Sejarah Pergerakan Musik Rock dan Metal Saparua Akan Dibikin Film Dokumenter
Perjalanan musik rock dan metal di Kota Bandung rupanya akan ditampilkan dalam sebuah bentuk film dokumenter.
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Wartakotalive.com, Arie Puji Waluyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perjalanan musik rock dan metal di Kota Bandung rupanya akan ditampilkan dalam sebuah bentuk film dokumenter, yang digagas oleh Rich Music dalam judul 'Gelora Magnumentary: Saparua'.
Dalam proyek rangkaian program DistorsiKERAS, Rich Music selaku produser mengisahkan GOR Saparua, Bandung yang menjadi tempat bersejarah perjalanan musik keras atau rock dan metal di Kota Kembang.
Sutradara film dokumenter 'Gelora Magnumentary: Saparua' Alvin Yunata yang juga gitaris dari grup band Teenage Death Star, penggiat musik, dan mantan jurnalis menyebut film tersebut adalah sebuah jurnal, dari gedung yang dengan sengaja dialihfungsikan sebagai sarana seni dan hiburan dari lintas generasi.
Baca juga: Virzha Ingin Bangkitkan Musik Rock Lewat Lagu Bayangmu, Ada Kisah Susah Melupakan Mantan
Baca juga: Tremor Kenalkan Album Evolusi Logika, Musiknya Full Thrash Metal
"Namun ada fenomena menarik di decade terakhir sebelum gedung ini dinon-aktifkan, yaitu lahirnya sebuah generasi yang menjunjung tinggi kolektivitas, di mana mereka bisa mengubah gedung ini bukan lagi menjadi sekedar gedung pertunjukan seni namun lebih dari itu," mata Alvin Yunata dalam jumpa pers virtual film dokumenter 'Gelora Magnumentary: Saparua', Selasa (30/3/2021).
Alvin menambahkan, gedung Saparua berhasil melahirkan ideologi baru dikalangan budaya pop musik keras dan metal, yang juga menciptakan sebuah pergerakan musik tersebut.
"Sebuah pergerakan yang mampu membawa gedung ini sebagai salah satu kuil rock n roll dalam sejarah scene musik underground di Indonesia," ucapnya.
Ketika menjalani proses persiapan sampai akhirnya proses syuting, Alvin menyebut hal yang paling sulit dan menantang dikerjakan timnya, adalah arsip dokumentasi yang sulit ditemukan, khususnya pada era 80-an dan 90-an.
"Arsip dokumentasi ini lah Pekerjaan yang paling suklitnya. Karena kelemahannya di Indonesia bicara soal arsip ini," ucap Alvin Yunata.
Edy Khemod drummer grup band Seringai yang juga Creative Director dari Cerahati menuturkan, inisiatif proyek film dokumenter tersebut awalnya ingin merekam sejarah pergerakan musik rock dan metal di Indonesia.
"Proyek ini inisiatif dari pihak Cerahati, Arian13 dan Roni Pramaditia. Kami sama-sama berasal dari Bandung, dan turut merasakan pertumbuhan budaya di Bandung era 90-an saat gerakan independen mulai membesar di Bandung," jelas Edy Khemod.
"Dan kami menyadari ternyata selama ini belum banyak dokumentasi dari momen sejarah tersebut," tambahnya.
Bagi Edy, film dokumenter 'Gelora Magnumentary: Saparua' sangat penting disaksikan, karena ingin menyampaikan ke khalayak, bahwa akar dari berkembangnya musik rock dan metal di Bandung, berawal dari Saparua.
"Bahwa pergerakan musik independen saat itu memulai tidak atas dasar ekonomi tapi passion atas musiknya. Hal ini penting agar generasi ke depan tidak melulu berorientasi ada kesuksesan ekonomi," ungkap Edy Khemod.
Film dokumenter 'Gelora Magnumentary: Saparua' dihadirkan untuk mengapresiasi sejarah scene rock-metal di Indonesia. Program ini didasarkan pada proyek Membakar Batas yang diprakarsai oleh Cerahati sejak tahun 2011.
Tujuan dari proyek ini adalah untuk menangkap semua tonggak besar dalam sejarah rock dan metal scene, yang tentunya berangkat dari Saparua.
Para pelaku sejarah pergerakan musik Bandung seperti Sam Bimbo, Arian13 (Vokalis Seringai), Dadan Ketu (Manager Burgerkill/Riotic Records), Eben (Gitaris Burgerkill), Suar (Mantan Vokalis Pure Saturday), dan banyak lagi lainnya dilibatkan sebagai narasumber.
Rencananya, film dokumenter 'Gelora Magnumentary: Saparua' akan tayang tahun 2021, dengan harapan bisa menginspirasi masyarakat yang mencintai dan menyukai genre musik Rock dan Metal. (Arie Puji Waluyo/ARI).