Kisah Apriyani Rahayu Anak Petani dari Desa: Mengaku Kuat Karena Banyak Makan Songgi, Kini Raih Emas
Euforia keberhasilan Apriyani Rahayu dan Greysia Polii meraih medali emas bulutangkis ganda putri di Olimpiade Tokyo 2020 masih terasa.
Editor: Muhammad Barir
Laporan Wartawan TribunnewsSultra.com, Arman Tosepu
TRIBUNNEWS.COM, KONAWE- LAGU kebangsaan Indonesia Raya akhirnya berkumandang di Olimpiade Tokyo 2020 setelah ganda putri Greysia Polii/Apriyani Rahayu meraih medali emas.
Mereka meraih medali emas usai menaklukkan wakil China unggulan kedua, Chen Qing Chen/Jia Yi Fan Senin (2/8) siang. Greys/Apri menang dua gim langsung 21-19, 21-15.
Dikutip dari Tribunnews Sultra, Euforia keberhasilan Apriyani Rahayu dan Greysia Polii meraih medali emas bulutangkis ganda putri di Olimpiade Tokyo 2020 masih terasa.
Di kampung halaman Apriyani, Kelurahan Lawulo, Kecamatan Anggaberi, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), euforia kemenangan itu masih terasa hingga Selasa (03/07/2021).
Apriani Rahayu yang menjadi pasangan ganda putri Greysia Polii merupakan putri Tolaki, berasal dari kampung yang berlokasi sekitar 66,1 kilometer (km) dari Kota Kendari, ibu kota Provinsi Sultra itu.
Dari kampung inilah, kini Apriyani menorehkan prestasi dunia dengan meraih medali emas ganda putri bulutangkis bersama Greysia Polii di Olimpiade Tokyo 2020.
“Apriyani itu anak petani, anak dari pedesaan,” kata ayah Apriyani Rahayu, Amiruddin P.
Apriyani terlahir dari pasangan Amiruddin dan Sitti Djauhar. Ibu Apriyani telah berpulang pada tahun 2015 silam. Apriyani Rahayu lahir di Kabupaten Konawe, Provinsi Sultra, 29 April 1998.
Amiruddin bercerita prestasi yang ditorehkan sang putri hingga meraih medali emas di Olimpiade Tokyo 2020 tidaklah mudah.
Berliku, terjal, bahkan penuh dengan hinaan dan cemoohan orang.
“Awalnya banyak yang bilang dia tidak akan berhasil,” ujar Amiruddin.
Tak hanya sangsi dengan kemampuan yang dimiliki Apriyani. Amiruddin menyebut terlalu banyak hinaan yang didapatkan saat awal mula sang putri merintis karier di dunia bulutangkis.
“Yang mengesankan selama saya antar Apri itu terlalu banyak hinaan,” jelas Amiruddin ditanya mengenai pengalaman paling berkesan selama putrinya merintis karier.
“Karena Apri kuat katanya karena ini, banyak songgi (sinonggi, makanan khas Sultra) padahal dia tidak tahu di rumah dia langsung mengatakan begitu,” katanya menambahkan.
Songgi atau Sinonggi adalah makanan khas Sulawesi Tenggara yang kenyal dan lengket. Makanan ini terbuat dari pati sari sagu.
Amiruddin mengatakan, hinaan demi hinaan tersebut justru menjadi cambuk bagi dirinya utamanya Apriyani Rahayu.
Dia bersama almarhum ibu Apriyani pun terus memberi dukungan kepada sang buah hati.
“Tapi satu dorongan bagi saya untuk membina dia bagaimana bisa bagus prestasinya,” jelas Amiruddin.
Apalagi, kata Amiruddin, dia yakin putrinya tersebut memiliki potensi besar di cabang olahraga bulutangkis sejak dini.
Alhasil, kini sang putri berhasil membuktikan diri dengan menuai prestasi.
