Konflik Hanung dan Rachmawati Sebaiknya Diselesaikan Secara Kekeluargaan
Pengacara Luhut MP Pangaribuan menyarankan agar polemik yang terjadi seputar film "Soekarno: Indonesia
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Widiyabuana Slay
TRIBUNNEWS.COM - Pengacara Luhut MP Pangaribuan menyarankan agar polemik yang terjadi seputar film "Soekarno: Indonesia Merdeka!" antara sutradara Hanung Bramantyo dan Multivison Plus (MVP) dengan putri Presiden pertama Indonesia Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri diselesaikan secara kekeluargaan.
"Tidak perlu dilakukan somasi hingga harus diselesaikan melalui jalur hukum atau pengadilan, karena ini akan merugikan kedua belah pihak yang berseteru," kata Luhut Pangaribuan dihubungi melalui ponselnya, Minggu (29/09/2013).
Diketahui, visualisasi sosok proklamator Indonesia, Soekarno ke layar lebar dengan judul "Soekarno: Indonesia Merdeka!" yang disutradarai Hanung dan diproduksi MVP tak berujung manis. Sebab, putri presiden pertama Republik Indonesia, Rachmawati Soekarnoputri, mengajukan somasi Hanung selaku sutradara dan Multivision Plus.
Rachmawati juga melaporkan Hanung ke Polda Metro Jaya dengan tudingan pencemaran nama. Awal mula konflik seputar film Soekarno adalah ketidak sepahaman Hanung dan Rachmawati dalam memilih pemeran Soekarno.
Rachmawati memilih Anjasmara, sementara Hanung dan timnya menjatuhkan pilihan pada Ario Bayu.
Luhut mengatakan, seharusnya polemik ini jangan dibiarkan berkepanjangan dan tidak perlu memasuki ranah hukum. Sebab selain memakan waktu lama, juga akan sangat merugikan kedua belah pihak baik materil maupun inmateril.
"Saya yakin ibu Racmawati sendiri tidak menginginkan terjadinya polemik ini. Saya pernah mendampingi beliau ketika berseteru dengan Menteri Perdagangan yang waktu dijabat ibu Rini Soewandi yang akhirnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Hendaknya kedua pihak membuka pintu maaf dan segera menyelesaikan masalah ini," ujarnya.
Menanggapi somasi yang telah dilayangkan Rachmawati terhadap Hanung, dia mengatakan, hal itu sebenarnya tidak menutup upaya damai secara kekeluargaan bagi kedua pihak.
"Peluang untuk diselesaikan secara kekeluargaan masih terbuka, karena somasi itu masih merupakan delik aduan," ujarnya.
Sementara Rivai Kusumanegara, Kuasa Hukum PT. Tripar Multivision Plus (MVP) mengatakan, pihak MVP berhak untuk melanjutkan produksi film Soekarno, karena hak cipta dan hak kepemilikan film berada pada MVP.
"Dengan memperhatikan aspek kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam kasus tersebut maka pengacara Multivision berkeyakinan kliennya berhak melanjutkan film Indonesia Merdeka, terlebih pasal 1, 2 dan 8 perjanjian menegaskan hak cipta dan hak kepemilikan film berada pada Multivision," ujarnya.
Melalui surat 8 Juni 2013, Rachmawati mengundurkan diri dan akan memproduksi sendiri film hari-hari terakhir Bung Karno. Pihak Multivision menyetujui pengunduran diri itu dan tetap memohon dukungan moril atas produksi film yang mengisahkan tokoh proklamator Soekarno.
Keadaannya saat itu masih win-win solution. Karena masing-masing berpihak melanjutkan sekuel film yang diinginkannya. Sehingga seharusnya tidak ada persoalan hukum atas produksi film Indonesia Merdeka oleh Multivision.
Tiga bulan setelah pengunduran diri, Rachmawati justru menyomasi Multivision agar menghentikan promosi film yang telah menelan biaya Rp15 miliar dan melibatkan tiga ribu figuran.
Perjanjian antara Multivision dengan Ibu Rachmawati dibuat 17 Oktober 2011, di mana Multivision akan memproduksi film Soekarno dan Rachmawati selaku Ketua Yayasan Pendidikan Soekarno akan memberi masukan referensi/rekomendasi mengenai content film.
Dalam perjalanannya timbul perbedaan pendapat antara Hanung Bramantyo selaku sutradara dengan Rachmawati, dimana Rachmawati menginginkan sekuel hari-hari terakhir Soekarno (pasca-G30S hingga akhir hayat) dengan pemeran Soekarno oleh Anjasmara.
Sedangkan Hanung menghendaki sekuel peristiwa kemerdekaan RI dengan aktor Ario Bayu. Dan Multivision keukeuh mendukung argumentasi Hanung Bramantyo setelah juga mencermati hasil FGD di Bogor yang dihadiri semua pihak termasuk sejarawan dan praktisi perfilman.
Sedangkan pasal 5 perjanjian menegaskan hak untuk menentukan artis berada pada pihak Multivision.