Mus Mulyadi Wafat, Tak Ada Lagi Suara Merdu Si Buaya Keroncong, Begini Rekam Jejaknya di Dunia Musik
Pemilik julukan si "Buaya Keroncong" itu sempat dirawat di rumah sakit alias Mus Mulyadi meninggal pada Kamis (11/4/2019) pukul 9.08 WIB.
Penulis: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM - Dunia musik tanah air kembali berduka. Penyanyi keroncong Mus Mulyadi wafat pada Kamis (11/4/2019) pukul 9.08 WIB.
Erick Haryadi, anak Mus Mulyadi dihubungi awak media, Kamis (11/4/2019) membenarkan kepergian sang ayah.
“Betul, meninggal di jam 9.08 tadi pagi. Dari dirawat di rumah sakit Pondok Indah, tadi habis sarapan, terus meninggal,” kata Erick Haryadi.
Sebelumnya pemilik julukan si "Buaya Keroncong" itu sempat dirawat di rumah sakit.
Mus Mulyadi sempat dirawat karena sakit gula yang dideritanya. Sebelum wafat, Mus sempat menyampaikan jika kondisi tubuhnya membaik.
Jenazah Mus kini dibawa ke Rumah Duka Dharmais. Rencananya Mus Mulyadi akan dimakamkan setelah salah satu anaknya tiba di tanah air.
“Karena ini sedang menunggu kakak saya, kakak saya di Australia, menunggu kakak saya pulang. Mungkin dua hari ya (di rumah duka),” katanya.
Bagaimana rekam jejak si Buaya Keroncong?
Pria kelahir di Surabaya, Jawa Timur, 14 Agustus 1945 ini menorehkan banyak kenangan di dunia hiburan tanah air dengan lagunya yang menjadi hit antara lain, "Kota Solo", "Dinda Bestari", "Telomoyo", dan "Jembatan Merah".
Ia pernah menjadi anggota Favourite Band. Istrinya juga seorang penyanyi, Helen Sparingga, dan adiknya juga menjadi penyanyi pop & jazz Mus Mujiono di era 1980-an.
Terlahir dengan nama Mulyadi, dilahirkan di Kota Buaya, dan menghabiskan masa kecil hingga remajanya di kota itu.
Mus Mulyadi anak ketiga dari delapan bersaudara anak dari pasangan Ali Sukarni dan Muslimah.
Bakat seninya tumbuh secara otodidak karena pengaruh dalam keluarganya yang memang seniman. Meskipun ia tidak pernah dirancang oleh ayahnya yang berprofesi sebagai pemain Gamelan untuk mengikuti jejaknya.
Tiga saudaranya memilih berkecimpung dalam bidang seni tarik suara. Dua kakaknya yakni Sumiati berprofesi sebagai penyanyi keroncong di Belanda dan abangnya Mulyono dikenal di Surabaya sebagai penyanyi keroncong.
Selain itu adiknya Mus Mujiono pun pada akhirnya terjun ke dunia musik dengan memilih musik jazz dan pop sebagai jalur pilihan kariernya.
Perjalanan Karir Hingga Jadi Gelandangan di Singapura
Sebelum terjun sebagai penyanyi, pada masa remajanya di Surabaya Mus Mulyadi telah membentuk sebuah band '''Irama Puspita''' dengan personil tiga belas wanita-wanita perkasa yang telah dipersiapkannya untuk sukses di panggung hiburan.
Mus Mulyadi menjadi pelatih band Irama Puspita selama beberapa tahun.
Band asuhannya ini pernah manggung di acara POI Ganefo di Jakarta dan merajai berbagai lomba festival musik di Surabaya.
Namun 3 di antara anggotanya tanpa sepengetahuannya kemudian memilih hengkang, dan secara diam-diam pindah ke Jakarta. Ketiganya adalah Titiek AR, Lies AR dan Sugien alias Susy Nander. Ketiganya kemudian diketahui bergabung dengan sebuah band wanita di ibukota yang bernama Dara Puspita. Tak lama kemudian Mus Mulyadi pun membubarkan band asuhannya tersebut.
