Mampukah Trimedya Panjaitan Menyembuhkan Sakit Kronis PSMS Medan?
Ini baru satu soal. Baru satu penyakit, yang sebenarnya tidaklah terlalu rumit. Trimedya akan menghadapi penyakit lain yang jauh lebih rumit
Editor: Husein Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Seorang kawan bilang begini," tidak ada angin tidak ada hujan, Trimedya Panjaitan datang ke Medan dan mencalonkan diri jadi Ketua Umum PSMS."
Saya membantah kalimatnya. Saya bilang, dia pasti datang dengan maksud dan tujuan tertentu. Apakah dia datang untuk membangkitkan PSMS yang terpuruk? Apakah dia datang untuk memperbaiki segala kecentangprenangan dan segenap keacakkadutan kerja manajerial dan menjalankan mesin organisasi yang benar-benar profesional?
Kerangka besarnya barangkali tidak meleset. Pastilah, ini memang latar belakang alasan yang standar. PSMS adalah klub yang sedang sakit. Bukan sakit ringan pula, dan karena itu siapapun yang datang harus memiliki visi dan misi yang terkaitpaut dengan upaya penyembuhan.
Trimedya menyampaikan maksud yang sama. Tidak tanggung, dia optimistis dapat menyembuhkan sakit PSMS dalam waktu dua tahun saja. Setelah dua tahun dan PSMS kembali ke level utama, kata Trimedya, dia akan melepas PSMS ke pihak lain yang layak dan mampu meneruskan kerja yang telah dirintisnya.
Sungguh mulia di satu sisi. Namun di sisi yang lain mencuatkan pertanyaan besar pula. Apakah Trimedya betul-betul memahami kondisi PSMS? Apakah dia betul-betul sudah mendeteksi penyakit PSMS dan menemukan obat yang paling mujarab untuk menyembuhkannya?
Sepertinya belum. Jika Trimedya paham, tentulah dia tidak akan gegabah menyebut penyakit PSMS, yang sudah teramat kronis ini, dapat sembuh dalam waktu dua tahun. Kecuali dia datang membawa dokter spesialis yang mampu melakukan operasi menyeluruh --operasi yang membuat penyakit-penyakit di tubuh PSMS tercerabut tanpa bekas.
Siapakah dokter sepesialis ini? Investor! Investor sungguhan. Kelas kakap. Bukan investor nanggung yang modalnya masih dapat dihitung. Investor yang memandang dan memperlakukan PSMS sebagai komoditi bisnis, bukan sapi perahan yang diperalat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Sepakbola sekarang berada di era industri. Maka siapapun yang masih terjebak terlebih-lebih terlena dan berbangga-bangga pada nostalgia masa lalu akan tersisihkan, tergerus, lalu punah. Sepakbola bukan lagi media perjuangan. Sepakbola adalah bagian dari industri yang hakikatnya adalah untung dan rugi, dan klub menjadi komoditinya.
Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan dan Nasser Al-Khelaifi adalah dokter-dokter spesialis. Juga Roman Abramovich. Mereka datang ke Manchester City, Paris Saint Germain (PSG) dan Chelsea, dan mencabut penyakit-penyakit kronis yang bersemayam di tubuh klub-klub ini, dan lihatlah betapa digdayanya mereka sekarang.
Trimedya juga menyinggung soal investor. Dia menyebutnya dengan istilah "bapak asuh". Apakah "bapak asuh" hakikatnya sama dengan "dokter spesialis"? Saya kira tidak.
Dalam koridor dan sudut pandang ekonomi, bapak asuh adalah semacam pola kerjasama yang memiliki batasan-batasan tertentu berdasarkan kesepakatan. Lazimnya, bapak asuh bertindak sebagai pemberi arahan, pemberi bantuan, dan pengawas yang mendapatkan pertanggungjawaban atas arahan dan bantuan yang diberikannya.
Sedangkan "dokter spesialis" tidak "sedemoktatis" itu. Sheikh Mansour, Nasser Al-Khelaifi, dan Roman Abramovich melakukan perombakan besar-besaran di City, PSG, dan Chelsea. Semua yang dianggap penyakit mereka sapu bersih, lantas menjalankan roda organisasi klub dengan manajemen perusahaan, bukan perkawanan dan perkoncoan.
Ini baru satu soal. Baru satu penyakit, yang sebenarnya tidaklah terlalu rumit. Trimedya akan menghadapi penyakit lain yang jauh lebih rumit dan lebih sulit dicabut, yakni bagaimana mengurai benang kusut kemanunggalan sepakbola dan kemiliteran untuk kemudian dapat memisahkan, memilah, memilih, lantas menempatkan masing-masing unsur pada posisi yang lebih sesuai dan proporsional.
Mampukah Trimedya Panjaitan melakukannya? Atau, kita ubah pertanyaannya. Adakah yang mampu melakukannya? Siapapun, adakah yang mampu (di semua sisi) menerapkan profesionalisme yang sebenar-benarnya lepas dari perilaku amatir?
Pertanyaan ini penting diapungkan, karena suka tidak suka, profesionalisme yang sejauh ini digadang-gadang dan diterapkan di PSMS, tidak lebih dari sekadar profesionalisme lawak-lawak. Profesionalisme yang serba konyol. Dibilang profesional padahal sesungguhnya amatir. Dikatakan amatir sok profesional.
Bagaimana, adakah yang bisa? Sebab jika tidak, maka apa boleh buat, sampai satu hari menjelang kiamat pun PSMS akan begini-begini saja. Hidup segan mati tak mau. Syukur-syukur tidak mati betulan.(t agus khaidir)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.