Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Seleb

Protes Keras Rinto Harahap Ketika Lagu-lagu Pop Sendunya Dibilang Cengeng

Meski lagu-lagu pop ciptaannya sering mendulang sukses, tapi Rinto Harahap protes keras ketika dibilang dia pencipta lagu-lagu cengeng.

Editor: Agung Budi Santoso
zoom-in Protes Keras Rinto Harahap Ketika Lagu-lagu Pop Sendunya Dibilang Cengeng
Kompas/ Frans Sartono
Rinto Harahap 

TRIBUNNEWS.COM -Rinto Harahap yang meninggal pada Senin (9/2) mewariskan ratusan lagu yang pernah meramaikan belantika musik Indonesia.

Saking khasnya, pada paruh kedua era 1970-an dan era 1980-an karya Rinto dikenal sebagai ”Lagu Rinto”. Karyanya menjadi semacam ”subgenre” dari musik pop di negeri ini.

Pada paruh kedua era 1980-an, industri musik Indonesia punya hajatan pemberian penghargaan kepada pelaku kreatif di belantika musik. Ada yang kriteria penilaiannya kuantitatif, diukur dari jumlah penjualan kaset. Tersebutlah, antara lain, BASF Awards dan HDX Awards. Pada ajang tersebut, lagu-lagu karya Rinto bisa dikatakan merajai. Juga lagu-lagu karya Pance Pondaag atau Ari Wibowo. Untuk album yang memuat lagu-lagu karya Rinto, sebuah perusahaan rekaman berani mencetak 100.000 kopi untuk tahap pertama.

Sementara itu, ada lagu-lagu lain yang dipopulerkan Chrisye, Vina Panduwinata, dan Januari Christy yang melibatkan penggarap musik seperti Addie MS, Dodo Zakaria, Jockie, dan Billy J Budiarjo, yang ketika itu tidak mendapat tempat dalam penghargaan seperti lagu karya Rinto dan Pance. Untuk memberikan ruang pada karya Addie, Dodo, dan lainnya, ajang penghargaan tersebut membuat kategori baru bernama Pop Kreatif.

Dampak ikutannya, di pasar pun kemudian terbaca album dengan embel-embel jualan Pop Kreatif. Istilah tersebut menimbulkan pro dan kontra.

Apa pun, itulah dampak kekuatan ”Lagu Rinto”—begitulah kriteria yang muncul dalam percakapan sehari-hari. Seakan-akan ”Lagu Rinto” menjadi semacam subgenre tersendiri dari musik pop.

Orbitkan Sederet Penyanyi Papan Atas

Berita Rekomendasi

Fenomena lagu Rinto mulai muncul pada paruh kedua era 1970-an. Rinto yang semula adalah awak band The Mercy’s semakin produktif sebagai penulis lagu ketika band tersebut bubar. Ia mendirikan label sendiri bernama Lollypop. Penyanyi yang melejitkan lagu Rinto pada awalnya adalah Eddie Silitonga lewat lagu ”Biarlah Sendiri” pada 1976, lantas Diana Nasution dengan ”Benci tapi Rindu” (1978).

Pada 1979, Hetty Koes Endang memopulerkan ”Dingin”, Rita Butarbutar melengkingkan ”Seandainya Aku Punya Sayap”, dan Iis Sugianto dengan ”Jangan Sakiti Hatinya”.

Satu benang merah yang menonjol dari lagu-lagu kondang tersebut adalah semuanya memerlukan nada-nada tinggi. Kemampuan mencapai nada tinggi adalah suatu hal yang sulit dilakukan oleh vokal Rinto selama bernyanyi dalam The Mercy’s.

Lagu ciptaan Rinto dalam The Mercy’s, seperti ”Love” dan ”Bunga Mawar”, perlu dinyanyikan berdua Rinto bersama Charles Hutagalung (almarhum), vokalis dan pemain keyboards band tersebut. Charles melalap bagian nada-nada tinggi, seperti pada refrein lagu ”Bunga Mawar” dan ”Love”. Bagian lain dibawakan Rinto. Lewat Eddie Silitonga, Diana Nasution, Rita Butarbutar, dan Hetty Koes Endang, Rinto bisa leluasa menulis lagu yang melengking-lengking tinggi.
Sakitnya hati ini...

Lagu Rinto juga dikenal dengan lirik yang sendu, melankolik, dan sentimental. Untuk itu, Rinto pada awal 1980-an mempunyai penyanyi andalan. Tersebutlah, antara lain, Christine Panjaitan yang memopulerkan lagu ”Tangan Tak Sampai”, ”Sudah Kubilang”, ”Tangismu Tangisku Jua”, dan ”Untuk Mama”. Nia Daniaty dengan ”Gelas-Gelas Kaca”. Kemudian ada Nur Afni Octavia lewat ”Bila Kau Seorang Diri” dan ”Kaulah Segalanya” serta Betharia Sonata dengan ”Kau Tercipta Untukku”.

Rinto tidak sependapat jika lagu-lagu tersebut dikatakan sebagai lagu ”cengeng”. Dalam percakapan dengan Kompas dua tahun lalu, Rinto mengatakan lebih suka menggunakan sebutan sendu, sentimental, dan melankolik untuk lagu-lagunya. Istilah lagu ”cengeng” bagi Rinto mempunyai konotasi negatif.

”Saya protes keras. Tidak betul saya menulis lagu untuk dibikin cengeng. Cengeng itu, kan, menangis tanpa sebab. Saya menulis lagu berdasarkan apa yang saya rasakan atau apa yang orang lain alami,” kata pria kelahiran Sibolga, Sumatera Utara, 10 Maret 1949, itu.

Halaman
12
Sumber: KOMPAS
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas