Kala Happy Salma dan Widi Mulia Membedah Sajak Bung Karno
Bagi Bung Karno, sajak juga sebagai medium menggambarkan semangat juang dan keras kepala Bung Karno dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat Indonesia.
Editor: Johnson Simanjuntak
Sarinah di sini digambarkan sebagai simbol dalam ideologi Bung Karno yakni kesetaraan posisi perempuan dalam suatu perjuangan kehidupan dan bukan untuk ditindas. Terbukti dengan adanya narasi: kemanusiaan akan terus pincang selama shaf yang satu menindas shaf yang lain.
“Sebuah penilaian personal Bung Karno menghargai orang-orang sekitar beliau, khususnya dari pengasuh perempuannya. Tak beda dengan saat bertemu seorang petani kecil dan melahirkan ideologi marhaenisme," kata Happy penuh semangat.
Adapun Widi Mulia Sunarya, penyanyi dan pemain seni peran membawakan musikalisasi puisi humanis Bung Karno berjudul ‘Dikantongi oleh Tuhan’, diambil dari buku ‘Ilmu dan Perjuangan’.
“Kita diprocotkan tidak di langit, tidak di laut,
Tapi diprocotkan di tanah air ini,
Yang dari tanah air inilah kita, saudara-saudara, dapat makanan dan minuman,
Yang dari tanah air inilah kita menghirup hawanya yang segar,
Tanah airlah tempat kita dari masih bayi merah itu
tumbuh menjadi manusia yang dewasa sekarang,
Hai manusia,
Cintailah Tuhan yang dulu mengantongi engkau.
Cintailah Ibu Bapakmu, dapur yang dibuat Tuhan untuk menggumelarkan engkau,
Cintailah tanah air yang di tempat itu engkau dapat minum, makan dan lain sebagainya…”
Menurut Widi, puisi ini menggambarkan kejenakaan sekaligus jiwa penuh kasih Bung Karno.
“Bung Karno menceritakan konsep kehidupan secara menyeluruh, tapi amat sederhana. Ada kata-kata ‘gumelar’, lalu ada kata ‘procot’. Beliau memang seorang seniman sejati. Lugas tapi tetap terasa pantas dan ringan,” kata perempuan kelahiran Jakarta, 42 tahun lalu itu.
Bersama kemudian mereka bertiga membacakan puisi kondang Bung Karno lain: ‘Putra Sang Fajar’, dicuplik dari buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, hlm. 24, 25, 26.
“…. Karena aku terdiri dari dua belahan
aku dapat memperlihatkan segala rupa
aku dapat mengerti segala pihak
aku memimpin semua orang
boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan
boleh jadi juga pertanda lain.
Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu
menjadikanku seorang yang merangkul semuanya….”
Garda menafsirkan, bahwa puisi ‘Putra Sang Fajar’ sangat menggambarkan kepribadian diri Bung Karno.
“Dari sini ada pesan yang ditempelkan bahwa Bung Karno lahir di tanah Indonesia, dikelilingi keluarga terkasih orang Indonesia, hidup di lintasan sejarah Indonesia, dan tentu cinta kepada bangsa Indonesia," kata Garda.
Dari sisi Happy, pembahasan soal ‘Gemini’ sebagai rasi bintang yang ditonjolkan Bung Karno tentang personalitanya menjadi sesuatu yang menarik.
“Selain memakai bahasa yang sangat relevan untuk anak kekinian, Bung Karno menilai dirinya sangat menusia. Beliau pun tak mengkultuskan dirinya. Ditegaskan, bahwa manusia itu selalu ada dua sisi,” urai Happy.
Widi pun menggarisbawahi, puisi ini menunjukkan bahwa profil seorang pemimpin tak bisa lepas dari akarnya. Selain Bung Karno tampak sebagai seorang yang nyaman dengan dirinya sendiri, bebas dari perasaan ‘insecurity’.
“Begitu customized dan sangat organic. Termasuk saat Bung Karno menunjukkan kondisi ‘ketiadaan’ untuk menggambarkan kesederhanaan di masa kelahirannya. Pencerita yang ulung sehingga layak menjadi Bapak Bangsa melalui gagasan besar dengan bahasa ringan dan nancap,” pungkas Widi.