Ling Ling Agustin Bersuara di Asian Games 2022 Hangzhou
Konflik dualisme organisasi dalam dunia tenis meja Indonesia terus menjadi sorotan. Ternyata, masalah ini telah mempengaruhi prestasi tenis meja
Penulis: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Konflik dualisme organisasi dalam dunia tenis meja Indonesia terus menjadi sorotan. Ternyata, masalah ini telah mempengaruhi prestasi tenis meja Tanah Air selama lebih dari satu dekade.
Dalam sejarahnya, konflik ini belum juga terselesaikan meskipun telah melalui tiga edisi Pekan Olahraga Nasional (PON) dan tujuh edisi SEA Games.
Tidak hanya merugikan pembinaan tenis meja Indonesia, namun juga mengkhawatirkan masa depan atlet-atlet yang berbakat. Olympian tenis meja, Ling Ling Agustin, mulai mengangkat suaranya dalam isu ini. Sebagai anggota Komisi Atlet Komite Olimpiade Indonesia (NOC Indonesia), Ling Ling merasa memiliki tanggung jawab untuk memastikan masa depan tenis meja Indonesia tetap cerah.
Tenis meja merupakan salah satu cabang olahraga yang sangat populer di Indonesia. Namun, sayangnya, prestasinya telah merosot, baik di tingkat regional maupun internasional.
"Saya adalah saksi sejarah dimana Indonesia mampu menyapu bersih 7 medali emas pada SEA Games 1993 Singapura," ujar Ling Ling Agustin, yang saat itu kejayaan tenis meja Indonesia dipimpin oleh PB PTMSI di bawah kepemimpinan Pak Ali Said SH.
"Sekarang, semuanya sudah berantakan. Bukan hanya sistem pembinaan di Tanah Air yang rusak, tetapi juga masa depan atlet-atlet tenis meja yang terkubur beberapa generasi," tambahnya.
Ling Ling Agustin juga menyampaikan kekecewaannya terhadap pembukaan Asian Games 2022 di Hangzhou. Ia merasa sedih karena atlet tenis meja tidak dapat memperkuat Kontingen Indonesia dalam ajang tersebut.
Konflik dualisme ini telah berlangsung selama 12 tahun tanpa tanda-tanda penyelesaian. Yang membuatnya semakin rumit adalah persaingan antara Pengurus Pusat Persatuan Tenis Meja Indonesia (PP PTMSI) yang dipimpin oleh Oegroseno dan Pengurus Besar Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PB PTMSI) yang dipimpin oleh Peter Layardi.
"Kenapa konflik tidak selesai? Ya itu, Pak Oegroseno yang memimpin PP PTMSI merasa paling berkuasa di ajang event internasional karena menjadi anggota ITTF (Federasi Tenis Meja Internasional), sementara Peter Layardi yang memimpin PB PTMSI merasa paling berhak di ajang PON karena didukung oleh KONI Pusat," jelas Ling Ling.
Ling Ling Agustin berpendapat bahwa baik Oegroseno maupun Peter Layardi, yang keduanya mengklaim sebagai pecinta tenis meja, harus bersikap lebih bijaksana. Ia juga mengapresiasi upaya Menpora Dito Ariotedjo untuk menyelesaikan konflik ini dengan mengadakan pertemuan antara keduanya.
"PP PTMSI yang dipimpin oleh Pak Oegroseno harusnya lebih legowo. Begitu juga dengan PB PTMSI yang dipimpin oleh Peter Layardi, mereka harus memberikan kesempatan bagi figur lain untuk memimpin. Kerusakan pada sistem pembinaan tenis meja ini akibat dari mempertahankan ego masing-masing," tandasnya.
Ling Ling Agustin adalah salah satu atlet tenis meja unggulan Indonesia yang memiliki prestasi cemerlang. Ia telah mengoleksi lima medali emas SEA Games dan tercatat sebagai salah satu ganda terbaik di Asia Tenggara, bahkan berhasil masuk dalam 16 Besar Asia.
Konflik dualisme dalam dunia tenis meja Indonesia menjadi isu yang perlu segera diatasi demi menjaga prestasi olahraga ini di tingkat nasional maupun internasional. Semua pihak berharap agar para pemangku kepentingan dapat menemukan solusi yang baik dan mengakhiri konflik ini untuk kebaikan masa depan atlet-atlet tenis meja Indonesia.