Mus Mulyadi bergabung sebuah grup band '''Arista Birawa''' pada tahun 1964 yang dibentuk oleh Busro Birawa. Personilnya adalah ia sendiri sebagai pemegang bas dan merangkap sebagai vokalis, Jeffry Zaenal (Abidin)' pada drum, M.Yusri pada Rhythm, Oedin Syach pada Lead guitar, bersama Sonata Tanjung. Bersama Arista Birawa, Mus Mulyadi menelurkan satu album Jaka Tarub yang diproduksi PT Dimita Moulding Industries Record pada tahun 1965. Belakangan band itu menghasilkan album rekaman lokal Si Ompong & Masa Depanmu di Serimpi Recording tahun 1972 tanpa keterlibatan Mus Mulyadi. Kemudian dirilis ulang pada tahun 2005 di recording Shadoks-Jerman.
Atas ajakan temannya Jerry Souisa sebagai pemimpin group, mengajak dua anggota Arista Birawa yakni Mus Mulyadi dan Jeffry Zaenal dan seorang rekannya Arkan untuk melakukan tour pertunjukan di Singapura.
Meski pada mulanya ia ragu untuk meninggalkan bandnya yang sudah mempunyai gaung di kalangan arek-arek Surobayo. Apalagi saat itu ayahnya belum lama meninggal dunia.
Namun akhirnya bersama tiga rekannya, ia meninggalkan Surabaya dan nekat mencoba mengadu nasib ke Singapura pada tahun 1967.
Menggunakan kapal kayu selama 2 minggu perjalanan hingga mendarat di Tanjung Pinang. Kemudian mereka mereka menerima show hajatan tanpa dibayar oleh seorang saudagar tauke China sebagai upah untuk menyeberangkan mereka ke Singapura.
Di Singapura mereka menumpang di rumah sebuah keluarga etnis Melayu. Selama 2 tahun di sana mereka tak kunjung mendapatkan tawaran show. Sempat menjadi gelandangan, kelaparan, dan terlunt-lunta tanpa makanan, pekerjaan, dan uang.
Dengan keteguhan dan kesabaran mereka akhirnya mulai mendapatkan kesempatan mengubah nasibnya. Setelah sempat menjadi pengangguran, Mus belajar menciptakan lagu dan muncullah lagu "Sedetik Dibelai Kasih", "Jumpa dan Bahagia", " Kr. Jauh di Mata", hingga terkumpullah 10 lagu.
Mereka membentuk sebuah band yang diberi nama The Exotic dengan personil Jerry Souisa pada lead guitar, Arkan pada Rhythm guitar, Jeffry Zaenal (Abidin) pada drum dan Mus Mulyadi pada bass sekaligus vocalist. Ia kemudian menawarkan karya-karyanya itu kepada Live Recording Jurong tahun 1969. Mereka langsung membuat 2 album Pop dan Keroncong dalam bentuk vinyl / plat yang biasa disebut (EP7 (Extended Play).
Dalam cover album tersebut Mus Mulyadi mulai menggunakan nama Mus Mulyadi sebagai nama resminya. Tambahan kata Mus ia ambil dari penggalan nama ibunya. Di Singapura, Mus berhasil mendapatkan uang 2.800 Dollar Singapura untuk dua LP (piringan hitam). Setelah mengantungi uang, Mus Mulyadi dan tiga rekannya kembali ke Tanah Air.
Disayangkan mereka belum menikmati jerih payahnya di Singapura, karena memilih pulang ke Indonesia bertepatan dengan hari wafatnya Bung Karno.
