Final AFF 2016: Malaikat Bersayap Garuda
Apalah daya, para ksatria pasukan gajah itu dipukul mundur para malaikat bersayap Garuda.
Penulis: Husein Sanusi
Catatan Wartawan Tribunnews.com: Husein Sanusi
TRIBUNNEWS.COM - Sebuah pekik membuncah bersama dengan letusan ratusan kembang api di atas langit Bogor ketika gol dari Rizky Pora dan Hansamu Yama Pranata bersarang ke gawang Thailand.
Gegap gempita kemenangan pasukan Garuda kini tidak lagi menggema di jantung ibu kota Jakarta. Bukan di kuil keramat peninggalan Soekarno di kawasan senayan tapi pesta digelar di stadion Pakansari yang sebelumnya mungkin sebagai tempat antah berantah.
2-1 Indonesia berhasil membungkam Thailand yang sejak awal terlihat sangat perkasa. Apalah daya, para ksatria pasukan gajah itu dipukul mundur para malaikat bersayap Garuda.
Namun masih ada laga leg kedua yang akan menentukan sejarah bisa tidaknya Indonesia menjadi jawara sepakbola bergengsi se-Asia Tenggara. Stadion Rajamanggala di jantung kota Bangkok hanya akan memberi dua pilihan; kemenangan atau penyesalan.
Ini akan menjadi pertarungan terberat para malaikat Garuda. Di atas kertas, secara teknis Thailand bersama pasukan gajahnya pasti akan lebih diunggulkan. Permainan mereka sejak awal kompetisi AFF tanpa cacat, terlihat lebih seksi dibandingkan Indonesia yang selalu memasuki arena dengan performa lusuh dan penuh keprihatinan.
Namun yakinlah pada rigoritas kuasa bola. Manusia manapun takkan mampu memprediksi hasil akhir sebuah pertandingan. Sepakbola bahkan sering melawan kebiasaan. "Awal yang baik belum tentu berujung dengan kebaikan."
Dengan mengutip sebuah catatan senior saya mantan editor harian Tribun Timur, Yusran Darmawan, yang sangat saya kagumi, bahwa di sini jelas, bukan awal, melainkan akhirlah yang menentukan.
Dalam bola, siapa yang memberikan segalanya pada awalnya, jarang ia akan memperoleh ganjaran pada akhirnya. Manusia mengira awal adalah segalanya. Bola mengatakan sebaliknya: akhirlah yang menentukan segalanya.
Maka, bila sudah menggelinding, bola adalah dunia, di mana terjadi peristiwa yang diramalkan filsuf Ernst Bloch
“Genesis atau penciptaan yang sesungguhnya bukan pada awal, tapi pada akhir.”
Dalam dunia macam itu, mau tidak mau manusia harus berbicara mengenai sesuatu yang tidak berasal dari usaha, efisiensi, kalkulasi, atau rasionalitasnya.
Dunia modern yang benci terhadap irasionalitas dan nasib ini, bola mengharuskan mereka mau mengakui kuasa keberuntungan yang melawan rasionalitas manusia itu.
Siapa tahu Thailand yang bersinar terang bagai bintang adalah awal yang kemudian menjadi bencana. Saya memperkirakan hampir semua bursa taruhan nanti meramalkan mereka akan juara.
Tapi tidaklah, diakui atau tidak Indonesia faktanya saat ini lebih dekat dengan mahkota setelah kemenangan 2-1 di leg pertama.
Apalagi Indonesia punya manusia luar biasa di pinggir lapangan bernama Alfred Riedl. Riedl adalah kata kunci atas pencapaian hebat Indonesia tahun ini.
Di pinggir lapangan, pada posisi yang tak begitu diperhatikan penonton, dialah sosok pelatih kharismatis yang otaknya selalu berpikir cara memenangkan sebuah pertandingan.
Kakek asal Austria itu adalah sosok penting yang melihat pertempuran sebagai arena untuk mengaktualkan skema-skema berpikir di alam imajinasi, dan menariknya turun ke lapangan hijau.
Dia bukan sekedar pengatur strategi, dia dalah motivator yang membangkitkan asa dan menghangatkan bara permainan hingga membakar sanubari pasukan Garuda yang selalu mampu bangkit di babak kedua.
Riedl adalah seorang pelatih jenius yang belajar dari setiap permainan. Sungguh menggetarkan setiap senjata amunisi yang dikeluarkannya saat pergantian pemain.
Riedl menurut saya adalah pelatih penganut filsafat kearifan yang tak pernah mau berhenti belajar bahkan hingga menjelang dia akan pensiun setelah pagelaran AFF ini berakhir.
Kekuatan Riedl ada pada ketenangan, sikap terbuka, dan pada kesediaan untuk terus belajar dari segala yang dialami dan ditemui selama bertahun-tahun ditempa di lapangan sepak bola.
Ia memahami bahwa bola bukan sekedar permainan belaka, melainkan panggung filsafat yang menempa kematangan seorang pemain maupun pelatih. Bola adalah field untuk mengasah kepekaan sebagai manusia di panggung kehidupan.
Riedl mengajari Boaz Salossa dkk bukan hanya otot yang bergerak, tapi juga menuntut intuisi dan naluri serta otak bekerja.
Daya magisnya membuat seluruh lini lapangan menjadi panggung keindahan. Pasukannya tiba-tiba bermetamorfosis menjadi para seniman yang meliuk-liuk dan menyihir lawan hingga tak sadar bahwa gawang mereka telah kebobolan.
Suporter Timnas Indonesia dan lapangan hijau kemudian menciptakan momen upacara bersama, di mana sarkasme kemenangan didaulat dalam sebuah upacara bersama.
Maka sudah sepantasnya jika kini jutaan warga Indonesia menanti karya besar Alfred Riedl bersama para Malaikat Garudanya. Semoga Rajamanggala benar-benar jadi tempat penobatan Indonesia sebagai raja sepakbola Asia Tenggara untuk yang pertama kalinya.