Terusik Dendam Manuel Pellegrini
MANUEL Pellegrini melakukan hal yang bukan menjadi kebiasaannya, sehari jelang pertarungan putaran kedua semifinal Liga Champions kontra Real Madrid
MANUEL Pellegrini melakukan hal yang bukan menjadi kebiasaannya. Sehari jelang pertarungan putaran kedua babak semifinal Liga Champions 2015-2016 kontra Real Madrid, dalam wawancara dengan El Mundo, ia melancarkan perang psikologis.
Pellegrini bukan Jose Mourinho. Ia bukan pula Sir Alex Ferguson, Arsene Wenger atau Jurgen Klopp. Di hadapan media dia kalem dan nyaris santun sempurna, tidak pernah meledak-ledak, dan karena itu jadi kurang menarik.
Selalu menghindarkan untuk berbicara (tendensi negatif) tentang calon lawan, Pellegrini lebih suka memaparkan strategi, terutama strateginya sendiri, dalam bentuk kisi-kisi. Sangat membosankan dan ini membuatnya tidak populer. Sepakbola era industri bagaimana pun membutuhkan hiburan.
Tapi jelang laga penentuan di Santiago Bernabeau, Pellegrini keluar dari rel lurus itu. Dia menyerang Madrid, menyebut klub yang pernah dibesutnya ini sebagai klub politik.
"Real Madrid bukanlah semata klub sepakbola. Di sini, sportivitas dan unsur-unsurnya, tidak memegang peranan yang dominan. Ada campur tangan yang kental, dari orang-orang yang celakanya tak memiliki pengetahuan yang baik perihal sepakbola dan olahraga secara umum. Jika Anda menerima pekerjaan di sana, maka Anda harus bersiap untuk segala konsekuensi. Sejauh ini, lebih banyak yang gagal," katanya pada El Mundo.
Pellegrini, tentu, termasuk yang gagal. Dia direkrut dari Villareal pada awal musim 2009-2010, awal periode kepemimpinan Florentino Perez. Dan sebagaimana periode pertama, Perez, yang terobsesi membangun klub megabintang, membawa empat pemain level atas ke Santiago Bernabeau: Kaka dari AC Milan, Cristiano Ronaldo dari Manchester United, Karim Benzema dari Olympique Lyon, serta Xabi Alonso dan Alvaro Arbeloa dari Liverpool.
Mereka bergabung dengan bintang-bintang lain. Ada Sergio Ramos, Pepe, Marcelo, Rafael van Der Vaart, Royston Drenthe, Gonzalo Higuain, juga pastinya dua "dewa" Bernabeau, Raul Gonzales Blanco dan Iker Casilas. Los Galacticos jilid dua! Dan targetnya, tiada lain adalah juara.
Target ini meleset. Tidak jauh-jauh amat, sebenarnya. Di akhir musim, Real Madrid berada di belakang Barcelona. Mengoleksi 96 poin (selisih tiga poin dari Barcelona), melesakkan 102 gol dan kebobolan 35 gol. Tapi bagi petinggi Real Madrid, bagi Perez, pemenang hanyalah nomor satu. Nomor dua dan seterusnya cuma pecundang, dan konsekuensi bagi orang yang mengakibatkan Madrid jadi pecundang adalah pemecatan.
"Real Madrid tidak akan berubah. Mereka hanya menghargai kemenangan, menghargai tropi. Setiap tahun harus ada tropi besar, apapun itu. Dan pelatih yang tak mampu memberikan gelar, sekalipun ia sudah membangun dasar yang kuat, sama sekali tidak akan dipandang," ujarnya pula.
Pellegrini tidak asal bicara. Sejak eranya berakhir, Real Madrid memecat dua pelatih hebat. Jose Mourinho di akhir musim 2012-2013 dan Carlo Ancelotti di akhir musim 2014-2015.
Mourinho bertahan karena di dua musim pertamanya mampu memberikan tiga gelar (masing-masing satu La Liga, Copa Del Rey, dan Super Copa de Espana). Begitu di musim ketiga Madrid gagal meraih satu tropi pun, dia langsung dipecat.
Ancelotti juga demikian. Dua musim pertama meraih gelar, lalu dipecat di musim ketiga karena nirgelar. "Real Madrid adalah klub yang tidak pernah sembuh dari sindrom kepanikan," kata Emilio Butragueno, legenda Madrid. "Ketika mereka gagal, kepanikan membekap, dan satu-satunya jalan untuk memperbaikinya adalah mengganti pelatih."
Iya, gagal dan pecat, itulah konsekuensinya. Dengan kekecualian pada Fabio Capello. Dua periode menjadi pelatih Madrid, dua kali juara, dua kali pula dia dipecat. Kenapa? Karena di bawah Capello, Real Madrid bermain dengan filosofi tradisional sepakbola Italia. Real Madrid jadi tim bertahan yang menjemukan, dan itu juga tidak disukai.
"Kami waktu itu punya banyak sekali pemain hebat. Mereka adalah bintang-bintang dan bermain untuk Real Madrid, namun tanpa kesepahaman satu sama lain. Hubungan sejumlah pemain juga dingin, ada faksi-faksi. Saya bisa menyatukan mereka di kamar ganti, di lapangan, tapi tidak secara menyeluruh dan itu memang mengganggu, sangat menyulitkan," kata Capello dalam wawancara dengan As, Februari 2016.