Percobaan Kedua Sang Maestro
HASIL imbang, saya kira, bukanlah hasil yang kami inginkan. Mereka memang mesin. Tapi bagi saya tetap bukan hasil yang bagus.
HASIL imbang, saya kira, bukanlah hasil yang kami inginkan. Mereka memang mesin. Tapi bagi saya tetap bukan hasil yang bagus.
Kalimat ini dilontarkan Josep Guardiola dalam wawancara dengan Skysports, kemarin. Guardiola memuji klub yang pernah dilatihnya selama empat musim (2008-2012) dengan koleksi total 14 gelar tersebut. Bukan cuma Barcelona secara menyeluruh, dia juga memberikan apresiasi tinggi terhadap sejumlah pemain yang menurutnya jenius.
"Apabila, misalnya, Barcelona menang 4-0, maka mereka memang sebenar- benarnya layak atas angka itu. Angka kemenangan mereka seutuhnya mencerminkan kualitas," ujarnya.
Mesin berkualitas inilah yang akan dihadapi Manchester City, besutan Guardiola sekarang, di Camp Nou. Kamis (20/10) dinihari nanti. Merupakan lawatan kali ketiga dalam tiga musim Liga Champions terakhir. Dua laga sebelumnya, City terjungkal.
Awalnya, saat undian kembali mempertemukan City dengan Barcelona, sempat mencuat keoptimistisan. Bahwa City tidak akan dipermalukan lagi. Bahwa kemenangan, atau setidak-tidaknya hasil imbang, bukan lagi harapan kosong. Fakta bahwa dua musim lalu Guardiola datang ke Camp Nou bersama Bayern Munchen dan rontok tiga gol tanpa balas, diketepikan. Kenapa? Karena City dipandang berbeda dari Munchen.
City dipandang "lebih Spanyol". Jejak-jejak racikan Manuel Pellegrini, lelaki Chile yang lama berkiprah di La Liga, plus sejumlah pemain asal Spanyol termasuk playmaker David Silva, diyakini dapat lebih mempermudah kerja Guardiola dalam menyuntikkan filosofi Tiki Taka. Hal yang tidak sepenuhnya berhasil dia lakukan di Bayern Munchen.
Speed and power gaya Jerman yang berkelindan dengan Tiki Taka memang membuat Munchen jadi raja Bundesliga. Namun tak cukup kuat di Eropa. Entah takdir entah kutukan, tiga musim berturut-turut Munchen disingkirkan klub-klub Spanyol. Real Madrid di musim 2013-2014, Barcelona 2014-2015 dan Atletico Madrid 2015-2016. Klub-klub yang notabene sudah hapal mati perihal Tiki Taka. Termasuk, tentu saja, cara menghadapinya.
Barcelona, sudahlah. Tiki Taka dikembangkan dan besar di sini. Adapun Real Madrid dan Atletico Madrid selama bertahun-tahun terus mencari dan menerapkan formula-formula untuk melumpuhkannya. Dengan kata lain, mereka sudah terbiasa menjajal Tiki Taka yang asli, yang sejati. Maka tatkala dihadapkan pada Tiki Taka yang tanggung dan tidak bernyawa, akan jadi lebih mudah.
Tiki Taka model begini digadang tidak akan terulang di Manchester. Dan memang, pada awalnya, kelihatan demikian. Manchester City yang pada dasarnya sudah superior dalam penguasaan bola di era Pellegrini, jadi semakin dahsyat. Keunggulan selalu di atas 50 persen. Bahkan pernah hingga 70 persen.
Sebagaimana dilakukannya di Spanyol dan Jerman, Guardiola membangun tembok kembar di jantung pertahanan, duet pengatur irama pertandingan di lini tengah, dan tiga penggebrak di barisan depan.
John Stones dan Nicolas Otamendi dipilih untuk menjalankan peran serupa Carles Puyol dan Gerard Pique. Duet legendaris Xavi Hernandes dan Andreas Iniesta dijelmakan pada Silva dan Kevin De Bruyne. Sedangkan di depan, Guardiola memilih Nolito dan Raheem Sterling untuk mendukung Sergio Aguero.
Namun di luar dugaan, hagemoni kedigdayaan ini ternyata tak berumur panjang. Berbeda dibanding Barcelona dan Bayern Munchen yang mampu menjaga ritme selama berpuluh-puluh laga, gelagat inkonsistensi Manchester City datang jauh lebih cepat.
Bermula dari kegagalan meraih kemenangan di Celtic Park, kandang Glasgow Celtic pada pertandingan pekan kedua Liga Champions, bulan lalu. City ditahan imbang 3-3. Ketersendatan berlanjut ke pertandingan Liga Inggris. City dibekap Tottenham Hotspurs 0-2 lalu ditahan imbang Everton 1-1, di mana dua andalan utama mereka dalam mengeksekusi penalti, De Bruyne dan Aguero, gagal melaksanakan tugasnya.
Semestinya Guardiola khawatir. Barcelona bukan Tottenham Hotspur. Bukan pula Everton. Barcelona, seperti diakui sendiri oleh Guardiola, adalah mesin yang berkualitas istimewa. Namun Guardiola justru optimistis. Mengincar kemenangan karena hasil imbang bukan hasil yang diharapkan. Sangat percaya diri, atau sebaliknya, sekadar upaya menghibur diri?
Koleksi 21 gelar juara di Spanyol dan Jerman, tentu saja, layak jadi modal bagi Guardiola untuk merasa percaya diri. Dia adalah pelatih premium di jajaran elite pelatih-pelatih Eropa. Namun harus digarisbawahi, dan diakui pula, bahwa selepas dari Barcelona, Guardiola selalu inferior di hadapan klub-klub Spanyol.
Situasi termutakhir Manchester City membuat keinferioran ini berpotensi semakin tegas. Bukan cuma hasil-hasil laga yang buruk. Jelang penerbangan ke Catalan, dokter tim City belum benar-benar memberikan catatan 100 persen bugar untuk De Bruyne, Aguero, dan Raheem Sterling. Pemain-pemain terpenting Guardiola. Tidak bisa dibayangkan betapa akan kupak-kapiknya City apabila pemain-pemain ini tidak bermain --atau dipaksakan bermain dalam kondisi setengah bugar.
Barcelona sendiripun pada dasarnya tidak sempurna-sempurna amat. Laju mereka di La Liga tidak semulus di musim-musim sebelumnya. Baru berjalan delapan pekan, Barcelona sudah menelan dua kekalahan dan tercecer di posisi empat. Lebih mengejutkan, dua kekalahan ini diderita dari dua klub semenjana, Alaves dan Celta Vigo. Alaves bahkan melakukannya di Camp Nou.
Satu bukti bahwa mesin Barcelona tidak sesempurna di musim-musim sebelumnya? Boleh jadi begitu. Akan tetapi Barcelona tetaplah Barcelona. Sepanjang di skuat masih bercokol nama-nama hebat, nama-nama para juara, mereka akan selalu mampu bangkit.
twitter: @aguskhaidir
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.