Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Seleb

Soegija, Kisah Pejuang Tanpa Senjata

Soegija merasa perjuangannya belum ada apa-apanya dibandingkan Bung Karno, Soedirman, Sultan Hamengku Buwono IX

Penulis: Willem Jonata
Editor: Gusti Sawabi
zoom-in Soegija, Kisah Pejuang Tanpa Senjata
Berdikari
Adegan Mgr Soegija berbincang dengan seorang pejuang 

Laporan Willem Jonata

TRIBUNNEWS.COM - Situasi di berbagai belahan dunia memburuk. Tahun 1941, Pangkalan militer Amerika Serikat, di Pearl Harbor luluh-lantak akibat serangan mendadak yang dilancarkan pasukan Jepang. Di Eropa perang juga berkecamuk. Inggris, Perancis, dan Belanda, berjibaku menghadapi gempuran serdadu Jerman.

Pada 1942, Jepang muncul sebagai kekuatan baru sekaligus mengklaim sebagai pemimpin di Asia. Kedudukan Belanda di Indonesia pun melemah dan menyerahkan kekuasannya tanpa syarat. Bangsa Indonesia menyambut gembira karena Jepang menjanjikan kemerdekaan.

Kenyataan jauh panggang dari api. Jepang mengeksploitasi Indonesia di setiap lini. Penjajahan baru dimulai. Mereka memperkuat basis militer dengan membangun pertahanan untuk menghalau serangan sekutu. Berbagai cara dilakukan. Termasuk merekrut pemuda untuk dilatih sebagai tentara. Tak sedikit pula yang dijadikan romusa atau pekerja paksa. Kaum wanita diculik dari rumahnya.

Dalam peristiwa tersebut, banyak orang kehilangan anggota keluarga. Ling Ling, gadis kecil keturunan Tionghoa itu, menangis setelah ibunya (Olga Lydia) dibawa paksa oleh tentara Jepang. Mariyem, remaja yang bercita-cita menjadi perawat terpaksa hidup sebatangkara setelah kakak kandungnya bersembunyi entah di mana. Suasana betul-betul mencekam.

Romo Soegijapranata (Nirwan Dewanto) gelisah. Ia melihat keadaan rakyat semakin menderita dilanda ketakutan dan kelaparan. Emosinya sempat memuncak saat Suzuki, tentara Jepang itu, berupaya mengambil alih gereja untuk dijadikan markas militer. Dengan lantang, ia menolak keinginan tentara Jepang itu.

Soegija sengaja memanfaatkan hubungan diplomatik Jepang dan Vatikan supaya Suzuki tidak memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Soegija saat itu adalah uskup Indonesia pertama yang diangkat oleh Vatikan. "Penggal dulu kepala saya, baru kamu bisa pakai tempat ini."

Berita Rekomendasi

Setelah Suzuki meninggalkan gereja, Koster Toegimin (Butet Kertaredjasa) kemudian muncul dari belakang. "Apa yang harus kita perbuat," tanya pelayan yang setiap hari membantu Soegija menjalankan tugasnya sebagai uskup. Soegija tertegun sejenak mendengarkan pertanyaan Toegimin. "Ada saatnya kita tidak bisa berbuat apa-apa," jawabnya singkat.

Dari situ Romo Soegija mengawali kiprahnya dalam memperjuangankan kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah ketika merasa tidak berdaya melawan ketidakadilan. Ia hanya meluapkan kegelisahannya dengan menulis di buku harian. Air matanya berlinang.

Ketidakberdayaan itulah menjadi titik tolak Soegija untuk bertindak. Di tengah kekacauan, ia memandu religiusitas masyarakat dalam perspektif nasionalisme yang mengedepankan kemanusiaan. Ia menjalankan silent diplomacy, mengupayakan melakukan perundingan damai yang melibatkan sekutu, Belanda, dan Jepang, dengan menginisiasi gencatan senjata di tengah perang 5 hari di Semarang.

Ia juga melakukan surat-menyurat dan pertemuan bersama pemimpin Indonesia seperti Syahrir, Soekarno, Sultan Hamengku Buwono IX, dan pemimpin lainnya untuk merencanakan pergerakan menuju Indonesia merdeka. Soegija mendukung pengorganisasian kepemudaan dan terus melakukan pelayanan sosial dengan mengunjungi warga di rumah sakit dan pengungsian.

Pascakemerdekaan, Belanda rupanya ingin kembali berkuasa lewat agresi militernya. Soegija memutuskan memindahkan Keuskupan Semarang ke Yogyakarta sebagai bentuk dukungannya terhadap upaya mempertahankan kemerdekaan. Yogyakarta saat itu menjadi ibukota republik.


Soegija tidak mengangkat senjata. Ia terus berjuang dengan cara silent diplomacy yang menggugah Vatikan memberikan dukungannya untuk kemerdekaan Indonesia. Pengaruh dukungan Vatikan luar biasa dan berdampak luas sehingga menaruh simpati dunia internasional. Belanda kemudian hengkang.

Meski begitu, Soegija tetap rendah hati saat Koster Toegimin memuji upayanya memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Soegija merasa perjuangannya belum ada apa-apanya dibandingkan Bung Karno, Soedirman, Sultan Hamengku Buwono IX, dan pemimpin lainnya di negeri ini.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas