Dampak Psikologis Muhammad Leslar Al-Fatih Billar Terkait Kasus KDRT Rizky Billar pada Lesti Kejora
Meski kini baby L masih balita, namun rekam jejak digital akan terus tersimpan. Psikolog sebut Baby L akan kurang percaya dengan perkawinan.
Penulis: Izmi Ulirrosifa
Editor: Ayu Miftakhul Husna
TRIBUNNEWS.COM – Pedangdut Lesti Kejora mengalami dugaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh sang suami, Rizky Billar.
Kasus KDRT yang menimpa Lesti Kejora membuat geger warganet.
Imbas dari KDRT itu pun berdampak pada kondisi psikologis sang anak, Muhammad Leslar Al-Fatih Billar alias baby L.
Meski kini baby L masih balita, namun rekam jejak digital akan terus tersimpan.
Sebagai publik figure, pastinya banyak media yang memberitakan kasus KDRT yang menimpa Lesti Kejora.
Seorang psikolog bernama Mintarsih menyebut bahwa baby L nantinya bakal kurang percaya dengan perkawinan.
Baca juga: Diduga Sudah Talak Satu Lesti Kejora, Rizky Billar Kini Dalami Ilmu Agama
“Nantinya anak-anak itu juga akan kurang percaya pada suatu perkawinan,” jelas Mitarsih, dikutip pada kanal YouTube KH Infotainment, Minggu (9/10/2022).
Selain itu, dampak psikologis yang akan terjadi pada baby L, tergantung seberapa parah kasus KDRT yang dialami Lesti Kejora.
“Lalu tergantung lagi usia anak-anak itu berapa, kalau dia masih di bawah satu tahun maka mungkin belum terlalu mengerti.”
“Tapi kalau sudah agak mengerti itu menjadi masalah yang cukup berbahaya kemudian hari,” terang Mintarsih.
Kata Mintarsih, jika Rizky Billar dan Lesti kejora sering berkelahi di depan baby L, maka itu dapat menghambat perkembangan jiwa sang anak.
“Perkembangan jiwa dari anak-anaknya jadi kurang baik.”
“Jika perkembang jiwa kurang baik maka kemudian hari sangat mungkin terjadi macam-macam masalah akibat dari situasi jiwa yang kurang matang,” kata Mitarsih.
Baca juga: Bantah Jadi Simpanan Rizky Billar, Isa Zega Ungkap Awal Mula Kenal dengan Suami Lesti Kejora
Mitarsih juga membeberkan bagaimana cara untuk mencegah agar kasus KDRT itu tak terlalu berdampak bagi baby L.
“Perlu dilihat traumanya sebesar apa, lalu kita beri pengarahan kalau faktanya itu hanya terjadi pada keluarganya, pada keluarga lain tidak terjadi.”
“Bisa juga dengan cerita-cerita, misalnya kalau ada kejadian kekerasan maka diberi pengarahan untuk membayangkan, jadi nanti anak itu tidak menganggap bahwa di mana-mana kejadianya mirip.”
“Nantinya anak itu tidak menganggap di mana-mana orang tua seperti itu, pandaangan ini yang nanti akan diubah,” ujar Mitarsih.
(Tribunnews.com/Izmi Ulirrosifa)