Menyanjung Akademi Chelsea Sebagai Salah Satu Tulang Punggung The Blues dan Timnas Inggris
Pada tahun 2004, sebuah gebrakan dilakukan oleh manajemen Chelsea untuk menggodok potensi anak-anak muda di London yang memiliki bakat di sepakbola.
Penulis: deivor ismanto
Editor: Husein Sanusi
TRIBUNNEWS.COM - Pada tahun 2004, sebuah gebrakan dilakukan oleh manajemen Chelsea untuk menggodok potensi anak-anak muda di London yang memiliki bakat di sepakbola.
Neil Bath sebagai kepala pengembangan pemuda Chelsea, melakukan rekontruksi akademi The Blues secara besar-besaran.
Sebuah akademi sepakbola didirikan di Cobham dengan luas tanah sebesar 140 hektar, dengan 30 lapangan sepakbola, 6 diantaranya sudah berada dalam standard Premier League.
Chelsea memfasilitasi semua kegiatan sepakbola, mulai dari akademi, reserve, tim wanita, hingga tim utama.
Dengan tujuan, menghadirkan bibit-bibit unggul sepakbla yang ketika di usia matang dapat menjadi andalan di skuat utama The Blues.
Dan benar saja, 16 tahun Cobham berjalan sudah ada barisan nama mentereng yang dilahirkan Chelsea dan menjadi aktor di Stamford bridge sekarang berkat performa menterengnya.
Baca juga: Berita Chelsea, Christian Pulisic Mengaku Frustrasi di Klub Chelsea di Bawah Thomas Tuchel, Mengapa?
Baca juga: Berita Chelsea, Siap Terkam Sule yang Patah Hati, Si Petarung Gabung Musim Depan, Tuchel Mengendur
Sebut saja, Mason Mount, Reece james, Ruben Loftus Cheek, Callum Hudson-Odoi, dan bek tangguh yang menggeser posisi Azpilicueta di skuat utama, Trevoh Chalobah.
Itu yang berada di skuat Chelsea sekarang, nama-nama lain yang sudah The Blues jual dan dalam masa peminjaman juga cukup menjanjikan.
Tammy Abraham, Fikayo Tomori, Valentino Livramento, Declan Rice, Tariq Lamptey, hingga gelandang yang baru-baru ini melakoni debutnya bersama Timnas Inggris, Conor Gallagher.
Ya, semua nama yang disebutkan di atas lahir dari panas terik dan langit cerah akademi Cobham, dan tahun ini bisa dikatakan sebagai masa emas dari sekolah sepakbola mewah itu.
Mason Mount adalah salah satu jebolan Cobham yang penampilannya paling konsisten, baik di era kepelatihan Lampard atapun Tuchel, ia selalu menjadi pilihan utama dan tampil memuaskan.
Pemain berusia 23 tahun tersebut sejatinya bukanlah seorang pencetak gol handal, perannya lebih mumpuni sebagai seorang penyambung antara lini tengah menuju depan permainan The Blues.
Dan sang juru taktik, Thomas Tuchel paham betul akan potensi dan atribut seorang Mason Mount. Ia memberi kebebasan Mount untuk bergerak dan mengatur serangan Chelsea di tengah ataupun samping.
Mount adalah pemain versatile. Dalam skema dasar 3-4-3 atau 3-4-2-1 yang digunakan eks pelatih PSG tersebut, ia bisa masuk dalam berbagai posisi yang ditugaskan sang juru taktik.
Ia dapat dimainkan di posisi winger kanan, winger kiri, dan memainkan peran no. 10. meskipun seringkali bermain sebagai winger peran utama Mount adalah sebagai playmaker yang diandalkan The Blues untuk merusak kenyamanan bek lawan dalam bertahan.
Visi bermain dan keuletannya dalam mencari ruang begitu baik, sehingga ia tak kesulitan untuk memberi kontribusi yang memuaskan sang pelatih.
