lain.

Juga bisa mengakui kesalahan dengan Legawa dan menerima kemenangan dengan syukur dan takwa serta tidak takabur.

Sebenarnya, orang-orang yang mendatangi Sekaten pada dasarnya adalah mereka yang mau diatur oleh tuntunan.

Serta menghambakan diri kepada Tuhan , menuju manusia sejati sebagaimana yang diharapkan para Wali.

Nyatalah bahwa perayaan Sekaten diperuntukkan bagi mereka yang menghendaki tuntunan.

Hal itu memang dikehendaki oleh para Wali Songo.

Baca: Walikota Yogyakarta Hentikan Operasional Bianglala Sekaten Pasca Insiden Terbaliknya Gerbong Wahana

Para Wali sepakat untuk mengemas dakwahnya dalam tontonan yang menghadirkan gamelan pusaka peninggalan dinasti Majapahit yang telah dibawa ke Demak.

Itu berkat kejelian, kecerdasan, dan kedekatan para Wali pada masyarakatnya.

Di Karaton Surakarta tradisi menabuh gamelan dilaksanakan di Bangsal Pagongan, Mesjid Agung Karaton Surakarta.

Yang harus disimak dari Gendhing-gendhing Gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari adalah makna yang ada di dalamnya.

Setidaknya ada dua kebenaran yang hendak disampaikan.

Pertama adalah Syahadat Taukhid, yakin pada adanya Allah SWT, dilambangkan dalam gendhing ‘Rembu’.

Berasal dari kata Robbuna yang artinya Allah Tuhanku yang dikumandangkan dari gamelan Kyai Guntur Madu.

Perkara kedua adalah Syahadat Rosul dari Gamelan Kyai Guntur Sari, yakni Gendhing ‘Rangkung’.

Rangkung berasal dari kata Roukhun yang artinya Jiwa Besar atau Jiwa Yang Agung.

Semua tidak hanya sebagai tontonan atau hiburan belaka.

(Tribunnews.com/Fitriana Andriyani)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas