Ulasan Film Little Women: Kejelian Sutradara Menerapkan Teknik Kilas Balik
Film Little Women bisa disebutkan sebagai kado istimewa bagi siapa pun yang ingin membangun keluarga bahagia.
Editor: Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM - Film Little Women bisa disebutkan sebagai kado istimewa bagi siapa pun yang ingin membangun keluarga bahagia.
Manis pahitnya hubungan empat kakak beradik, yang diasuh oleh seorang ibu dan ditemani pembantu, dengan latar belakang abad 19, merupakan kisah sehari-hari yang bisa ditemukan keluarga mana pun.
Tapi, tak semua keluarga mampu mempertahankan keutuhan keluarga ketika berbagai ujian sulit menerjangnya. Jo March, yang bernama lengkap Joshephine, sebagai tokoh sentral, nyaris tak berdaya.
Ambisinya menjadi penulis menghadapi tantangan berat, justru dari pria yang mencintainya.
Baca: Kuasa Hukum Karen Pooroe Konsultasi ke Polisi, Jerat Arya Satria Claproth ke Jalur Hukum?
Baca: Histeris di Pemakaman Zefania Carina, Karen Pooroe: Mana Anakku, Sudah Tidak Terlihat Lagi!
Baca: Risma Cabut Laporan, Apakah Zikria Dzatil Sudah Bisa Dibebaskan dari Jeratan Hukum?
Namun, kematian sang adiklah, Beth, yang membuatnya murung dan terpuruk. Suasana masa kecil yang penuh riang gembira, mendadak sunyi. Hampir tak ada yang bisa diajak bicara. Jika masa kecil penuh gelak tawa, masa dewasa hujan air mata.
Film diawali dengan adegan Jo (diperankan Saoirse Ronan) memunggungi kamera. Ia berdiri agak lama, seakan diliputi keraguan untuk masuk ke kantor penerbit, menemui sang editor.
Betapa gembiranya Jo. Ia pulang berlari kencang menembus keramaian manusia.
Emosi kegembiraan ini sangat kuat karena dukungan penata kamera yang memahami emosi Jo, dengan cara membidik tubuh Jo sampai pundak di antara lalu-lalang manusia.
Dalam menyulap novel karya Louisa May Alcot, Sutradara Greta Gerwig menerapkan teknik kilas balik ( flashbacks) secara konsisten, dari awal hingga akhir. Teknik kilas balik diterapkan untuk setiap momen.
Penonton yang terbiasa dengan teknik linier atau kilas balik yang seperlunya, mungkin awalnya akan kesulitan mengikuti adegan ke adegan. Bahkan tak mustahil gagal menangkap dan menikmati keindahan Little Woman.
Gerwig sadar betul, teknik kilas balik yang konsisten pada tiap momen akan mampu menggali karakter dan relung batin paling dalam para tokoh, terutama Jo dan tiga saudaranya.
Dengan teknik tersebut, Little Woman mempunyai kekuatan sempurna. Masa kecil dan masa dewasa hadir untuk setiap momen secara silih berganti.
Padahal, teknik kilas balik biasanya dianggap kelemahan sebuah cerita. Justru Gerwig melihat sebaliknya untuk novel ini.
Little Women dibintangi Saoirse Ronan yang memerankan Jo, Emma Watson memerankan Meg, Eliza Scanlen sebagai Beth, dan Florence Pugh menjadi si bungsu Amy. Ibu mereka, Marmee diperankan Laura Elizabeth Dern.
Banyak tokoh lainnya, seperti Robert Odenkirk sebagai ayah mereka, Merryl Streep sebagai bibi mereka.
Ayah mereka diceritakan di medan perang, sementara Bibi March seorang lajang yang penuh perhatian dan mencemaskan masa depan keempat ponakannya.
Peran mereka, termasuk editor, suami Meg dan Amy, juga pacar Jo, menjadi pilar keutuhan cerita.
Meskipun debutnya baru di film Lady Bird, Little Woman saya yakin akan membuka jalan bagi Greta Gerwig meraih kesuksesan di film-film berikutnya. Ia sudah membuktikan piawai membangun teknik yang langka dilakukan sutradara lain, dan berdasarkan karya sastra klasik dengan seabreg tokoh.
Novel ini dianggap penting pada jamannya. Publik sastra AS menilai karya yang paling realistis bagi masyarakat AS saat itu.
Kita patut mengacungi jempol kepada sutradara dan penulis skenario, meskipun banyak tokoh, cerita tidak kehilangan fokus. Jo memang jadi tokoh sentral, tapi sudut pandang Meg, Beth dan terutama si bungsu Amy, berhasil terekspos dengan sempurna. Begitu juga ambisi mereka tergambarkan.
Pertempuran batin antara Jo yang tomboy dan Amy, terutama dalam menaruh hati pada lelaki yang bertetangga, Laurent (Timothée Chalamet), sangat berhasil. Permusuhan itu terjadi sejak kecil saat Amy membakar seluruh draf novel Jo. Adegan marah Jo dan perasaan bersalah si bungsu sangat menggetarkan.
Jo baru memberi maaf saat adiknya yang jago melukis, nyaris tewas tenggelam di pelataran salju yang mendadak cair.
Kemurungan Jo juga berhasil ketika adiknya, Beth yang memang sakit berkepanjangan, akhirnya meninggal. Suasana pemakaman lengkap dihadiri seluruh keluarga. Penata musik cukup jeli dengan mengiringi suasana pemakaman dengan denting piano, musik yang selama ini jadi obsesi Beth.
Film ini menggambarkan bagaimana ketabahan sebuah keluarga meskipun diterpa kegetiran, kebencian, permusuhan diam-diam, juga kekeceweaan dan kehilangan. Mereka berakhir bahagia.
Kehilangan Beth dan pertengkarannya dengan si bungsu yang nyaris membuat Jo memilih menghentikan profesi menulisnya dan hidup melajang, bisa digagalkan oleh dua saudaranya.
Si bungsu Amy tentu paling gembira karena merasa bisa menebus kesalahannya, yaitu ketika membakar draft novel sang kakak.
Jo pun dengan sepenuh hati kembali ke pria pujaannya, Friedrich Bhaer yang diperankan Louis Garre. Profesi menulis pun tidak ditinggalkan. (cecep burdansyah)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.