Sekou Camara Sebelum Meninggal Telpon Ibunya Terus Menerus
Penyerang Pelita Bandung Raya (PBR), Sekou Camara, sudah memiliki firasat sebelum meninggal dunia karena serangan jantung pada usia 27 tahun
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Penyerang Pelita Bandung Raya (PBR), Sekou Camara, sudah memiliki firasat sebelum meninggal dunia karena serangan jantung pada usia 27 tahun saat menjalani sesi latihan rutin di Stadion Siliwangi, Jalan Aceh, Bandung, Jawa Barat, Sabtu, (27/7/2013). Tanda-tanda itu ia tunjukkan lewat perilakunya meski ia tetap dalam kondisi bugar.
"Kejadiannya begitu cepat, kami tak menyangka hal ini terjadi pada Camara. Tentu kami sangat merasa kehilangan. Dia adalah salah satu pemain terbaik kami," ujar Direktur PT Kreasi Performa Pasundan PBR, Marco Gracia Paolo
Marco menceritakan, Camara, sesaat sebelum malamnya meninggal dunia, siangnya, Sabtu, (27/7/2013), tertawa-tawa dengan teman-temannya.
"Siangnya dia (Camara) masih bercanda-canda dengan teman-temannya," kata Marco.
Dilanjutkan, setelah itu Camara sempat pergi berbelanja pakaian dan berbagai keperluannya ke Paris Van Java (PVJ) Bandung.
"Dia beli dasi, beli baju putih, katanya dasi dan baju putihnya itu dibeli untuk persiapan pulang. Ini memang sebuah firasat kalau menurut saya," katanya.
Setelah itu, Camara sempat mengikuti shooting video ucapan "Selamat Hari Raya Idul Fitri" bersama rekan-rekan setimnya. Rencananya, video ucapan Idul Fitri yang mengatasnamakan PBR itu akan dipublikasi di web.
"Masih terbayang sekali ketika dia mengucapkan selamat Idul fitri pada pembuatan video yang sengaja dibuat tim kami. Ini mungkin jadi video kenang-kenangan terakhir almarhum bagi kami," katanya.
Setelah itu, tibalah waktu persiapan latihan di Stadion Siliwangi. Camara bergegas pulang ke apartemennya, di Jalan Setyabudi, Bandung. Camara langsung menuju mes PBR yang berlokasi di Lembang dengan menggunakan taksi.
Ceritanya, berangkatlah bus itu. Perjalanan dari mes ke stadion (tempat latihan) jalanan macet, sehingga mengakibatkan latihan molor. "Jarang-jarang sekali, perjalanan menuju stadion itu sangat lama karena macet yang parah. Harusnya kita latihan jam 21.00 WIB. Karena macet, jadwal latihan jadi molor. Kita baru mulai latihan sekitar pukul 21.30 lebih," katanya.
Dalam perjalanan dari mes ke stadion, Camara terpantau tak henti menggunakan ponselnya. Camara saat itu bercerita kepada temannya bahwa dirinya sedang berbincang dengan ibu kandungnya di Afrika Tengah sana.
"Almarhum telepon-teleponan dengan ibunya sangat lama sekali. Almarhum terus berulang-ulang bicara dengan ibunya. Ini memang tidak seperti biasanya. Memang sudah sebuah firasat," katanya.
Komunikasi antara Camara dan ibunya seakan tak mau putus. Sesampainya di stadion, Camara masih berbincang dengan ibunya.
"Terputusnya karena tibalah sesi latihan. Camara sempat bilang ke ibunya, bahwa waktu latihan sudah tiba. Saat itu, terputuslah pembicaraan itu. Sebelum handphone itu ditutup, Camara pun sempat bilang bahwa dirinya akan melakukan shalat isya terlebih dulu sebelum menjalani aktivitas latihan rutin," jelasnya.
Prosesi latihan pun digelar. Semua pemain PBR turun lapangan. Saat itu, kata Marco, Camara terlihat masih giras, segar, dan penuh semangat. Bahkan, hingga menjelang usai latihan pun, Camara masih terlihat bersemangat. Saat sesi latihan itu, Camara sedang dalam keadaan menyerang gawang lawannya. Camara berlari dari arah kiri, meminta bola yang saat itu sedang digiring temannya.
"Tolong umpan bolanya ke sini," teriak Camara sambil berlari menunggu bola, seperti dikisahkan Marco.
Camara berlari. Saat bola itu diumpan, bola tak kesampaian dikejar oleh Camara. Camara tiba-tiba saja tertunduk lesu tanpa sepatah kata pun, akhirnya bola direbut oleh bek lawan.
Camara langsung tidur terlentang di lapangan. Beberapa detik kemudian, Camara sempat terbangun kembali dan duduk jongkok, kepalanya tertunduk ke bawah. Tiba-tiba, Camara langsung tergeletak, kembali tidur terlentang.
"Saat itu, rekan-rekannya belum ngeh kalau Camara sedang sakaratul maut. Teman-teman setimnya sempat menyangka, kalau Camara sedang membetulkan sepatunya," katanya.
Saat itu, waktu menujukan pukul 22.56 WIB. Tim medis yang saat itu ada langsung menghampiri Camara. Ceritanya, hampir seluruh pemain ke tengah lapangan itu. Camara langsung dibawa ke mobil untuk dibawa ke Rumah Sakit Halmahera. Camara langsung dibawa ke UGD.
Setibanya di rumah sakit, dokter menyatakan, jantung Camara sudah tak lagi berdetak. Dokter berulang kali memastikan kemungkinan itu. Dokter terus-menerus melakukan pertolongan, tetapi apalah daya, nyawanya sudah diputuskan sang Khalik.
Sekitar pukul 23.40 WIB, dokter menyatakan Camara telah meninggal dunia. Dokter menyimpulkan Camara terkena serangan jantung. Tim tidak percaya mendengar pernyataan dokter. Semua pemain tertunduk lesu. Setelah positif dinyatakan meninggal, Marco langsung mengabari keluarganya di Afrika Tengah.
"Ibunya terkaget," jelas Marco.
Kembali dituturkan Marco, kemudian ibunya sambil menangis berkata, "Katanya begini, memang sejak tadi telepon-teleponan, saya sudah punya firasat akan tejadi seperti ini. Ya, sudah, saya ikhlaskan, ini mungkin jalan terbaik yang diberikan Tuhan untuk anak saya. Saya ikhlas."