Favourite's Group
Pada tahun 1971 ia rekaman solo di Remaco diiringi kelompok A. Riyanto, Empat Nada Band. A. Riyanto kemudian mengajaknya bergabung dengan band Empat Nada. Oleh A. Riyanto, konsep band 4 Nada sebagai band pengiring tetap yang selama ini dilakoninya di Remaco hendak diubahnya menjadi sebuah band mandiri. Band baru diberi nama Favourite's Group. Anggota awalnya adalah Mus Mulyadi (vokal/Rhythm), dan 4 anggota band 4 Nada : A Riyanto alias Kelik (Keyboard/Vokal), '''Nana Sumarna''' (Bass), '''Eddy Syam''' (Gitar) dan '''M. Sani''' (Drum). Mereka sangat modern dalam bermusik, tapi juga sangat maju dengan sentuhan romantisme masa silam. Mereka berhasil menempatkan nilai-nilai musik di kepala mereka sehingga menjadi kekuatan bagi Favourite’s Group. , Mereka lalu rekaman di Musica Studio. Lahirlah lagu: "Cari Kawan Lain", "Angin Malam", "Seuntai Bunga Tanda Cinta", "Nada Indah". Kaset ini ternyata meledak dan langsung mengangkat popularitas band ini. Namun selepas album vol. I ini terjadi perubahan formasi personil, dimana 3 anggota memilih kembali ke bandnya semula band 4 Nada.
A. Riyanto keyboardist merangkap leader dan Mus Mulyadi vocalist kemudian mencari pengganti untuk melanjutkan kiprah musik band Favourite's group. Mereka merekrut Is Haryanto pada drum dan Harry Toos pada gitar, untuk posisi bass dirangkap oleh Mus Mulyadi. Dengan formasi II ini mereka kemudian berhasil menelurkan album volume II yang bersisi lagi-lagu diantaranya “Mimpi Sedih, Aku Yang Kau Tinggalkan, Cintaku Suci, & Lagu Gembira”. Album ini cukup direspon pasar meski tak seheboh pada album I. Pada periode berikutnya terjadi perubahan formasi lagi (III) dengan penambahan pemain bass yakni Tommy W.S.. Dengan formasi ini Mus Mulyadi lebih fokus pada penyanyi utama. Formasi ini melaju dengan berbagai album yang hampir seluruhnya meledak di pasaran masa itu. Band ini kemudian menjadi sangat populer dan menjadi salah satu legenda musik Indonesia hingga saat ini.
Di sela aktivitasnya Favourite's Group, Mus Mulyadi ditawarkan oleh produser untuk membuat solo album. Dalam album tersebut Mus Mulyadi dibuatkan sebuah lagu berbahasa Jawa oleh Is Haryanto berjudul "Rek Ayo Rek". Lagu ini ternyata meledak di pasaran. Bahkan menjadi legenda dan salah satu icon abadi kota Surabaya. Setelah menyelesaikan album Favourite's Groupvol. 4 "Aku Tak Berdosa", Mus Mulyadi kemudian memilih mengundurkan diri dari Favourite's Group untuk berfokus pada karier penyanyi solo. Posisinya kemudian digantikan oleh Mamiek Slamet pada tahun 1978 setelah sebelumnya band ini sempat beraktivitas tanpa vocalist utama.
Keluar dari Favourite Group & Bernyanyi Solo
Mus kemudian mencoba menyanyikan lagu keroncong pop, ternyata hasilnya luar biasa dan meledak di mana-mana, seperti lagu Kr. Dewi Murni. Kasetnya laku keras. Setelah itu, julukan "Buaya Keroncong" pun melekat padanya. Saat show ke luar negeri seperti Belanda atau Amerika, ia dikenal sebagai The King of Keroncong.