“Saya lihat dia punya gerakan itu calon-calon pemain dunia, dan Alhamdulillah kini terbukti dia menjadi juara dunia,” ujarnya.
Pegang Raket Sejak Usia 3 Tahun
Pebulutangkis Apriyani Rahayu disebutkan sudah memperlihatkan minat bulutangkis sejak kanak-kanak.
Dia mulai memegang raket sejak usia 3 tahun.
Minat dan bakat Apriyani tersebut diturunkan dari sang ibu yang dulunya atlet bulutangkis.
Sang ibu, Sitti Djauhar, semasa hidup kerap mewakili dinas untuk bertanding.
“Dia pegang raket itu sejak masih kecil, baru usia 3 tahun. Kebetulan mamanya, almarhumah pemain bulu tangkis dan dulu biasa mewakili dinas bertanding,” kata ayah Apriyani Rahayu, Amiruddin P.
Namun, kala itu, sang ibu memberikan Apriyani raket bekas.
“Makanya ada raket tapi mamanya tidak mau kasih raket yang bagus tapi raket bekas. Disambung-sambung itu raketnya,” jelas Amiruddin.
Menurut Amiruddin, sang putri memang sudah memperlihatkan talenta sejak kecil, sebelum masuk sekolah dasar.
“Boleh dikata, Apriyani belum lancar bicara sudah bermain bulu tangkis,” ujar Amiruddin.
Amiruddin mengatakan, saat kecil Apriyani sering bermain bulutangkis menggunakan raket yang dimiliki almarhum ibunya.
Namun, dia menggunakan raket bekas tak layak pakai kala masih anak-anak.
“Belum bisa beli raket dulu, masih disambung-sambung (tali senar),” jelas Amiruddin.
Seiring berjalannya waktu minat dan potensi putrinya itu semakin kelihatan.
Mereka pun membelikan raket untuk Apriyani.
Tak sekadar raket, halaman rumah pun disulap menjadi lapangan bulutangkis seadanya.
Ikut Turnamen Pertama Pada Usia Dini
Dengan bakat dan potensi yang dimiliki putrinya itu, kata Amiruddin, Apriyani mulai mengikuti turnamen bulutangkis saat masih usia dini.
Sekitar tahun 2006, ada seorang guru yang mencari bibit atlet untuk mewakili kecamatan bertanding untuk tingkat Kabupaten Konawe.
“Alhamdulillah, ada temannya yang bilang 'ada teman ku, siapa namanya? Apriyani Rahayu' sudah mi dia suruh bawa raket,” ujar Amiruddin.
Kala itu, Apriyani kemudian dibawa ke sekolah untuk dilatih dan diuji oleh gurunya.
Gurunya pun menilai Apriyani layak mewakili kecamatan untuk turnamen tingkat kabupaten.
Saat turnamen tingkat kabupaten itulah Apriyani menorehkan prestasi pertamanya di dunia bulutangkis.
Namun, itupun tak diraih Apriyani dengan mudah. Meski sudah menang di babak final, pertandingan yang sudah dimenangkan Apriyani diminta diulang lagi.
Menurut Amiruddin, saat Apriyani melaju ke final dan menang, beberapa pihak tak setuju dengan kemenangannya itu. Panitia kemudian memutuskan untuk melakukan pertandingan ulang.
Alhasil, Apriyani tetap memenangkan pertandingan final tingkat kabupaten tersebut.
“Tidak cukup seminggu dari situ, Apriyani selanjutnya ikut seleksi tingkat kabupaten,” kata Amiruddin.
Seleksi tingkat kabupaten tersebut, kemudian menghantarkan Apriyani bertanding di tingkat Provinsi Sulawesi Tenggara.
Apriyani kala itu berhasil meraih juara dua tingkat Provinsi Sultra.
Keberhasilan itupun sempat meninggalkan cerita bagi Apriyani, begitupun sang ayah.
Menurut Amiruddin, saat itu ada pihak yang menawarkan kepada Apriyani agar mengalah sebelum pertandingan berlangsung.
