Psikolog Ini Sebut PMS Bagi Perempuan Cuma Mitos
Ada sebanyak 150 gejala fisik dan emosional yang dianggap muncul ketika perempuan mengalami PMS.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Moh Habib Asyhad/Intisari-online.com
TRIBUNNEWS.COM - Sebagian besar perempuan mengaku sedang terkena sindrom pramenstruasi (PMS) ketika suasana hatinya berubah, kembung, dan nyeri di sekitar payudara, sesaat sebelum siklus bulanan itu terjadi.
Menurut Monash University, 90 persen perempuan mengalami setidaknya satu gejala setiap bulan, sementara itu beberapa perempuan bisa mengalami yang lebih parah.
Tapi psikolog perempuan mengklaim, PMS hanyalah mitos yang digunakan perempuan sebagai “alasan ketika mereka ingin istirahat.”
Robyn Stein DeLuca, asisten profesor penelitian di Departemen Psikologi di Stony Brook University di New York, AS, percahaya bahwa efek parah PMS hanya dibesar-besarkan melalui media dan komunitas medis.
Kenyataannya, menurutnya, perempuan hanya merasa terbebani oleh kesibukan mereka.
“Tumbuh dewasa, ketika kita menjadi perempuan, kita diberitahu di buku, di internet, dan di majalah bahwa PMS ada di luar sana. Kami lalu menginternalisasi gagasan ini bahwa tubuh kami ada yang tidak baik,” ujar DeLuca kepada Mail Online.
Komunitas medis juga harus disalahkan, tudingnya.
“Perspektif itu (PMS) mendorong perempuan untuk berpikir bahwa tubuh mereka sebagai sesuatu yang menyebabkan penyakit. Lebih dari itu, perempuan merasa terbebani.”
Setidaknya ada sebanyak 150 gejala fisik dan emosional yang dianggap muncul ketika perempuan mengalami PMS.
Dari sekian banyak itu, yang dianggap paling sering muncul adalah iritabilitas, kembung, perubahan suasana hati, kegelisahan, bad mood, kelelahan, perubahan selera, dan payudara mengeras.
Dalam bukunya, The Hormone Myth: How junk science, gender politics and lies about PMS keep women down, DeLuca mengklaim, ada bukti ilmiah yang mendukung keyakinannya bahwa hormon tidak mempengaruhi perempuan ketika PMS sebesar yang mereka percayai selama ini.
Ia menambahkan, perempuan modern cenderung memiliki begitu banyak tanggung jawab ekstra—bekerja, merawat keluarga, memantau kesehatan orang lain, menyiapkan makan malam, dll.
Mereka akan merasa gagal jika tidak bisa melakukan itu semua.
Jadi, mereka menggunakan PMS, “Sebagai kartu bebas keluar dari penjara,” ujar DeLuca.
Ia juga menegaskan bahwa perubahan hormonal yang rutin datang tiap bulan itu belum cukup mampu untuk menghambat aktivitas sehari-hari.
“(Perubahan) hormonal yang menyebabkan beberapa gejala fisik dan emosional—bisa kram, kembung, atau stres—tentu saja tidak sampai membawa kita pada masalah besar. Dari situlah mitos itu ada, dan itu tidak benar,” jelas DeLuca.
Intinya, ia ingin menekankan bahwa siklus hormonal seperti menstruasi, kehamilan, dan menopause tidak berpengaruh terhadap mental kita, mental perempuan.
Meski begitu, banyak profesional kesehatan yang tidak sepakat dengan hipotesis yang disampaikan DeLuca.
Seorang profesor kesehatan perempuan Joyce Harper mengatakan, adalah fakta bahwa perubahan hormonal mempengaruhi mood.
Lepas dari itu, gagasan kontroversial yang menyebut bahwa PMS adalah mitos bukanlah hal yang baru.
Sebuah studi yang terbit tahun 2012 di majalah Gender Medicine mengatakan, hubungan antara suasana hati yang negatif dan siklus haid sangat lemah.
Sebuah tim peneliti di University of Toronto, yang dipimpin Dr. Sarah Romas, mengamati 47 penelitian antara 1971 hingga 2007.
Dari situ mereka tidak menemukan bukti yang kuat yang mendukung adanya sindrom suasana hati buruk pramenstruasi yang spesifik.
Meski begitu, temuan ini, oleh National Health Service (NHS) disebut sebagai sekadar opini alih-alih hasil penelitian medis yang penting. Moh Habib Asyhad/Intisari-online.com