Rachmat Yasin Figur yang Tepat untuk Transparansi di PSSI Jabar
Ketua PSSI Jabar terpilih, Rachmat Yasin disebut-sebut sebagai figur yang tepat untuk dikembangkannya transparansi
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua PSSI Jabar terpilih, Rachmat Yasin disebut-sebut sebagai figur yang tepat untuk dikembangkannya transparansi, dilakukannya restukturisasi kepengurusan, serta sekaligus revitalisasi program kegiatan untuk kembali menjadikan persepakbolaan Tanah Pasundan menjadi kekuatan yang disegani bukan hanya di Tanah Jawa akan tetapi Indonesia secara keseluruhan. Sudah sekian lama sepakbola Jabar seperti terkungkung dalam libido kegairahannya sendiri.
Memformulasikan pendapat dan merumuskan pemikiran dari situasi yang terpecah-pecah tentulah sudah dilakukan Rachmat Yasin dalam dua pekan terakhir ini. Mengakomodir seluruh potensi, menisbikan kubu-kubuan, sudah disampaikan secara terbuka oleh Rachmat Yasin saat musprov yang dihadiri oleh seluruh sumber daya atau 'stakeholder' persepakbolaan Parahiyangan.
Kesiapannya untuk membenahi permasalahan selaras dengan pemahamannya akan persoalan yang terjadi. Para pelaku dan pemangku kepentingan sepakbola Jabar berdebar-debar dan menunggu dengan was-was formulasi yang dibuat Rachmat Yasin dalam upaya membangkitkan persepakbolaan Jabar kedepannya.
Konsolidasi organisasi memang menjadi fokus dari keseluruhan Asosiasi PSSI yang terbentuk pasca dilakukannya musprov masing-masing. Perubahan identitas dari Pengprov menjadi Asosiasi PSSI mestinya tidak sekadar pemakaian istilah baru, akan tetapi logikanya dalam tataran visi, misi atau secara umum penerapan mutlak ideologi sepakbola.
Setelah dua tahun terakhir konstelasi sepakbola nasional berada dalam perpecahan yang brutal, adanya dualisme organisasi baik di tingkat kepengurusan pusat dan daerah (provinsi, cabang), serta kompetisi yang terbelah baik di level tertinggi dan daerah-daerah (liga amatir) dengan diwarnai terbentuknya klub-klub kloningan, para pemangku dan pelaku sepakbola Indonesia wajib untuk lebih terpacu untuk berpikir dan bekerja secara lebih konstuktif demi membangun persepakbolaan yang jauh lebih baik.
Sehubungan dengan itu, untuk Jabar, misalnya, sungguh tepat apa yang disampaikan Rachmat Yasin kala musprov tersebut: "...kalau mau jadi nu kahiji kudu ngahiji (kalau mau jadi yang kesatu harus bersatu)".
Terpilihnya Rachmat Yasin secara aklamasi diprediksi bisa melancarkan usahanya dalam mempererat kembali simpul persepakbolaan Jabar yang sempat terkoyak-koyak.
Mungkin segala sesuatunya tentu tak bisa dicapai dengan mudah. Akan tetapi, merunut pada pengalaman, kohesi di sepakbola adalah
percampuran yang cenderung cepat cair. Tak ada kohesi atau koalisi yang sungguh-sungguh sulit dipatahkan, mengingat secara
psikologis mereka yang bergiat atau berkecimpung di sepakbola adalah figur yang mencintai atau menyukai olahraga ini.
Keterikatan batin
lebih terjalin karena dukungan faktor kesamaan keinginan, cita-cita, bukan sekadar iming-iming materi yang akan didapat atau pencarian
materi dari program yang kedepankan.
Oleh karena itu, segala sesuatunya akan lebih mudah jika kesemuanya berpatokan pada ideologi sepakbola itu sendiri. Dalam konteks ini
mungkin ada baiknya sedikit merenung dan memaknai ideologi itu sendiri. Kita mengenal adanya Statuta sebagai garis-garis besar haluan
pengelolaan sepakbola dunia, nasional dan provinsi (Statuta FIFA, Statuta PSSI, dan kini Statuta Provinsi).
Namun, secara umum ideologi adalah gagasan atau cita-cita besar yang menuntun seseorang, kelompok, atau pun bangsa mencapai kemuliaan dan hidup bahagia. Tanpa bimbingan adicita sebagai sumber inspirasi dan sekaligus cahaya terang yang memandu mewujudkan harapan, dapat dipastikan yang bersangkutan mudah tersesat menuju ke arah yang tidak berketentuan.
Ideologi mestinya menjadi landasan atau pijakan utama dalam keseluruhan aspek kehidupan, entah dalam menjalani ‘profesi’
berpolitik, tak terkecuali pula dalam menyibukkan diri untuk berorganisasi.
Terkait dengan itu peran ideologi dalam keterlibatan massif dan intensif mengolah organisasi, termasuk organisasi olahraga seperti
PSSI, sangat penting. Apalagi dalam sejarahnya pengelolaan organisasi sepakbola sarat dengan perebutan kekuasaan, baik dalam kepengurusan pusat atau daerah.
Bila diterminologikan dengan ranah politik, penguasaan organisasi PSSI pun sarat dengan adu siasat dan perbenturan kepentingan. Karenanya mengolah organisasi sepakbola seperti PSSI di pusat atau daerah (provinsi) tetap dipandang urgen dengan keharusan mengedepankan ideologi.
Mengolah organisasi tanpa ideologi akan mendorong para fungsionaris organisasi, atau pengurus, seperti memasuki lorong gelap yang hanya dituntun oleh dua instingtual dasar yaitu naluri untuk memenuhi survivalitas dan memburu insting ego atau ‘interest privat’.
Dalam pertarungan kekuasaan yang nyaris tanpa cita-cita atau ideologi, medan organisasi PSSI juga bukan sebuah ranah kompetisi yang
sehat. Tetapi bisa menjadi arena perburuan kekuasaan. Apalagi, jika kemenangan dan kekalahan dalam kontestasi atau pemilihan bisa
diumpamakan sebagai pertarungan antara hidup dan mati.
Menjadi pemenang adalah segala-galanya. Apalagi kalau mereka yang bertarung telah melakukan ‘investasi’ yang sangat besar sehingga kekalahan akan terasa sangat menyakitkan. Disinilah pentingnya peran ideologi. (tb)