Shandy Aulia Alami Mom Shaming setelah Beri MPASI Sang Anak, Pegiat Smart Parenting Beri Tanggapan
Shandy Aulia mengalami mom shaming setelah umumkan beri MPASI pada sang anak di usia 4 bulan. Pegiat smart parenting beri tanggapan.
Penulis: Widyadewi Metta Adya Irani
Editor: Ayu Miftakhul Husna
TRIBUNNEWS.COM - Aktris Shandy Aulia mengalami mom shaming setelah mengumumkan memberi Makanan Pendamping ASI (MPASI) pada sang buah hati, Claire Herbowo.
Sebelumnya, keputusan Shandy memberi MPASI pada Claire di usia 4 bulan menuju 5 bulan memang tampak menuai pro kontra.
Shandy pun lantas memberi penjelasan bahwa keputusan MPASI tersebut telah ia konsultasikan dengan dokter spesialis anak serta dokter gizi.
Baca: Shandy Aulia Tak Terima Anaknya Disebut Underweight, Beri Balasan Menohok untuk Komentar Warganet
Namun, hingga saat ini, sejumlah warganet masih melakukan mom shaming di kolom komentar media sosial sang aktris.
Dilansir dari unggahan akun Tiktok Shandy Aulia, @shandyauliareal, seorang warganet tampak mencibir keputusan Shandy memberi MPASI pada anaknya, Claire Herbowo.
"oooo ini yang viral itu ya, yg ngasi anak mpasi dini ?? ngasi makan madu kaloq gk salah,sampai mertua saya juga ikutan nyuruh buat mpasi dini, no no!" tulis sebuah akun di TikTok.
Pemerhati anak sekaligus pegiat smart parenting, Chrisnina Sari, memberikan tanggapannya terkait perilaku mom shaming atau melontarkan komentar negatif pada seorang ibu.
Nina membenarkan, mom shaming memang seringkali terjadi di lingkungan sekitar kita.
Ia berpendapat, perilaku shaming atau mengolok orang lain berasal dari pikiran logis yang semakin dangkal.
"Shaming itu berasal dari mindset orang yang semakin dangkal pikiran logisnya," kata Nina pada Tribunnews.com, Jumat (24/7/2020) malam.
Oleh karena itu, Nina mengatakan, mom shaming sebenarnya dapat dikendalikan dengan membiasakan diri berpikir secara logis dan ilmiah.
"Kalau menurut saya, mom shaming ini bisa dikendalikan jika kita terbiasa untuk berpikir logis dan ilmiah."
"Artinya, apapun yang kita katakan sebaiknya ada dasar ilmunya. Tidak sekadar berbicara, tidak sekadar mengomentari," ujarnya.
Baca: Shandy Aulia Murka Putrinya Dijuluki Underweight Setelah Umumkan Tak Lagi Beri Madu untuk Sang Anak
Namun, menurut Nina, hal ini memang masih kurang banyak diasah di sekolah-sekolah.
Sehingga, kemampuan untuk mengendalikan emosi, amarah, hingga rasa kecewa masih sangat minim.
"Sayangnya kemampuan seperti ini tidak begitu banyak diasah di sekolah karena sekolah dari beberapa dekade ini sudah mulai arahnya ke nilai rapor."
"Sehingga, kemampuan, skill diri untuk mengendalikan emosi, amarah, rasa kecewa itu sangat minim diakomodir di sekolah-sekolah," kata dia.
Pelaku Mom Shaming Kebanyakan Adalah Perempuan
Bicara soal mom shaming, Nina menjelaskan, perilaku ini lebih banyak dilakukan oleh para perempuan.
Nina menerangkan, hal ini dipengaruhi oleh kinerja otak perempuan yang sangat banyak dan random.
Sehingga, perempuan akan meluapkan hal yang menarik baginya.
"Perempuan itu memang dari otaknya memiliki banyak sekali saluran yang nggak urut, artinya lebih random daripada laki-laki."
"Sehingga, cara pikir kita pun ya random. Mana yang tiba-tiba menarik, akan kita blow up, mana yang tidak menarik ya akan tidak di blow up lagi atau dibiarkan begitu saja," terangnya.