Sebagai seorang playmaker, Mount membuktikan diri sebagai kreator serangan yang handal.
Serangan-serangan Chelsea banyak berasal dari kakinya, dilansir FBref dan Sofascore, catatn umpan kuncinya berada di angka 2,76 per pertandingan. Menjadi yang paling tinggi diantara pemain The Blues lainnya.
Sering melakukan umpan beresiko dan terobosan yang rawan dipotong bek lawan, catatan pass completion Mount masih sangat baik yaitu di angka 81.9% per pertandingan.
Lalu nama kedua yang juga tak kalah mentereng adalah Reece James, bermain sebagai wing back, pria asal Inggris itu sukses menjadi top skor sementara Chelsea dengan torehan 5 golnya.
Dua wing back Chelsea yang sering diisi oleh James dan Chilwell begitu tampil rajin membantu serangan The Blues.
Para winger Chelsea sengaja Tuchel dorong lebih menusuk, untuk memberi tempat kepada wing back-nya yang memiliki intuisi menyerang luar biasa.
Hal tersebut juga memberikan daya ledak Chelsea, yang mampu menciptakan situasi overload di lini serang.
Bahkan, pergerakan James dan Chilwell tak melulu selalu bergerak dari tepi.
Mereka berdua begitu aktif untuk masuk ke dalam kotak, guna menciptakan peluang, memberi assist, dan mencetak gol tentunya.
Dilansir FBref, sentuhan di kotak 16 James berada di angka 2.87 per pertandingan.
Bahkan wing back The Blues lainnya, Chilwell lebih aktif berada di kotak penalti dari James, yaitu berada di angka 3.41 per pertandingannya.
Hal itu menjadi bukti bahwa agresifitas James dan Chilwell memang sudah ia terapkan dalam sistemnya.
Bukan menjadi kejutan, jika kita akan lebih sering melihat James dan wing back Chelsea lainnya berselebrasi di pinggir lapangan, mereka memang ditugaskan untuk itu.
Jika James sudah menciptakan lima gol, Chilwell yang bermain di kiri juga mampu tampil produktif dengan sumbangan tiga golnya.
"Mereka memang bermain di belakang, namun saya tidak menyebut mereka pemain bertahan," kata Tuchel dilansir The Guardian.
"Mereka bebas menyerang, bergerak ke depan dan masuk ke kotak penalti lawan, namun tak melupakan tanggung jawabnya di belakang," lanjutnya.
"Saya menempatkan mereka ke dalam kotak penalti untuk mencetak gol dan memberi ancaman kepada lawan," jelas juru taktik asal Jerman tersebut.
Reece James yang sudah menciptakan 5 gol dan 5 assist untuk The Blues musim ini memang sudah direncanakan oleh Tuchel.
Ia percaya dengan insting mencetak gol James, dan membuat Tuchel memutar otak untuk memberinya ruang agar dapat mencetak gol sebanyak mungkin.
"Saya tak pernah meragukan kemampuannya (James) untuk mencetak gol, ia tak butuh latihan untuk melakukannya," puji Tuchel dilansir Goal International.
"Penyerang kami akan berkorban dan memberi celah kepada lini kedua untuk menciptakan peluang," lanjutnya.
Ya, jika Mason Mount dan Reece James menjadi tulang punggung tim di musim ini, ada nama lain yang sukses menghadrikan pundi-pundi uang untuk The Blues.
Ia menjadi pemain termahal yang sukses Cobham jual di bursa transfer awal musim lalu. Adalah Tammy Abraham.
Striker berpostur 190cm itu dijual Chelsea menuju AS Roma dengan gelontoran dana sebanyak 34 juta pound sterling atau sekitar Rp 678 miliar.
Musim panas 2017, ada 38 pemain Chelsea yang dipinjamkan, satu nama menjadi sorotan, yaitu Tammy Abraham.
Saat itu, Tammy yang berusia 19 tahun, bermain bersama Bristol City, di kompetisi kasta kedua Inggris, Championship.
