Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Sport

Kupu-Kupu itu Akhirnya Tak Lagi Bisa Menari di Atas Ring

SAYA pertama kali mendengar nama Muhammad Ali dari bapak saya pada tahun 1984. Saya masih SD dan segera mengira bahwa ia orang Indonesia

zoom-in Kupu-Kupu itu Akhirnya Tak Lagi Bisa Menari di Atas Ring
INTERNET
Muhammad Ali dan The Beatles. Foto tahun 1964 

SAYA pertama kali mendengar nama Muhammad Ali dari bapak saya pada tahun 1984. Saya masih SD dan segera mengira bahwa ia orang Indonesia hanya karena namanya mirip dengan nama tetangga saya --seorang lelaki tua, PNS hampir pensiun, yang hidup berdua saja dengan istrinya dan malam-malam mereka dihabiskan dengan mengajar anak-anak mengaji, termasuk saya.

Bagaimana rupa Muhammad Ali, saat itu saya memang tak tahu. Sekadar membayang- bayangkan secara liar dan ngawur, sehingga kadang-kadang, wajah Pak Ali yang uzur, bisa melintas.

Indonesia di tahun 1984 tidak seperti Indonesia kekinian. Tidak ada koneksi internet. Bahkan belum ada komputer kecuali di beberapa bidang kerja yang sangat khusus. Berita hanya bisa diakses lewat surat kabar atau koran, atau didengarkan melalui radio, atau dengan menonton televisi, di mana satu-satunya stasiun yang mengudara adalah TVRI.

Muhammad Ali gantung sarung tinju, pensiun dari arena adu pukul, pada tahun 1981, dan saya baru menonton pertandingannya, lewat satu rekaman pertandingannya di televisi pemerintah itu, lima tahun berselang. Saya lupa apakah di program "Dari Gelanggang ke Gelanggang" atau "Arena dan Juara". Yang pasti, dan saya ingat betul, pembawa acaranya Max Sopacua.

Rekaman duel ini sempat membuat saya kecewa. Bayangan saya terhadap sosok Muhammad Ali sungguh jauh sekali. Dia bukan seperti orang Indonesia. Tongkrongannya tinggi besar, kulit legam, rambutnya keriting, dan berbicara dengan bahasa yang tak saya mengerti. Bahasa seperti yang diucapkan Jon Baker dan Frank Poncherello, dua polisi lalu lintas jagoan dalam serial ChiPs yang sering saya curi-curi tonton.

Jikapun ada perkara yang agak melegakan adalah agama Ali. Seperti saya, dia juga Islam. Dan ini membuat saya takjub. Pemikiran saya yang masih cetek dan lugu mengklasifikasikan fakta ini sebagai hal luar biasa. Ternyata ada orang di luar Indonesia, di luar bangsa-bangsa Arab, yang beragama Islam. Saya sama sekali belum tahu bahwa Ali sebelumnya bernama Cassius Clay.

Sejak itu saya makin sering menonton rekaman-rekaman pertandingan Ali, yang lambat laun juga menumbuhkembangkan ketertarikan saya terhadap tinju. Selain Ali saya menonton Ken Norton, George Foreman, Leon Spinks, Larry Holmes, Michael Spinks, dan di kemudian hari Mike Tyson, Evander Holyfield, dan Lennox Lewis di kelas berat.

BERITA TERKAIT

Lalu Sugar Ray Leonard, Roberto Duran, Thomas Hearns, Marvin Hagler, Julio Cesar Chavez, hingga generasi Roy Jones Jr, Oscar De La Hoya, Felix Trinidad, Naseem Hamed, Bernard Hopkins, Juan Manuel Marquez, Floyd Mayweather Jr dan Manny Paquiao di kelas-kelas menengah.

Namun bagi saya, kecuali barangkali Sugar Ray Leonard yang agak-agak mendekati, tidak ada petinju yang memiliki kelengkapan pesona seperti Muhammad Ali. Tidak ada yang dengan begitu sempurna bisa memadukan antara kekerasan dan keindahan, lantas mengemasnya menjadi pertunjukan yang menghibur. Bukan cuma duelnya, akan tetapi juga sekaligus dirinya.Muhammad Ali adalah pertunjukan itu sendiri.

Tahun 1964 dia bertemu The Beatles. John Lennon, Paul McCartney, George Harrison, dan Ringo Star adalah empat laki-laki paling kondang di kolong langit. Mereka rock star yang sedangnangkring di puncak popularitas.

Ali mampu mengimbangi kecemerlangan itu. Secarik foto pertemuan mereka, foto di mana Ali melepaskan jab ke kepala George Harrison dan berefek domino pada McCartney, John Lennon, dan Ringo Star, menjadi satu di antara foto icon yang melegenda. Satu kalimat Ali dalam pertemuan, juga kesohor dan barangkali akan dikenang untuk waktu yang lama: "You ain't no fool if you from Liverpool."

Adakah petinju lain yang seperti itu? Secara teknis, Leonard mendekati. Seperti Ali, dia juga piawai menari-nari di lapangan. Kaki-kakinya lincah dan ringan, pukulannya berat, cepat dan keras. Leonard adalah "penerus" filosofi bertinju Muhammad Ali: float like a butterfly, sting like a bee, The hands can't hit what the eyes can't see. Menari seperti kupu-kupu, menyengat seperti lebah, tangan bisa memukul apa yang tidak terlihat oleh mata. Kerapuhan yang menipu.

Tapi Leonard tidak populer. Dari sisi ini, dia kalah jauh dari Ali. Popularitas dimiliki Oscar De La Hoya, Manny Paquiao, dan Floyd Mayweather Jr. Tapi tetap tak lengkap. Gaya bertinju De La Hoya dan Pacquiao tidak indah. Main hantam dengan pukulan mematikan. Nyaris brutal. Mike Tyson dalam ukuran lebih mini. Mereka nyaris tak pernah menari.

Mayweather bertinju dengan indah. Berteknik tinggi, menghitung cermat tiap langkah, dan cerdik. Dia mirip Ali. Popularitasnya juga menjulang. Namun berbeda dari Ali, popularitas ini lebih banyak berangkat dari perkara-perkara yang buruk dan kontroversial. Ali adalah people champions, Mayweather tidak.

Sepanjang kariernya yang cemerlang di atas ring, Muhammad Alimelakoni 61 duel. Lima di antaranya berkesudahan dengan kekalahan, yakni dari Joe Frazier (1971), Ken Norton (1973), Leon Spinks (1978), Larry Holmes (1980), dan Trevor Berbick (1981). Kekalahan atas Berbick menutup karier Ali.

Namun Ali terus bertarung. Bukan lagi melawan petinju di atas ring, melainkan melawan dirinya sendiri. Melawan Parkinson yang menggerogoti syaraf-syaraf motoriknya, yang membuatnya sulit bergerak, bahkan untuk sekadar mengangkat kedua tangannya. Ali bertarung selama 32 tahun dan tadi pagi, 4 Juni 2016, perlawanan itu berakhir.

Ali kalah. Tapi kali ini, kekalahan tak bermakna melepaskan. Kali ini, atas kekalahannya Muhammad Ali justru mendapatkan. Yaitu pengukuhan pengakuan dirinya sebagai 'the greatest all the time', yang terbesar sepanjang masa.

twitter: @aguskhaidir

Sumber: Tribun Medan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas