Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Superskor

Kenanglah, Duel Benteng Terbuka Duo Madrid di Kota Mode

KEKHAWATIRAN final Liga Champions 2016 akan berlangsung menjemukan karena dua kubu yang bentrok bermain kelewat hati-hati, ternyata tak terbukti

zoom-in Kenanglah, Duel Benteng Terbuka Duo Madrid di Kota Mode
getty/dailymail
Tendangan penalti pemain Atletico Madrid, Antoine Griezmann gagal menembus jala Real Madrid yang dikawal Keylor Navas. Atletico akhirnya kalah adu penalti 5-3. 

KEKHAWATIRAN bahwa partai final Liga Champions 2016 akan berlangsung menjemukan karena dua kubu yang bentrok bermain kelewat hati-hati, ternyata tak terbukti.

Real Madrid yang biasanya selalu tidak pernah mau meladeni permainan keras Atletico Madrid, dinihari kemarin justru reaktif dan agresif.

Benturan-benturan keras pun tak terelakkan. Meski Real Madrid tetap kalah keras, para pemain Atletico juga berkali-kali harus terkapar di lapangan. Koke, gelandang Atletico, sebagaimana bek Real Madrid Daniel Carvajal, harus mengakhiri kiprah dengan kaki dibekap cedera.

Cristiano Ronaldo juga kepayahan. Gareth Bale, selama 15 menit di paruh kedua waktu tambahan, bahkan sudah nyaris tidak dapat berlari dan menendang bola. Bale dan Ronaldo berkali-kali jadi sasaran tebas pemain-pemain belakang Atletico, sebagaimana Antoine Greizman, Fernando Torres, dan Saul yang terus dihantam Pepe dan Sergio Ramos. Tentu saja, Marcelo, Carvajal, dan Casemiro juga ikut jadi tukang jagal.

Perubahan permainan Real Madrid yang cukup kontras, terutama jika dibandingkan dengan laga kontra Wolfsburg dan Manchester City, terbilang mengejutkan. Permainan keras, dengan garis-garis pertahanan yang rapat, bukanlah tipikal Zinedine Zidane.

Meski "menyimpan harimau" dalam dirinya, yang saat muncul bisa mengubahnya jadi pribadi beringas, tipikal Zidane pada dasarnya adalah elegan. Ia musikus oskestra, atau setidaknya penyanyi pop melankolis, bukan rocker atau rapper yang serba meledak-ledak. Zidane antitesis Diego Simeone.

Lantas apa yang membuat gaya Zidane berubah? Ah, tidak. Lebih tepat sesungguhnya bukan berubah. Melainkan terpaksa harus berubah. Mau tak mau. Inilah jalan kompromistis Zidane --dengan dirinya sendiri-- demi tujuan yang lebih besar, tropi nomor sebelas. Sebab apabila Madrid tetap bermain dengan karakter Zidane, niscaya mereka akan jadi santapan empuk Atletico. Kekalahan 1-2 pada laga putaran kedua La Liga di Santiago Bernabeau, betul-betul dijadikan Zidane sebagai pengalaman berharga.

Berita Rekomendasi

Maka apa yang kemudian tersuguh di lapangan menjadi "aneh". Untuk kali pertama sejak Simeone menjadi bos di Vicente Calderon, Atletico mampu mengungguli Real dalam perkara penguasaan bola. Keanehan yang terjadi karena Zidane menarik garis-garis pertahanan lebih ke dalam. Strategi yang membuat Ronaldo, Gareth Bale, bahkan Karim Benzema, turun jauh untuk ikut bertarung di zona pertahanan.

Tapi di lain sisi, Madrid tidak bermain bertahan. Berbeda dibanding era Mourinho yang langsung melesatkan bola ke depan begitu dapat memutus serangan, pola serangan Madrid tetap terkontrol. Tempo diatur cermat oleh Luka Modric dan Toni Kross. Jadi, terkecuali pada 15 menit akhir babak pertama waktu normal serta sepanjang kira-kira lima menit sebelum dan sesudah gol balasan yang dilesakkan Carrasco, meski tampak dominan, sebenarnya Atletico tetap berada di bawah kendali Madrid. Inilah sebab kenapa di pinggir lapangan, Zinedine Zidane masih bisa tersenyum-senyum. Kontradiktif dengan air muka Simeone yang selalu tegang.

Bahwa laga kemudian harus diakhiri dengan adu penalti, tiada lain tiada bukan berkat andil kedua penjaga gawang. Jan Oblak dan Keylor Navas sama-sama bermain cemerlang. Navas menahan tidak kurang tiga peluang bagus Atletico. Pula demikian Oblak. Gempuran-gempuran Real Madrid, termasuk duel satu lawan satu dengan Ronaldo, Bale, dan Benzema, mampu ia mentahkan. Di babak pertama, refleksnya yang luar biasa menggagalkan sontekan jarak dekat Casemiro.

Cara Sial
Dan begitulah, setelah melalui berbagai ketegangan, pertandingan yang barangkali akan dapat dikenang sebagai salah satu laga klasik ini harus disudahi dengan cara yang paling sial, adu tendangan penalti.

Kenapa sial? Karena di fase ini segala bentuk strategi, segala macam persiapan, bahkan reputasi sekalipun, bisa runtuh semudah menyemburkan ludah. Strategi penempatan pemain dalam urut-urutan penendang bisa jadi petaka justru karena pemain-pemain yang diperkirakan dapat menuntaskan eksekusi gagal melakukan tugasnya.

Reputasi tak lagi jadi jaminan. Seluruh pemain berkelas master dan selama bertahun-tahun menjadi eksekutor penalti, pernah gagal melakukannya. Diego Maradona, Pele, Johan Cruyff, Franz Beckenbeauer, Michael Platini, Marco van Basten, Roberto Baggio, David Beckham, Ruud Van Nistelrooy, dan masih banyak lagi. Adu penalti juga membuat kiper-kiper hebat tak berdaya, sebaliknya kiper-kiper yang sebelumnya tidak terlalu terkenal bisa melesat jadi pahlawan.

Di laga ini, adu penalti malah menjadi antiklimak bagi Oblak dan Navas. Oblak gagal menahan bola dari kelima eksekutor Real Madrid. Bahkan ia keliru membaca seluruh arah bola. Navas sedikit lebih baik. Ia berhasil membaca benar arah bola Juan Fran. Namun eksekusi itu tidak berbuah gol karena menghantam tiang gawang.

Bagi Juan Fran, kegagalan ini menjadi semacam deja vu terbalik. Pengulangan kejadian cuma hasilnya bertolakbelakang.
Ia pernah jadi pahlawan saat Atletico juga mesti menyelesaikan laga lewat fase adu penalti kala menghadapi PSV Eindhoven di perdelapan final. Tapi kali ini dia harus melangkah ke luar lapangan sebagai pesakitan.(*)

T Agus Khaidir

Sumber: Tribun Medan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas