Rico Michael tak Ingin Film Solitaire Terkesan Vulgar Meski Bergenre Horor
Bagi Rico Michael (39) film horor sejatinya bisa dibuat penuh kualitas tanpa harus menyertakan elemen vulgar
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bagi Rico Michael (39), film horor sejatinya bisa dibuat penuh kualitas, tanpa harus menyertakan elemen vulgar. Pencinta film horor klasik.
The Exorcist ini pun mewujudkan impiannya dalam film Solitaire. Rencananya, film tersebut akan dirilis pada Oktober mendatang di bioskop-bioskop Indonesia.
''Saat bikin film ini, saya punya komitmen dari awal untuk meniadakan adegan vulgar. Bahkan pada adegan di kolam renang, saya dan tim kreatif harus berdebat lama menentukan model baju renang yang dikenakan pemain. Saya nggak mau ada penampilan seksi dan vulgar sama sekali di sini,'' tutur Rico dalam perbincangan di Jakarta, Senin (2/6/2014).
Di film Solitaire, Rico tak hanya menjadi sutradara saja. Ia juga menjadi penulis naskah. Menurutnya, naskah mulai ia tulis pada Oktober tahun lalu,
dan selesai sekitar Maret dan April, sesaat sebelum syuting dimulai. Saat ini, seluruh proses syuting yang dilakukan selama 16 hari sudah rampung. Film masih memasuki proses editing dan paska-produksi lainnya.
Sebelum Solitaire, Rico sudah pernah membesut dua film yakni En6M (2007) dan Ikhsan, Mama I Love U (2008). Enam tahun absen dari dunia film membuatnya memulai semua kembali dari nol. Agar skenarionya bagus, ia tak segan-segan melakukan brainstorming atau tukar pendapat dengan teman-temannya. Selain itu, ia juga melakukan market review. Pemilihan waktu edar pun dilakukan secara seksama.
''Saya sengaja pilih Oktober karena saat itu, film-film blockbuster Hollywood sudah nggak ada. Jadi film saya nggak akan bersaing head to head dengan film-film luar, tapi mungkin dengan film lokal. Ini penting karena kalau nekat bersaing dengan film blockbuster, ya pasti film saya bakal kalah. Kemudian, Oktober juga pas dengan momen Halloween di negara-negara Barat,''katanya.
Pemilihan genre horor juga, menurutnya, bukanlah sesuatu yang disengaja.
''Menurut saya, film horor itu sama saja dengan genre film lain. Ibaratnya, seorang chef diminta membuat masakan pedas dan tak pedas. Hanya beda di bumbu saja kan? Begitu pula film. Genre horor juga memiliki unsur drama, dengan angle dan framing yang tak jauh berbeda. Jadi tinggal gimana kita mengolahnya saja,'' paparnya.
Selain itu, ia tak memungkiri bahwa film horor lebih mudah dipasarkan. ''Plus, bikin film horor itu ada fun factornya juga,'' katanya.
Untuk mewujudkan film horor yang berkualitas, Rico tak mau terjebak dalam stereotipe film horor esek-esek yang banyak diproduksi di Tanah Air. Ia memilih angle dan pewarnaan yang menarik, tak melulu gelap mencekam. Tata suara pun begitu. Jika banyak film horor menampilkan efek suara yang mengagetkan dan berisik, film Solitaire justru lebih sunyi.
''Sebab film ini berbicara tentang suasana mencekam di kala kita sendirian. Jadi, saya berusaha meminimkan musik. Ada beberapa adegan tegang tapi dibuat sepi tanpa efek suara. Jadi pemirsa bisa mencerna sendiri adegan itu tanpa harus diarahkan oleh efek musik,'' paparnya.
Ia mengakui, membuat film bagi seorang filmmaker adalah masalah ego. Saat membuat film, para filmmaker biasanya ditantang dengan pertanyaan, apakah ingin membuat film yang memuaskan orang atau diri sendiri? Di situlah ego mereka ditantang. Belakangan, filmmaker lebih diarahkan untuk mengisi kekosongan saja, jadi sekadar untuk bisnis belaka.
''Hasil filmnya pun jadi kayak resto cepat saji, minim kualitas,'' selorohnya.
Pria kelahiran Jakarta, 29 Juli 1974 ini merupakan sosok lama di dunia sinema dan periklanan. Selama ini, ia lebih dikenal sebagai sutradara film iklan dan video klip yang sudah berkiprah hingga ke dunia internasional. Beberapa karyanya pernah tampil di layar kaca. Beberapa video klip musisi kondang seperti Andre Hehanusa dan Rita Effendy pernah ia garap.
Ilmu penyutradaraannya didapat dari studi yang dilakukannya di Amerika Serikat. Ia pernah mengenyam pendidikan di New York Film Academy dan University of Southern California. Rico menjadikan Steven Spielberg sebagai salah satu sosok sutradara Hollywood yang sangat dikaguminya. Lalu nama
semacam Hanung Bramantyo, Monty Tiwa, serta Jose Purnomo, menjadi deretan sutradara lokal yang sangat dihormatinya.
Lantas, apa rencana Rico setelah Solitaire selesai?
''Tahun depan saya ingin membuat film laga, seperti Bloodsport yang dulu dibintangi Jean-Claude van Damme. Pasti seru deh,'' jelasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.