Selain itu, Nina menyebutkan, perempuan pada dasarnya memang lebih suka berbicara dibanding para laki-laki.
Baca: Shandy Aulia Alami Mom Shaming setelah Beri MPASI pada Anak di Usia 4 Bulan, Ini Tanggapan Psikolog
Ia mengatakan, sejak pukul 10 pagi hingga pukul 5 sore, perempuan memiliki 7.000 hingga 20.000 kata.
Sedangkan, seorang laki-laki hanya memiliki maksimal 7.000 saldo kata saja.
"Jadi bisa dibayangin kan perempuan itu sangat suka bicara?"
"Ya fitrahnya seperti itu, jadi lebih mudah mengomentari, lebih mudah untuk reaktif akan sesuatu," terangnya.
Menurut Nina, sifat reaktif seseorang akan membuat dirinya lebih mudah merasa insecure.
Lantas, perasaan itu akan membuat dirinya cenderung menyerang orang lain sebelum dirinya diserang.
"Jadi lebih reaktif daripada dipikir duluan. Itulah kenapa perempuan itu biasanya lebih main pada perasaan daripada hal-hal yang bersifat logika," lanjutnya.
Oleh karena itu, Nina mengatakan, hal ini tentunya dapat dikendalikan dengan melatihnya.
Baca: Pro Kontra Pemberian Madu untuk MPASI Anak Shandy Aulia, Amankah Madu untuk Bayi?
Menurut Nina, apabila seseorang dapat membiasakan diri untuk melatih otak neokorteksnya, yaitu otak yang dominan dengan kemampuan logika, maka mereka tidak akan memiliki waktu untuk melakukan mom shaming.
"Otak neokorteks dengan otak reptil ini tidak bisa menyala bersama-sama, sehingga kalau neokorteksnya menyala, reptilnya akan padam."
"Sehingga kalau seseorang terbiasa dilatih pikirannya untuk memikirkan hal-hal yang positif, akademis, berbobot, biasanya mereka tidak punya waktu untuk mom shaming, body shaming, or comenting to order actions gitu karena otaknya sudah biasa untuk memikirkan hal-hal yang lebih baik," jelas Nina.
Akan tetapi, Nina mengatakan, berdasarkan observasi yang pernah ia lakukan, para ibu saat ini lekat dengan sesuatu yang serba instan.
Menurutnya, hal itu kemudian akan mempengaruhi kemampuan untuk bersabar dan berpikir sebelum bertindak.
"Saya kurang begitu paham ya untuk masalah seperti generasi milenial, generasi X, generasi Y, tapi angkatan saya ke bawah artinya jadi ibu di usia 20-an sampai 30-an tahun itu biasanya memang lebih memilih sesuatu yang cepat."
"Artinya mereka tidak dibangun, tidak dibiasakan untuk bersabar, tidak dibiasakan untuk berpikir sebelum bertindak, semuanya serba instan, semuanya serba segera," bebernya.
"Nah mereka yang reaktif biasanya akan lebih banyak menuai pro dan kontra, mereka yang reaktif akan lebih banyak untuk memperbaiki sesuatu daripada mencegah sesuatu," tambahnya.
Sementara itu, Nina menilai, saat ini semakin banyak orang yang kurang menyaring perkataannya dalam memberi komentar ataupun berpendapat.
Menurutnya, hal itu juga tak terlepas dari kebebasan berpendapat saat ini.
Sayangnya, Nina menambahkan, kebebasan tersebut justru membuat sejumlah orang tidak memikirkan konsekuensi dari perkataannya.
"Karena kebebasan berpendapat yang sudah sebegitu bebasnya, mereka juga kurang memikirkan hal-hal yang bisa menjadi konsekuensi dari yang mereka katakan, bahwa ini bisa menjadi social judging, bahwa ini bisa membuat orang lain depresi."
"Empati kepada orang lain pun menjadi kian pupus, kian tipis karena yang ada di pikiran mereka adalah saya, saya, dan saya, mereka merasa menjadi the center of universe," ujarnya.
(Tribunnews.com/Widyadewi Metta)