Bisnis Tionghoa Berbalut Kisah Cinta di Film Love & Faith, Inilah Video Trailer-nya
Ini rekaman trailer film "Love & Faith" kisah cinta di sela urusan bisnis Tionghoa.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM -Hidup manusia modern tak bisa lepas dari jasa perbankan. Tak pernah terbayangkan bahwa perjuangan sebuah bank untuk tumbuh menjadi besar membutuhkan pengorbanan serta kerja keras dari para pendirinya.
Dari film ini, penonton bisa menyaksikan tapak sejarah awal pendirian sebuah bank hingga meraksasa, berbalut kisah cinta.
Film Love and Faith dibuat berdasarkan kisah nyata tokoh pengusaha perbankan yang hari ini memiliki aset Rp 100 triliun. Dari film ini, kita belajar bahwa tak ada kesuksesan instan. Tahapan dalam hidup kadang pahit dan pedih, namun harus tetap dijalani dengan penuh keberanian. Kunci sukses terletak pada semangat untuk terus bangkit meski seolah terbentur jalan buntu.
Berkaca dari jatuh bangun pengalaman hidup Kwee Tjie Hoei atau Karmaka yang diperankan Rio Dewanto, generasi muda ditempa agar tak mudah menyerah.
Selalu ada jalan keluar meskipun terkadang seperti tertutup awan hitam. Dari bank yang hampir bangkrut, Kwee membangun bisnisnya hingga kini dikenal sebagai Bank NISP.
Karena itu, penulis novel berjudul Tidak Ada yang Tidak Bisa, Dahlan Iskan, yang mendasari lahirnya film ini menyarankan anak-anak muda untuk menonton film ini yang tayang sejak Kamis (5/3).
”Saya puas menonton film ini. Semua kesuksesan hanya bisa dicapai oleh anak muda. Harus kerja keras. Ini tontonan buat anak muda,” kata Dahlan.
Ketertarikan Dahlan membuat novel tentang kisah hidup Karmaka dimulai ketika ia menjalani transplantasi hati. Kala itu, Karmaka datang mengunjunginya dan bercerita pernah mengalami hal serupa beberapa tahun lalu. Dahlan kemudian tertarik membukukan kisah hidup Karmaka. Butuh waktu penulisan selama satu bulan sebelum novel tersebut lahir.
”Enggak butuh usaha keras. Saya penulis yang beliau (Karmaka) senangi. Dengan persepsi dia suka tulisan saya, tidak sulit bagi saya untuk meyakinkan,” ujar Dahlan seusai menonton pementasan perdana Love and Faith.
Tak jauh dari pengalaman persentuhan secara pribadi, produser film Love and Faith, Frans Limasnax, terpesona pada kisah dalam novel yang ditulis Dahlan. Novel itu pula yang membangkitkan semangat istrinya yang kala itu sakit keras. Akhirnya, Frans memutuskan memproduksi film berdasarkan kisah nyata Karmaka.
Sejak kecil, Kwee Tjie Hoei yang akrab disapa Kwee telah menjadi tulang punggung keluarga. Lahir di Tiongkok, lalu merantau mengikuti ayahnya ke Bandung, Kwee bekerja sebagai guru, buruh pabrik, dan pengajar les privat. Hanya lulus pendidikan sekolah menengah atas, ia berhasil membiayai kuliah kedokteran adiknya, Kwee Tjie Ong, yang diperankan Dion Wiyoko.
Perjalanan hidup membawanya menjadi menantu seorang pengusaha kaya. Mertuanya yang merupakan pemilik saham terbesar sebuah bank memintanya memperjuangkan kelangsungan hidup perusahaan. Hanya lulus SMA dan otodidak belajar dari buku-buku peninggalan sang mertua, Kwee berjuang membebaskan bank dari korupsi.
Tatapan mata
Dalam perjalanan memperbaiki kondisi bank keluarga, Karmaka dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Ia harus menghadapi gelombang kemarahan dari para nasabah bank. Protes pun berdatangan dari serikat pekerja perusahaan. Langkahnya makin berat diterpa badai krisis ekonomi tahun 1960-an.
Mengambil latar Bandung pada era 1960-an, film ini menyajikan gambaran kota tua nan cantik. Gedung-gedung karya arsitektur zaman Belanda dengan mobil-mobil kuno yang berseliweran di jalan raya. Penataan lokasi shooting agar menyerupai masa lalu menjadi pekerjaan rumah yang menyenangkan bagi sang sutradara, Benni Setiawan.
Untuk menciptakan atmosfer tua, Benni banyak berburu benda kuno. Ia pun melakukan riset dari buku tentang Bandung hingga film-film masa lalu yang mengambil lokasi pengambilan gambar di Bandung.
”Sesuai cerita aslinya, shooting harus di Bandung. Sebenarnya bisa lebih bagus lagi. Hanya masalah waktu. Saya butuh sedikit lagi untuk lebih total. Overall, saya puas,” kata Benni yang antara lain pernah menyutradarai Laskar Pelangi II dan Endensor.
Beban terbesar pembuatan film adalah karena tokoh yang difilmkan masih hidup. ”Jangan sampai yang dibuat tidak sesuai kehidupan nyatanya. Setelah melihat film ini, keluarga besar Pak Karmaka justru merasa begitu sayang melihat perjuangan ayahnya. Saya jatuh cinta dengan kegigihan beliau,” tambah Benni yang juga menghadirkan dua putra Karmaka dalam jumpa pers peluncuran perdana film ini. (Mawar Kusuma)