Mengelus Tuah Memupuk Asa Tim Tak Berbakat
SUNGGUH, bahkan di semifinal sekalipun, di antara tim-tim yang berlaga, Indonesia merupakan tim yang paling tidak berbakat.
SUNGGUH, bahkan di semifinal sekalipun, di antara tim-tim yang berlaga, Indonesia merupakan tim yang paling tidak berbakat. Tim yang paling rapuh dan karenanya meragukan dan paling dipandang favorit untuk tersisih. Baru memastikan lolos dari fase grup di menit-menit terakhir, catatan gol Indonesia minus (-) satu: mencetak enam gol tapi kebobolan tujuh gol.
Lawan di empat besar, Vietnam, menyapu bersih tiga laga babak grup, melesakkan lima gol dan cuma kemasukan dua gol. Tidak mengherankan jika Indonesia tidak diunggulkan. Pada pertandingan putaran kedua, sejumlah laman daring taruhan di Asia, terutama yang berkedudukan di Malaysia, Hongkong dan Makau, menempatkan Vietnam satu bahkan satu setengah voor di depan Indonesia.
"Kami punya banyak sekali peluang. Indonesia menarik jauh pemainnya ke belakang karena tekanan kami, dan lebih banyak melancarkan serangan sporadis. Tapi lewat serangan-serangan seperti itu mereka mencetak dua gol," kata Pelatih Vietnam, Nguyen Huu Thang, pada wartawan usai laga putaran pertama di Jakarta.
Kalimat ini, yang kemudian dikutip tuoitrenews dan sejumlah media lain di Vietnam, mengobarkan keoptimistisan. Jika di Jakarta saja Vietnam bisa menekan sebegitu rupa, maka di Ho Chi Minh jelas akan lebih menohok. Vietnam akan mengubur Indonesia dan melaju ke final.
Tapi kita sudah sama-sama tahu bagaimana hasil akhirnya. Indonesia memang ditekan habis-habisan. Nyaris sepanjang pertandingan, gawang Kurnia Meiga digempur dari berbagai penjuru dan membuat presenter stasiun televisi yang menyiarkannya melesatkan analogi yang kemudian jadi viral: "Diserang tujuh hari tujuh malam" .
Tuah lagi? Mungkin benar. Siapapun yang menyaksikan pertandingan tersebut bisa menghitung berapa banyak peluang Vietnam. Mulai dari peluang kelas "ecek-ecek" sampai peluang cantik level "intan berlian". Semua mentah. Baik di tangan Kurnia Meiga, tiang gawang, maupun akibat kekurangcermatan dan keterburu-buruan pemain Vietnam dalam melakukan eksekusi sehingga bola melesat tak tentu arah.
"Malam yang berat dan menegangkan. Kami beruntung bisa keluar dari pertandingan ini sebagai pemenang. Kami bermain baik. Begitu juga Vietnam. Di beberapa sisi mereka lebih baik. Tapi kami yang menang. Begitulah sepakbola," kata Alfred Riedl, pelatih Indonesia.
Riedl berandil besar menciptakan ketegangan itu. Indonesia yang ditekan habis-habisan sejak menit pertama, mulai bisa keluar dari kepungan dan balik menciptakan peluang sampai akhirnya blunder pemain belakang dan kiper Vietnam dalam mengantisipasi bola silang Boaz Salossa membuat Stefano Lilipaly berhasil mencetak gol. Laga tersisa kurang lebih 15 menit. Terlebih-lebih, Vietnam cuma bermain 10 orang karena kiper mereka diganjar kartu merah.
Dalam situasi seperti ini, Riedl semestinya menginstruksikan pasukannya untuk lebih lama menahan bola, bermain posisi. Dia justru memerintahkan sebaliknya. Indonesia melepas lebih banyak direct ball yang bukan saja mudah diantisipasi, tetapi juga membuat mereka memiliki kesempatan untuk merancang serangan.
Vietnam mencetak gol dan memaksakan perpanjangan waktu. Situasi yang sesungguhnya sangat tidak menguntungkan bagi Indonesia. Lazimnya, semangat tim yang terkejar di penghujung waktu bakal ambruk. Ingat final Liga Champions 2013-2014? Gol Sergio Ramos di menit 93 benar-benar menghancurkan Atletico Madrid. Di babak tambahan, mereka kehilangan segala daya dan Real Madrid menjadi juara setelah mencocor tiga gol tambahan.
"Kelaziman" seperti ini, ternyata, tak terjadi di Ho Chi Minh. Indonesia justru bisa menguasai tiap jengkal lapangan, mengatur tempo, lalu mencetak satu gol.
MANAHATI Lestusen
Karena tuah? Mungkin hanya separuh benar. Artinya, mungkin memang ada tuah. Akan tetapi, strategi Riedl, yang entah kembali tenang dan jernih pikirannya di masa jeda, serta semangat menggebu yang lebih berperan. Dan barangkali, di babak tambahan inilah untuk pertama kalinya pemain-pemain Indonesia tersadarkan bahwa mereka menghadapi lawan yang cuma sepuluh orang.
Pertanyaannya, apakah tuah ini akan berlanjut di babak final? Rabu (14/12) malam nanti, di Stadion Pakansari, Bogor, Indonesia akan memainkan laga klasik kontra Thailand. Laga ke 75 sejak pertemuan pertama di Merdeka Games, 31 Agustus 1957. Waktu itu Indonesia menang 4-0 dan menjadi pembuka bagi total 24 kemenangan Indonesia—di semua ajang (resmi maupun uji coba)—atas Thailand.
Bukan catatan impresif karena Thailand telah mengoleksi 36 kemenangan, termasuk yang mutakhir pada babak grup AFF Suzuki Cup 2016. Thailand menang 4-2 setelah sebelumnya Indonesia sempat menyamakan skor 2-2. Laga yang ketat? Sebenarnya tidak. Dua gol Indonesia yang dilesakkan Boaz dan Lerby Eliandry terjadi melulu karena kealpaan mereka. Kealpaan lantaran merasa sudah berada di atas angin.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.