Reli Jaman Dulu dan Sekarang Berbeda Karena Berbagai Faktor kata Jeffrey JP
Jeffrey JP, mantan pereli dan navigator nasional era 80 dan 90-an yang kini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal IMI Pusat menceritakan mengenai rel
Penulis: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jeffrey JP, mantan pereli dan navigator nasional era 80 dan 90-an yang kini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal IMI Pusat menceritakan mengenai reli yang pernah diikutinya lebih kurang 30 tahun lalu.
“Bisa dibilang berbeda karena berbagai faktor. Reli saat itu sangat ramai dan banyak peminat. Ajang kejuaraan reli di Indonesia pada tahun 80-90an sudah berbeda dengan sekarang. Ini dapat dilihat dari banyak hal, seperti misalnya regulasi teknis ataupun dari sisi mobilitasnya,” ungkap Jeffrey JP.
Terkait perbedaan yang dirasakan olehnya, Jeffrey mengakui jika dulu model service area berpindah-pindah dan cenderung total SS lebih jauh karena lokasi penyelenggaraan yang digunakan lebih luas.
"Misalnya 1 etape rutenya bisa dari Medan hingga Parapat dan sebaliknya,” tuturnya.
Sementara di era sekarang, diakuinya ada perubahan-perubahan yang mempertimbangkan banyak hal, seperti dari sisi efisiensi dan efektivitas, wisata, dan lain sebagainya.
“Saat ini, di kancah reli menggunakan sistem cloverleaf. Jadi service area berpusat di satu titik. SS-nya yang memutari service area,” jelas Jeffrey JP.
Tahun 90-an pun, World Rally Championship (WRC) dijelaskannya juga sempat digelar di Indonesia yang menandakan sebagai puncak kejayaan reli di Indonesia.
“Tentu saja saat itu merupakan pengalaman yang tak terlupakan bagi komunitas reli Tanah Air karena Indonesia bisa turut andil dalam menyelenggarakan event reli terbesar di dunia,” tutur Jeffrey.
Sementara itu, Julian Johan, pereli muda yang lebih dikenal sebagai putra sulung pereli senior Ismail Johan, juga memberikan pendapatnya mengenai kancah reli Tanah Air saat ini.
Julian atau akrab disapa Jeje mengungkapkan bahwa kancah reli terus berevolusi.
“Dulu mobil-mobil yang ikut semuanya terkesan seperti mobil mahal, tapi sekarang mobil normal yang beredar di pasaran juga sudah bisa ikut reli sehingga terasa lebih affordable untuk masyarakat,” ujar Jeje.
Menurut Jeje, secara peraturan, kancah reli juga terus berkembang demi menyesuaikan nilai-nilai kompetisi, faktor keamanan pereli, penonton, serta unsur hiburan.
Bahkan, demi membangkitkan kembali kancah reli seperti 30an tahun yang lalu, muncul kelas-kelas baru yang lebih memudahkan para peserta untuk ikut di ajang reli.
“Saat ini ada kelas AP4 yang ada di region Asia Pasifik. Selain lebih ekonomis ketimbang ajang reli di Eropa, aturannya pun dibuat lebih cocok untuk para peserta yang tinggal di kawasan Asia Pasifik,” jelas Jeje.
Apalagi menurut Jeje, saat ini teknologi menjadi salah satu senjata paling ampuh untuk kembali membangkitkan reli di Indonesia. Jeje pun mendukung penuh Komisi Reli IMI Pusat yang dipimpin oleh Rifat Sungkar untuk membangkitkan reli seperti sedia kala.
“Rifat sangat berkompeten untuk merangkul semua pihak agar reli bisa bergairah seperti dulu lagi, dengan mengombinasikan teknologi serta regulasi yang telah dirumuskannya,” aku Jeje.
Jeje pun juga menilai jika usaha-usaha yang dilakukan oleh Rifat dan Komisi Reli telah membuahkan hasil yang baik.
“Saat ini pun sudah mulai terlihat kalau masyarakat umum mulai tertarik terhadap dunia reli. Semoga saja Rifat dan seluruh rekan-rekan yang tergabung di komunitas reli dapat mengembalikan kejayaan reli di Indonesia seperti 20-30 tahun lalu,” papar Jeje.