Almarhum Pak Raden Bertahan di Rumah Sederhana Meski Dihadiahi Rumah Mewah
Usia yang begitu singkat membuat Pak Raden tak sempat untuk mengunjungi bahkan meninggali rumah baru tersebut.
Editor: Fajar Anjungroso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Drs. Suyadi atau yang akrab di sapa Pak Raden baru saja mendapat hadiah rumah dari ajang penganugerahan Silet Award pada 26 Oktobrer 2015 lalu.
Meski begitu, pria kelahiran Belanda, 28 November 1932 itu tak pernah sombong dengan apa yang diraihnya.
Terbukti, saat menerima rumah baru tersebut, Pak Raden, tak mau tergesa-gesa meninggalkan rumah lamanya dan memilih rumah yang baru.
Dia justru bertahan di rumah yang lama agar bisa lebih dekat dengan masyarakat.
“Pak Raden itu betul-betul seorang seniman. Dia tidak memikirkan kekayaan punya rumah, dia sederhana sekali. Dia katanya bersyukur bisa tinggal disini, ada kontak anak-anak disini. Kalau saya tinggal di rumah mewah, saya tidak akan kontak dengan masyarakat. Dia bahagia tinggal disini,” kata Kartini, kakak keempat pak Raden.
Meski begitu, Pak Raden bukannya tak suka dihadiahi rumah baru tersebut, ia mengaku bersyukur bahkan kegirangan lantaran mendapat perhatian dari banyak orang.
Hanya saja, usia yang begitu singkat membuat Pak Raden tak sempat untuk mengunjungi bahkan meninggali rumah baru tersebut.
“Belum ada rencana apa-apa karena memang terlalu cepat. Enggak ada terpikir untuk pindah. dia enggak mikir soal itu. Tapi, dia bersyukur sekali dapat hadiah, hanya saja belum ada rencana apa-apa,” ungkapnya.
Kecewa tidak bertemu Jokowi
Meninggalnya seniman Suyadi atau Pak Raden pada Jumat (30/10/2015) malam mengejutkan banyak
Masih ingat di benak bagaimana Pak Raden berjuang mencari biaya pengobatan penyakitnya.
Salah satunya dengan menjual karya lukisannya kepada Joko Widodo.
Dengan menggunakan kursi roda, Pak Raden menyambangi Balai Kota, Jumat (13/9/2013) lalu.
Ia berniat menjual lukisannya seharga Rp 60 juta kepada Jokowi yang saat itu masih menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Seniman yang dikenal dengan perannya sebagai tokoh berkumis lebat itu harus memendam kekecewaan.
Pasalnya, ia tak bisa bertemu Jokowi yang kala itu sedang mengunjungi Pasar Blok G Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Kedatangan Pak Raden akhirnya diterima oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang saat itu masih menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
"(Membuat lukisan) itu membutuhkan biaya, waktu, dan tenaga. Kalau lukisan ini laku, saya gunakan untuk berobat kaki saya," kata Pak Raden di Balai Kota saat itu.
Tolak tawaran Ahok
Basuki kemudian menawarkan Pak Raden untuk menjual lukisan berjudul "Perang Kembang" itu ke Direktorat Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Perekonomian Kreatif (kini Kementerian Pariwisata).
Pak Raden menolak penawaran Basuki.
Pasalnya, menurut Pak Raden, Jokowi mewakili sosok kesatria seperti yang ia lukiskan dengan cat minyak di atas kanvas berukuran 90 x 40 cm tersebut sehingga ia hanya ingin Jokowi yang membeli lukisannya.
Lukisan berjudul "Perang Kembang" yang dijual kepada Jokowi itu berkisah tentang perlawanan kesatria melawan raksasa.
Dalam pementasan wayang orang dan wayang kulit gaya Surakarta, adegan "Perang Kembang" selalu ditampilkan dan menjadi adegan favorit bagi penonton karena indah, seru, dan menghibur.
Ingin terbitkan buku
Selain uangnya akan dipergunakan untuk biaya berobat, Pak Raden berencana menggunakan uang hasil penjualan lukisannya untuk menerbitkan tiga buku anak-anak tentang pewayangan.
Buku pertama berisi pengenalan wayang orang kepada anak-anak melalui anak perempuan yang bernama Suti.
Buku kedua tentang pengenalan wayang kulit kepada anak dengan tokoh utama bernama Trimo.
Trimo merupakan siswa SD inpres yang memiliki bapak dengan profesi sebagai dalang dan ia selalu membantu pementasan bapaknya serta buku ketiga bercerita tentang tokoh bernama Sumantri.
Buku itu berkisah tentang persahabatan dan cinta Tanah Air.
Mendongeng PNS DKI
Seusai bertemu Basuki, Pak Raden mendongeng di selasar Balai Kota.
Aksinya menarik perhatian wartawan, pegawai negeri sipil (PNS) DKI, dan beberapa warga di tempat itu.
Pak Raden membawakan cerita berjudul "Mari Buka Celana" dan "Bersyukur". Dongeng "Mari Buka Celana" bercerita tentang seorang ibu yang memiliki lima orang anak yang bernama Maribu, Marika, Marice, Marila, dan Marina.
Adapun dongeng "Bersyukur" bercerita tentang seorang nenek yang sudah tidak memiliki kaki secara lengkap, tetapi nenek tersebut tak pernah lupa untuk bersyukur dan mengucap syukur.
Pada kesempatan itu, Pak Raden juga meminta izin untuk mengamen dan menawarkan lukisan terbarunya. Pak Raden wafat pada usia 82 tahun di Rumah Sakit Pelni, Petamburan, Jakarta Pusat, Jumat (30/10/2015) malam.
(Novrina/Tabloidnova.com)