Pembentukan Tim Sembilan Dianggap Aneh Oleh Teuku Riefky Harsya, Anggota Komisi X DPR
Teuku Riefky Harsya menilai aneh pembentukan Tim Sembilan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga
Penulis: Deodatus Pradipto
Editor: Toni Bramantoro
Laporan wartawan Tribunnews.com, Deodatus S Pradipto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Komisi X DPR RI, Teuku Riefky Harsya menilai aneh pembentukan Tim Sembilan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga. Menurut Riefky, sebaiknya Menpora membentuk tim evaluasi persepakbolaan nasional dari orang-orang yang kompeten.
“Nanti malah akan menghadirkan permasalahan baru. Kami melihat aneh karena sebenarnya bisa berkomunikasi secara langsung tapi justru perlu bantuan pihak lain,” kata Riefky usai menghadiri Kongres PSSI di Hotel Borobudur, Minggu (4/1/2015).
Menurut Riefky, Menpora memiliki sumber daya manusia yang bisa dimanfaatkan dari Kemenpora. Selain itu, jika ingin lebih memahami situasi yang terjadi di persepakbolaan nasional, Kemenpora bisa mengundang PSSI untuk bertemu secara langsung. Kemenpora juga bisa meminta pertimbangan dari KONI dan KOI.
Riefky mengajak setiap pihak untuk memberikan apresiasi atas apa yang telah dilakukan oleh PSSI dalam dua tahun terakhir pascadualisme. Riefky memaparkan peringkat FIFA Indonesia membaik setelah sempat terpuruk ke peringkat ke-172 dunia. Selain itu, saat ini FIFA memberikan dukungan kepada PSSI melalui Direktur Kepelatihan dan Direktur Teknik berkualitas.
“Proses-proses perbaikan dan reformasi di PSSI memang butuh waktu, tapi membutuhkan dukungan dari semua pihak. Kita tidak perlu lagi mendengarkan provokasi dari sejumlah pihak-pihak yang mungkin tidak bisa cari celah di tubuh PSSI,” ujar politisi Partai Demokrat tersebut.
Terdapat empat latar belakang Kementerian Pemuda dan Olahraga membentuk Tim Sembilan untuk mengevaluasi persepakbolaan nasional. Latar belakang pertama adalah kekalahan telak tim nasional Indonesia, 0-4, dari timnas Filipina pada laga penyisihan grup A Piala AFF 2014 di Vietnam lalu. Dalam siaran pers yang diterima Tribunnews.com, Jumat (2/1/2015), kekalahan tersebut merupakan salah satu gambaran konkret mengenai kondisi dan kualitas persepakbolaan di Indonesia.
Ini merupakan kelanjutan dari kegagalan timnas U-19 pada Piala Asia U-19 beberapa bulan sebelumnya. Selain itu timnas Indonesia juga gagal meraih hasil memuaskan pada Asian Games 2014 di Incheon, Korea Selatan.
Latar belakang kedua adalah insiden sepak bola gajah saat pertandingan PSS Sleman melawan PSIS Semarang pada Oktober 2014. Laga Divisi Utama itu dianggap telah mencederai citra sepak bola Indonesia di mata FIFA. Ini belum termasuk kasus keterlambatan pembayaran gaji pemain asing dan lokal dalam jangka waktu yang signifikan. Kerusuhan antarsuporter, serta keuangan PSSI yang kurang transparan termasuk dalam latar belakang kedua.
Ketiga, melalui media sosial dan media mainstream, publik menuntut perbaikan manajemen PSSI. Pada umumnya bahkan bertendensi untuk membekukan PSSI. Pemerintah tidak sepenuhnya sampai pada tujuan tersebut, namun minimal harus merespons keresahan masyarakat.
Latar belakang keempat, andai masalah tersebut tidak dibenahi secara komprehensif, diperkirakan masalah dan prestasi yang buruk terulang kembali. Kekecewaan publik dan para pemangku kepentingan akan kembali muncul.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang konstruktif dengan cara mengevaluasi persepakbolaan nasional. Ini sesuai dengan kewenangan Pemerintah seperti diatur dalam Pasal 13 ayat 1 dan Pasal 32 ayat 1, UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan Pasal 10 ayat 2 PP Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan.
Pelaksanaan evaluasi persepakbolaan nasional ini tetap memperhatikan Statuta FIFA dan aturan teknis kecabangan lain yang relevan.