Sepak Bola Alat Pemersatu Bangsa, Benarkah Tuan Jokowi?
SAAT acara makan siang dengan pemain tim nasional Indonesia, Presiden Jokowi berkata bahwa dirinya berbangga hati.
SAAT acara makan siang dengan pemain tim nasional Indonesia, Presiden Jokowi berkata bahwa dirinya berbangga hati.
"Kita lihat timnas Garuda ini betul-betul bisa menyatukan bangsa kita, menunjukkan kekuatan dan persatuan, serta menunjukkan ke-bhinnekatunggalika-an kita. Perbedaan, kemajemukan, dan keberagaman itu menjadi sumber kekuatan bangsa kita," kata Jokowi yang baru pulang dari tugas dinas ke luar negeri.
Inikah yang membuat nuansa linimasa di akun Facebook saya berangsur santai setelah sebelumnya direcoki pertentangan dan sindiran kental muatan SARA? Apa benar sepakbola (dan olahraga lainnya) menyatukan bangsa? Sebegitu penuh potensi kah sepakbola?
PRESIDEN Joko Widodo memberi sambutan di depan para pemain serta ofisial tim nasional sepak bola Indonesia Piala AFF 2016 di ruang makan di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (19/12/2016).
Mungkin hanya seorang Noam Chomsky yang berani berkata sebaliknya. Akademisi dari Massachusetts Institute of Techonology ini memang belum pernah angkat bicara tentang kiprah Boaz Solossa dan kawan-kawan. Chomsky, yang disebut sebagai pengarang paling banyak dikutip sepanjang masa, bicara tentang sepakbola dari sisi yang berbeda. Sepakbola, Chomsky menyebutnya football (dalam hal ini american football), dan hubungannya dengan kehidupan keseharian yang tak berkaitan dengan lapangan hijau. Tak terkecuali politik.
Dalam buku How The World Works, Chomsky berpendapat bahwa football, sepakbola, mendorong seseorang mengeluarkan sikap chauvinis, kadang pada tingkat yang cukup ekstrem dan merusak.
"Para penonton pertandingan olahraga adalah orang yang menyebabkan sikap semacam itu (antagonis dan selalu ingin menang walau dengan cara apa pun), terutama ketika mereka membentuk sebuah komunitas yang secara histeris memuja jagoan-jagoan mereka. Itu sangat berbahaya dan menimbulkan efek yang merusak," katanya.
Film Four Horseman (2012) bahkan menyebut masyarakat sekarang ini terobsesi dengan olahraga. Uniknya, film ini melihat persamaan antara obsesi terhadap sepakbola, terhadap football, dan basket, seperti "kegilaan" masyarakat Romawi pada duel maut gladiator. Penghargaan yang kelewat tinggi terhadap pemain sepakbola seperti Cristiano Ronaldo, misalnya, dianggap sangat mirip dengan perlakuan kerajaan dan masyarakat Romawi terhadap gladiator.
POSTER film Four Horsemen
Obsesi terhadap pertandingan olahraga, dalam Four Horseman, disebut sebagai ciri masyarakat dekaden dan akan kolaps. Obsesi terhadap olahraga dan seks bersamaan dengan penurunan nilai mata uang dianggap menjadi penyebab runtuhnya peradaban Romawi Kuno. Dan mungkin kita sedang menuju keruntuhan juga.
Wawancara Chomsky yang kemudian diterbitkan dalam artikel berjudul "Mengapa Rakyat Amerika Tahu Banyak tentang Football namun Hanya Sedikit Tentang Persoalan Dunia", mencuatkan satu pemikiran yang kemudian tumbuh menjadi keriuhan. Chomsky menyebut olahraga seperti football bukanlah "persoalan hidup dan mati".
Setiap hari, kata Chomsky, lahir diskusi dan analisis, yang terkadang bisa dikatakan luar biasa canggih, tentang apakah seorang pelatih sudah melakukan keputusan yang benar atau tentang efektivitas taktik sebuah klub.
"Tapi di sisi lain, sewaktu saya mendengar orang berbicara tentang, katakanlah, persoalan luar negeri atau nasional, kualitas pembicaraan itu dangkalnya minta ampun," kata Chomsky yang mengaku suka menonton pertandingan bola basket.
Menurut dia, kecenderungan ini terjadi karena orang hidup di dunia yang sistem politiknya tidak memungkinkan bagi terjadinya pengaruh signifikan dari satu pendapat atau analisa. "Dan akhirnya membuat kita hanya menjadi penonton pasif," sebut Chomsky.
"Manusia modern masih memanfaatkan akal sehat dan kemampuan intelektualnya. Namun, di area yang tidak ada artinya seperti (aduh) pertandingan sepakbola."
Akan tetapi, ada kisah yang kontradiktif dengan pandangan miring Chomsky. Di Mesir, kelompok Ultras Al-Ahly ikut dalam revolusi. Mereka ikut dalam kerusuhan di Tahrir Square tahun 2012 dan dianggap sebagai penentang pemerintahan militer di Mesir.
SUPORTER Al Ahly saat ikut berunjukrasa di Tahrir Square, beberapa waktu lalu.
Siapakah di antara kita (atau Chomsky) yang berani menyebut mereka hanyalah sekelompok fans klub sepak bola yang pasif? Namun, mungkin Chomsky malah bertepuk dada melihat gerakan radikal Ultras Al-Ahly karena dia memang sering kali dianggap sebagai tokoh pendukung gerakan anarkisme.
Kredit juga patut diberikan kepada pendukung Arsenal dan Liverpool di Liga Inggris. Awal tahun ini, mereka memboikot pertandingan kandang sebagai bentuk protes terhadap harga tiket yang kelewat mahal dan tidak mendukung lahirnya generasi muda suporter.
Mungkin saja sepakbola dengan segala keindahannya atau olahraga kompetitif lainnya punya kemampuan mengalihkan perhatian kita. Namun jika kita menolak untuk pasif dan sadar betul apa masalah "hidup dan mati" umat manusia dan mau berjuang, saya pikir tidak ada masalah menjadi penonton sepakbola.
Bukan tidak mungkin, kita, fans sepak bola, akhirnya terlepas dari embel-embel yang tidak penting dan akhirnya mencintai permainan sepakbola itu sendiri. (liston damanik)