Bermain Film Layar Lebar
Popularitas Mus Mulyadi sebagai penyanyi keroncong mendapat perhatian dari kalangan insan dunia perfilman nasional pada tahun 1970-an. Oleh sutradara Fred Young, ia diajak ikut membintangi film bertitel Putri Solo (1974) diproduksi PT. Agasam Film. Dalam film ini ia bermain bersama dengan para aktor dan aktris kawakan masa itu seperti Mieske Bianca Handoko, Harris Sudarsono, Ratmi B-29, Rendra Karno, S. Poniman, Chitra Dewi, Debby Cynthia Dewi, dll.
Selanjutnya pada tahun (1974) membintangi film berjudul Aku Mau Hidup di sutradarai oleh Rempo Urip diproduksi, PT. Agasam Film. Di sini ia beradu akting dengan oleh Emilia Contessa dan aktor Ferry Irawan (bukan Ferry Irawan bintang sinetron era 2000-an - red), serta Chitra Dewi, Mansjur Sjah, M. Panji Anom, S. Poniman, dsb.
Menyanyikan Lagu Dangdut
Pada akhir tahun 1970-an Mus Mulyadi sempat pula menyanyikan lagu-lagu Dangdut / Lagu Melayu. Ia sempat berduet dengan pedangdut asal Surabaya, Ida Laila. Beberapa lagu duetnya dengan Ida Laila, seperti Suara Hati dan Bunga Dahlia, populer diputar di radio masa itu.
Tentang cengkoknya yang sangat khas, Mus Mulyadi berujar, "Modal saya cuma berani berimprovisasi. Saya itu punya feeling, biasanya orang kalau dari fa ke mi atau mi ke fa, itu kan hanya dua tangga nada, saya bisa enam tangga nada. Saya berani memainkan tangga nada," begitu kiat si "buaya keroncong" yang telah merilis 80 album keroncong ini.[butuh rujukan]
Reuni dengan Favourite Group
Pada tahun 1978 group band yang beranggotakan penyanyi, musisi, dan pencipta yang sudah populer pada masa itu ‘rujuk’ lagi. Formasi mereka tidak berubah tetap seperti beberapa tahun lalu bedanya hanya mereka andil jadi vokalis “Mus Mulyadi (Rhythm/Vokal), Is Haryanto (Drum /Vokal), A. Riyanto (Keyboard/Vokal), Harry Toos (Gitar/Vokal) dan Tommy WS (Bass/Vokal)”. Tahun 1978, mereka mencoba memukau lewat kecantikan aransemennya dengan materi lagu yang berlirik puitis–romantis yang mereka suguhkan, antara lain : “Satu Kisah Lagi, Saat Yang Terindah, Melody Patah Hati, Kamar Bisu, & Engkau Yang Terakhir”. Lewat album ‘reuni’ mereka ini setelah berpisah sejak tahun 1975, sebagai pengobat rindu ‘menyapa’ para pencinta dan pengamat musik indonesia.
Kemudian mereka kembali hadir tahun 1982, dengan nomor-nomor lainnya, “Nusantara Jaya, Terima Kasih Musik, Bunga Yang Terindah, Hai Pemuda, dan Selamat Jalan” dengan perusahaan rekaman Mahkota Records. Melalui kehadiran album ini, Favourite’s Group mencoba menawarkan ragam tema musik yang selama ini belum terjamah oleh pemusik negeri ini. Mereka juga menunjukkan bahwa Favourite’s Group masih “solid” dengan kumpul bareng di setiap kesempatan latihan maupun tampil lengkap di pertunjukan show di dalam maupun luar daerah Jakarta.
Sampai awal tahun 1989, Favourite's Group secara resmi masih berdiri, tetapi dengan anggota berbeda. Pada penampilannya tahun 1988, anggotanya terdiri dari Mus Mulyadi sebagai vokalis, A. Riyanto pada keyboard, Is Haryanto pada gitar menggisi tempat Harry Toos yang mengundurkan diri, Tommy W.S. pada bass gitar, Y. Rizal yang direkrut sebagai additional pada drum, plus additional player yang juga punggawa group D'Lloyd Bartje van Houten pada melodi gitar.