Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Seleb

'Di Timur Matahari', Potret Buram dan Harapan Tanah Papua

14 Juni 2012, film 'Di Timur Matahari' yang berkisah tentang potret buram dan harapan Tanah Papua mulai masuk bioskop.

Penulis: Willem Jonata
Editor: Agung Budi Santoso
zoom-in 'Di Timur Matahari', Potret Buram dan Harapan Tanah Papua
Alinea Pictures
Para pemain cilik di film Di Timur Matahari. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willem Jonata

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mazmur, Thomas dan teman-temannya menunggu kedatangan guru pengganti yang akan mengajar mereka di sekolah.

Anak-anak dari Pegunungan Tengah Papua itu menunggu di lapangan udara yang berlandaskan rumput, satu-satunya penghubung kampung dengan kehidupan di luar.

Enam bulan sudah berlalu. Guru pengganti yang ditunggu tak datang jua. Mereka terpaksa "liburan". Karena bosan menunggu, mereka kemudian mencari alternatif lain untuk mengisi aktivitasnya. Mereka ke tempat om Ucok (Agus Ringgo) untuk mencari pekerjaan.

Demikianlah sekelumit kisah anak-anak Papua yang belum mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan layak akibat terbatasnya akses transportasi. Sutradara Ari Sihasale menggambarkan kisah tersebut lewat film berjudul "Di Timur Matahari" lewat rumah produksi Alinea Pictures.

"Apa yang saya gambarkan di situ adalah potret di sana," ucap Ari, Senin, (11/6/2012), di Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan.

Bukan itu saja, Ari memaparkan konflik antar suku yang kerap terjadi di Papua. Bermula dari transaksi penjualan burung dengan uang palsu mengakibatkan terbunuhnya Blasius, ayah Mazmur. Blasius terbunuh oleh Joseph, yang berasal dari suku tetangga. Peristiwa itu menyisakan duka. Mazmur menangis. Istrinya harus memotong jarinya karena merasa kehilangan belahan jiwanya.

Berita Rekomendasi

Saudara-saudara Blasius menaruh dendam. Namun, upaya balas dendam itu dihalang-halangi oleh pendeta Samuel (Lukman Sardi). Michael, adik Blasius yang datang ke kampung halamannya bersama istrinya (Laura Basuki) dari Jakarta, juga tidak setuju dengan rencana balas dendam yang sudah direncanakan saudara-saudaranya itu.

Maklum, Michael sudah lama merantau ke Jakarta. Ia memperoleh pendidikan tinggi setelah Mama Jawa membawanya ke ibukota. Ia menikah dengan Vina, seorang wanita moderen berdarah Tionghoa. Michael sadar betul rencana saudara-saudaranya untuk balas dendam bukan jalan keluar yang bijaksana. Namun, saudara-saudaranya bersikeras.

Untuk menyelesaikan masalah itu, Michael dan istrinya tinggal di kampung halamannya. Sebagai sutradara suami Nia Zulkarnaen itu, pandai menggambarkan bagaimana tokoh Vina mengalami shock culture berada di daerah terpencil di Papua.

Vina mengajak suaminya pergi belanja. Ia terkejut biaya belanjaanya membengkak mencapai Rp 3 juta. Padahal, ia hanya membeli minyak goreng, sekarung beras, dan beberapa kebutuhan pokok lainnya. Saking penasarannya, ia pun menanyakan kepada pedagang kenapa harganya bisa semahal itu.

Belakangan, Vina mengetahui si pedagang harus menyewa pesawat untuk membawa kebutuhan pokok dari kota ke daerah terpencil tersebut. Itulah yang membuat harga kebutuhan pokok jadi berlipat-lipat dari harga normal. "Gimana enggak mau merdeka," celetuk Vina.

Vina juga tidak habis pikir mengapa ibu Mazmur rela memotong jarinya sebagai tanda duka cita atas kematian Blasius, suaminya yang terbunuh itu. "Sakit?" tanya Vina kepada ibu Mazmur. "Tidak, cinta itu indah. Tetapi kehilangan itu menyakitkan," jawab ibu Mazmur.

Karena itulah, saudara-saudara Blasius ngotot untuk membalaskan dendamnya. Pertikaian tidak bisa terhindarkan. Perang menjadi jalan keluar satu-satunya. Pendeta Samuel, Michael, dan dokter Fatimah (Ririn Ekawati) berupaya menentang rencana tersebut.

Mazmur, Thomas, dan kawan-kawannya tidak mengerti mengapa orang-orang dewasa bertikai dan saling bunuh. Mereka merindukan perdamaian di kampung halamannya. Pun, merindukan kehadiran guru yang sudah enam bulan tidak datang untuk mengajar.

Selain memaparkan masalah dan konflik di tanah Papua, film ini juga memberikan suguhan pemandangan eksotis di pedalaman provinsi paling timur Indonesia itu. Begitu pula dengan keluguan orang-orang Pegunungan Tengah, Papua lewat dialog yang terasa wajar karena menggunakan dialek lokal. Film ini bakalan diputar di bioskop mulai 14 Juni 2012. Selamat menyaksikan!

Baca berita terkini lainnya

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas