Menkumham Tak Izinkan LMK Kelola Royalty, Ini Respon KCI
Terkait pernyataan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly bahwa Pemerintah tak izinkan lagi Lembaga Manajemen Kolektif (LMK)
Penulis: FX Ismanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terkait pernyataan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly bahwa Pemerintah tak izinkan lagi Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) kelola royalti lagu dan musik, kuasa hukum LMK Karya Cipta Indonesia (KCI) dari kantor Hendropriyono and Associates, Meitha Wila Roseyani, SH, M.Hum menilai pernyataan itu menimbulkan kerancuan dan kekacauan bagi para users.
“LMKN sesuai pasal 89 UU Hak Cipta adalah satu-satunya lembaga resmi pengelolaan Hak Cipta bidang lagu dan musik yang mendapat kewenangan menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait. Oleh karenanya, LMK tidak boleh lagi melakukan pengelolaan royalti pencipta dan pemilik hak terkait. Jadi sesuai UU Hak Cipta, LMK-LMK sudah tidak boleh lagi melakukan pengelolaan royalti adalah pernyataan yang sangat keliru dan menyesatkan,” ujar Meitha di Jakarta, Rabu (6/2/2019)
Pihaknya meminta, pernyataan menteri Yasonna perlu diluruskan agar tidak menimbulkan kerancuan dan kekacauan di masyarakat khususnya bagi para users.
Pasalnya, kewenangan LMK untuk mengelola Royalti justru lahir dari UU Hak Cipta, yaitu pasal 87 dan 88 Undang-Undang No. 28 tahun 2014 Tentang Hak Cipta yang secara jelas dan tegas mengatur mengenai LMK dan kewenangannya untuk dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang telah memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait.
Dimana dalam hal ini LMK wajib memenuhi persyaratan untuk mendapatkan Izin Operasional yang dikeluarkan oleh Menteri (Menkumham), antara lain; harus berbadan hukum nirlaba (Yayasan), mendapatkan Kuasa dari minimal 200 (dua ratus) pencipta, untuk dapat menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada pencipta atau pemegang Hak Cipta dan sampai sekarang pasal 87 dan 88 tersebut belum pernah diubah ataupun dicabut, sehingga kewenangan LMK untuk mengelola royalti tetap ada.
“Justru kewenangan LMKN-lah yang patut dipertanyakan karena secara nyata LMKN tidak memiliki izin operasional dan tidak pernah mendapatkan kuasa dari para pencipta,” tegas Meitha.
Dilanjutkannya, Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) adalah salah satu LMK yang telah memiliki izin operasional sejak 28 Oktober 2015, dan telah menerima kuasa dari para pencipta yang sekaligus sebagai anggota sebanyak 3007 pencipta. Dan sejak YKCI berdiri sejak 1990 telah melakukan kegiatan menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada pencipta atau pemegang Hak Cipta dan sampai saat ini tidak pernah ada masalah.
“Menurut kami awal permasalahan muncul ketika terbit Permenkumham No 29 tahun 2014 yang terbit tepat satu hari setelah UUHC diundangkan. Permenkumham yang seharusnya hanya mengatur mengenai Izin Operasional LMK disalahgunakan dengan cara memunculkan lembaga baru yaitu LMKN. Padahal tidak ada amanat Undang-undang yang memerintahkan menteri untuk membentuk LMKN yang memiliki kewenangan yang sama dengan LMK yaitu menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti, namun tanpa adanya syarat yang harus dipenuhi, tidak jelas bentuk badan hukumnya, tidak ada kuasa dari para pencipta atau hak terkait, dan tidak ada Izin Operasionalnya sebagimana diatur dalam Pasal 88 UUHC,” lanjutnya.
Seharusnya pasal 87, 88, 89 UU Hak Cipta ditafisrkan tidak dipisah-pisah karena itu merupakan satu kesatuan mengatur LMK, dimana pasal 89 hanya untuk mempertegas memisahkan antara kepentingan pencipta dan kepentingan pemilik hak terkait yang selama ini menjadi satu dan terhadap dua lembaga tersebut harus bersifat nasional sehingga nantinya tidak ada berdiri LMK-LMK lainnya.
“Sangat jelas, pasal 87 mengatur bagi pencipta dan pihak terkait untuk mendapatkan haknya harus menjadi anggota LMK, sementara pasal 88 mengatur syarat-syarat berdirinya LMK, sedangkan pasal 89 memisahkan antara kepentingan pencipta dan pemilik pihak terkait dan kedua lembaga tersebut harus bersifat nasional,” paparnya.
Oleh sebab itulah, lanjut Meitha, klienya telah mengajukan Hak Uji Materiil (HUM) kepada Mahkamah Agung pada 5 Desember 2018, namun ternyata di tengah kami mengajukan HUM ternyata Termohon (Menkumham) telah mengubah Peraturan Menteri Hukum dan HAM yang kami jadikan Objek Permohonan. Tindakan Menteri yang mengeluarkan Permenkumham pengganti pada saat Permenkumham No 29 tahun 2014 sedang dilakukan permohonan uji materi di Mahkamah Agung patut kami duga merupakan tindakan yang tidak menghormati wibawa peradilan.
Terkait pernyataan Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Freddy Harris, bahwa tidak ada lagi penagihan selain dilakukan oleh LMKN, pihaknya menegaskan bahwa UU Hak Cipta sendiri yang memberikan kewenangan bagi LMK untuk mengelola royalti.
“Royalti yang dipungut didistribusikan kepada para pemegang hak cipta/pencipta. LMK KCI sendiri diaudit keuangannya oleh akuntan publik Erfan & Rakhmawan. Lebih lanjut, LMK KCI juga menyumbang pendapatan pajak dari royalti yaitu dengan memotong langsung dari para pencipta yang menerima royalti. Bahkan beberapa anggota komisioner LMKN adalah pencipta lagu yang juga sebagai anggota YKCI. Tolong ditanya kepada mereka apakah selama ini mereka tidak pernah terima royalti dari YKCI?” tandasnya.
Selain itu, pihaknya menyoroti penamaan komisioner pada anggota LMKN. Juga proses pemilihan komisioner yang tertutup tanpa melibatkan seluruh LMK.
“Mengapa anggotanya disebut sebagai komisioner sedangkan bentuknya lembaga dan bukan komisi?” pungkasnya