Walaupun hanya bermain di kasta kedua, tapi nama Tammy mencuat kepermukaan berkat gelontoran gol yang ia boyong selama satu musim.
Di musim itu, Tammy muda mencetak berhasil mencetak 21 gol bagi Bristol.
Dengan rincian 18 gol di Liga, dan tiga gol di EFL Cup.
Torehan golnya tersebut sukses memecahkan rekor yang pernah dipegang oleh penyerang Lyon, Moussa Dembele.
Nama Tammy tercatatat dalam sejarah sebagai penyerang berusia di bawah 20 tahun yang mampu mencetak lebih dari 15 gol di kompetisi Championship.
Di akademi Chelsea, Tammy merupakan mesin pencetak gol yang hampir selalu sukses mencatatkan namanya di papan skor pada setiap pertandingan yang dimainkannya.
Dari dua musim yang dijalaninya di tahun 2014/2015 dan 2015/2016.
Tammy berhasil membukukan 74 gol dari 98 pertandingan.
The Blues muda pun berhasil dibawa pemain berpostur 193 cm ini menjuarai FA Youth Cup dan Liga Champions U-19 dua musim berturut-turut di tahun yang sama.
“Ia (Tammy) bermain menggunakan kekuatan fisiknya seperti seorang lelaki, dan sangat menyenangkan untuk melihat pemain muda yang berkembang di akademi,” kata Hiddink yang saat itu melatih Chelsea.
Di tahun-tahun selanjutnya, Tammy dipinjamkan The Blues ke tim Swansea City dan Aston Villa.
Di Aston Villa, Tammy lagi-lagi berhasil menunjukan bahwa ia adalah stiker yang haus gol.
Pemain asal Inggris itu berhasil mencetak 26 gol dan 3 assist dari 40 pertandingan bersama Villa.
Keganasan Tammy pun dicium oleh pelatih baru Chelsea saat itu, Frank Lampard.
Di musim 2019/2020, Lampard memulangkan Tammy ke Chelsea bersama Mason Mount yang saaat itu bermain di Liga Belanda.
Lampard bahkan rela mencadangkan stiker sekaliber Olivier Giroud, untuk memberi tempat kepada striker 21 tahun yang datang dari tim kasta kedua.
Kepercayaan dari Lampard pun berhasil dibayar dengan baik oleh Tammy.
Ia berhasil mencetak 15 gol dan 3 assist dari 34 pertandingan bersama The Blues di Liga Inggris.
Di musim selanjutnya, Tammy kembali menjadi andalan untuk Lampard.
Meskipun The Blues sukses mendatangkan dua pemain Bundesliga, yaitu Timo Werner dan Kai Haverz, pilihan Lampard untuk mengisi pos di lini depan tetap jatuh pada Tammy.
Timo digeser ke kiri, dan Haverz bermain di kanan, sedangkan Giroud, tetap menjadi pilihan kedua di bangku cadangan.
Dipecatnya Frank Lampard untuk digantikan mantan pelatih PSG, Thomas Tuchel, seakan menjadi mimpi buruk untuk Tammy.
Di tangan Tuchel, Chelsea lebih sering bermain dengan skema 3-4-3 dengan bermain tanpa adanya striker murni.
Kai Haverz yang sebelumnya lebih sering bermain sebagai gelandang dan winger kiri, dijadikan Tuchel sebagai pemain False Nine, dan Tammy hanya duduk di bangku cadangan.
Tuchel tak sedikit pun memiliki rencana untuk memberikan menit bermain pada Tammy. Ia bukanlah striker yang diinginkan pelatih asal Jerman tersebut.
Puncaknya, di musim ini, Chelsea sukses merekrut bomber Inter Milan dengan biaya 115 juta euro.
Kedatangan Lukaku sudah jelas mengartikan bahwa sudah tidak ada lagi tempat bagi Tammy untuk mengisi lini serang The Blues.
(Tribunnews.com/Deivor)