Dengan iming-iming imbalan bakal dibelikan baju dan sepatu baru. Namun, Apriyani kecil menolak tawaran orang itu.
“Masih bisa dia belikan papah ku, saya mau ke Jakarta. Menangis dia,” kata Amiruddin mengutip perkataan Apriyani kala itu.
Prestasi demi prestasi selanjutnya ditorehkan Apriyani
Pada tahun berikutnya, Apriyani kemudian mengkuti Pekan Olah Raga Daerah (Porda) Konawe Selatan (Konsel). Saat ikut Porda Konsel itu, Apriyani kembali menorehkan prestasi.
Tak hanya satu, tapi meraih beberapa gelar juara. Apriyani berhasil meraih tiga medali emas.
“Dia ambil medali emas semua, ditunggal putri, ganda campuran dan ganda putri. Itu medalinya masih ada disitu,” kata Amiruddin sambil menunjuk lemari koleksi medali dan piala milik Apriyani.
Semasa kecil, Apriyani Rahayu bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Lalosabila, Kecamatan Wawotobi, Kabupaten Konawe.
Selanjutnya, bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Unaaha.
Saat Sekolah Menengah Atas (SMA), Apriyani sudah mulai fokus menjadi atlet bulutangkis dan berlatih di Kota Kendari.
Sehingga Apriyani mengikuti kelas belajar jarak jauh. Apriyani merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Ia adalah satu-satunya anak perempuan dari empat saudaranya itu.
Dari Konawe Berangkat ke Jakarta
Dengan berbagai torehan prestasi yang dicatatkan di tingkat regional, Apriyani Rahayu pun dilirik.
Dia pun berangkat ke Jakarta untuk Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) dari Persatuan Bulu Tangkis Konawe Utara atau PB Konut.
“Beliau (Apriyani) dari Kabupaten Konawe. Beliau berhasil ke Jakarta masuk Pelatnas berangkat dari PB Konut,” kata Bupati Konawe Utara (Konut) Ruksamin dikonfirmasi secara terpisah.
Ayah Apriyani Rahayu, Amiruddin P, bercerita saat akan berangkat pertama kali ke Jakarta, dirinya didatangi oleh dua pelatih Apriyani.
Meski terasa berat, Amiruddin dan istrinya kala itu akhirnya mengizinkan putrinya berangkat ke Jakarta. Mereka mendukung penuh putrinya meskipun harus terpisah jarak. “Mamanya bayangkan itu kita pergi antar di bandara, sampai di sini tiga kali pingsan dia ingat anaknya,” kata Amiruddin.
“Saya bilang kamu doakan saja, tidak ada lain. Jadi kerjanya itu kalau lagi duduk dia baca Yasin,” jelas Amiruddin menambahkan.
Momen duka pun dirasakan Apriyani Rayahu pada 10 November 2015 silam. Sang ibu yang selalu memberi dukungan berpulang untuk selama-lamanya.
Momen duka itupun diterima Apriyani saat tengah bertanding mewakili Indonesia. Kala itu, Apriyani sudah berada di lapangan untuk bertanding di Peru, Amerika Selatan.
Kabar duka kepergian sang ibu pun sempat menunda pertandingan itu untuk beberapa saat. Pelatih memberitahu wasit untuk mengabari Apriyani yang sedang bertanding jika ibunya sudah tiada.
“Terpaksa, dia (Apriyani) berdoa dulu baru masuk lapangan. Nanti kembali di Indonesia selesai pertandingan dua minggu kemudian baru pulang di sini (Konawe) baca-bacakan,” jelas Amiruddin.
(TribunnewsSultra.com/Arman Tosepu)
Artikel ini telah tayang di TribunnewsSultra.com dengan judul Terlalu Banyak Hinaan Diterima Apriyani Rahayu, Kata Sang Ayah Ungkap Perjuangan Putrinya