Ajeng Safitri Bermodal Tekad Meraih Medali Perak Gulat di Popnas 2017
Silfia Ajeng Safitri (17) mempersembahkan medali perak untuk kontingen DKI Jakarta dalam Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas XIV)
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, GROBOGAN - Ada kebanggaan meledak di dada pegulat putri DKI Jakarta, Silfia Ajeng Safitri (17) meskipun hanya mempersembahkan medali perak untuk kontingen DKI Jakarta dalam Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) 2017 di GOR Simpang Lima Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah Sabtu (16/9/2017).
Ajeng, demikian anak kedua dari lima bersaudara ini biasa dipanggil, merasa sangat bangga pada raihan medali perak pertamanya ini. Ia bangga, pertama karena dia merasa belum apa-apa di gulat, akan tetapi sudah bisa mempersembahkan medali perak.
Itupun karena kalah di final. Kalau saja menang bukan tidak mungkin Ajeng langsung mempersembahkan medali emas untuk DKI Jakarta.
Ajeng baru mengenal gulat tahun 2012, itupun dikenalkan oleh Ibu Lumia, guru olahraga di SD di Rawa Buaya Jakarta Barat.
Tahun 2015 Ajeng berhasil meraih juara di Porprov DKI. Tahun 2016 masuk PPLP dan melanjutkan sekolah di SMA Ragunan.
"Saya belum apa-apa di gulat, masih perlu belajar banyak untuk bisa seperti orang lain sangat berprestasi. Mudah-mudahan ke depannya saya bisa memberikan yang terbaik untuk DKI Jakarta," tuturnya.
Kebanggaan yang kedua kata Ajeng, karena dengan berprestasi di gulat (meraih medali emas, perak atau perunggu) adalah tangga untuk bisa mewujudkan impiannya membawa angin perubahan dalam kehidupan keluarganya.
Maklum Ajeng bukan anak dari keluarga mampu. Ibunya, Turiah (40) bekerja sebagai tukang cuci-gosok di sekitar rumahnya di daerah Rawa Buaya Jakarta Barat.
Semua pasti tahu berapa penghasilan seorang tukang cuci-gosok tiap bulannya, pasti tidak banyak, tetapi bersyukur saja, bisa menyekolahkan kelima putra putrinya.
Ayahnya, Aswir (47) tidak bekerja karena kehabisan modal. Sebelumnya Aswir pedagang asesoris HP di pinggiran Roxy Jakarta Barat. Sekarang berhenti.
Menurut Ajeng dia masih berusaha mengumpulkan modal untuk ayahnya. Modalnya untuk jual asesoris HP itu tidak banyak sekitar Rp 1.500.000 saja. Tapi nilai sebesar itu, bagi yang lain mungkin kecil, tetapi tidak bagi keluarga ini.
Sebab, mengumpulkan uang untuk modal ayahnya masih harus berbagi dengan membayar kontrakan rumah mereka di Rawa Buaya. Ibu sendiri katanya tidak mungkin bisa bayar kontrakan yang nilainya Rp 3 juta untuk enam bulan, atau perbulan sekitar Rp 500.000.
Uang sebesar itu patungan bertiga kata Ajeng, yakni dari kakaknya yang sudah bekerja, Ajeng, dan ibunya. Dari penghasilan bertiga inilah untuk biaya keseluruhan hidup keluarga dengan anak lima orang ini termasuk masih membiayai ketiga adiknya yang masih sekolah.
Maka ketika pertandingan final gulat kelas 46 putri free style melawan pegulat dari Jatim, Ajeng sempatkan diri berdoa. Dia memohon kepada Allah semoga bisa menang karena kemenangan baginya sangat berarti bukan untuk dirinya saja melainkan untuk keluarganya.
Orang gulat dari DKI yang ditemui di GOR Simpang Lima Purwodadi Grobogan Jawa Tengah malam itu mengatakan DKI Jakarta sebentar lagi akan memiliki pegulat hebat di kelas 46 kg putri. Betapa tidak Ajeng, sudah hampir jadi.
Permainannya di atas matras gulat semakin oke. Seperti kata Joko, Ajeng sudah bisa mengatur irama pertandingan. Dia tahu kapan dia masuk, dan kapan tak boleh gegabah menyerang.
Ajeng sudah hampir jadi, tinggal butuh pelatihan yang intensif dalam satu dua tahun ini untuk menjadikan Ajeng sebagai ladang emas untuk gulat DKI Jakarta.