Perebutan Juara Liga Inggris: Sisa Tenaga Pasukan Klopp vs Kolektivitas Pep, Liverpool atau City?
Liga Inggris telah sampai ke partai pamungkas, Liverpool dan Manchester City memperebutkan takhta juara hingga laga terakhir.
Penulis: deivor ismanto
Editor: Muhammad Nursina Rasyidin
TRIBUNNEWS.COM - Liga Inggris telah sampai ke partai pamungkas, Liverpool dan Manchester City memperebutkan takhta juara hingga laga terakhir.
Jarak poin antara Liverpool dan Manchester City hanya berjarak satu angka.
The Citizens sebenarnya sempat di atas angin untuk meraih gelar, namun hasil imbang melawan West Ham yang mereka terima membuat persaingan kembali memanas.
Liverpool pun berhasil memanfaatkan terpelesetnya pasukan Guardiola dan meraih tiga angka saat bersua Southampton di pekan ke-37.
Konsistensi menjadi kunci bagi Liverpool dan Manchester City untuk meraih gelar Liga Inggris, peduli setan lawan yang akan mereka hadapi.
Baca juga: Hasil Liga Inggris Usai Southampton 1-2 Liverpool, Jurgen Klopp Pasrah, Berharap dengan Aston Villa
Baca juga: Klasemen & Top Skor Liga Inggris: Liverpool Pepet Manchester City, Salah vs Son Berebut Sepatu Emas
Di sisa laga, Liverpool akan menghadapi tim yang belum pernah menang di enam pertandingan Liga Inggris terakhir, Wolves.
Langkah Manchester City sedikit lebih sulit, mereka harus bertemu Aston Villa yang memiliki skuat mentereng.
Persaingan dua tim asal Merseyside dan Manchester itu memang begitu sengit di musim 2021/2022.
kedua juru taktik mampu meramu strategi yang apik untuk membawa anak asuhnya bersaing di gelar juara.
Jurgen Klopp membangun Liverpool
Tangan dingin Jurgen Klopp benar-benar menjadikan Liverpool sebagai tim superior yang sulit untuk dikalahkan.
Sejak datang ke Anfield pada tahun 2015 lalu, juru taktik asal Jerman itu sukses membuat revolusi di Liverpool.
Mulai mentalitas hingga gaya permainan yang diusung mampu membuat The Reds menjadi tim yang lebih diperhitungkan di eropa.
Perlu diingat, Klopp bukanlah tipe pelatih yang menuntut belanja besar-besaran untuk tim yang ia pegang, ia berbeda dengan Guardiola yang membutuhkan dana melimpah untuk membentuk satu tim hebat.
Selama enam tahun menjabat sebagai juru taktik The Reds, pengeluaran paling banyak hanyalah untuk mendatangkan Virgil van Dijk dari Southampton dengan biaya 70 juta euro.
Moneyball yang diterapkan oleh mantan Direktur Olahraga Liverpool, Michael Edward, menjadi kunci dari kesuksesan bursa transfer The Reds dari musim ke musim yang memanjakan Klopp untuk meracik strategi.
Baca juga: Semifinal SEA Games 2022: Thailand Punya Tren Sangar, Polking Sindir Pelatih Timnas Indonesia U23
Pemain-pemain yang kini menjadi bintang, seperti Mo Salah, Sadio Mane, Roberto Firmino, Diogo Jota, Jordan Henderson, hingga Robertson adalah pemain yang diboyong dengan harga di bawah 50 juta euro.
Klopp adalah pelatih yang percaya dengan sebuah proses. Ia membuat sistem permainan berdasarkan kapasitas pemain yang ia miliki.
Klopp jeli dalam menggodok pemain yang biasa-biasa saja sebelumnya menjadi sosok penting dalam taktik yang dia usung.
Nama-nama yang disebutkan di atas adalah contohnya, mereka diboyong dengan banderol di bawah 50 juta euro, namun apa yang mereka tunjukkan di lapangan begitu luar biasa.
Mohamed Salah yang menjadi bintang, diakui sebagai salah satu pemain terbaik di dunia dengan beberapa kali masuk dalam nominasi pemenangan Ballon d'Or.
Awal kehebatan Klopp terlihat saat Liverpool berhasil dibawanya mencapai babak final Piala Liga dan Liga Eropa pada musim 2015/2016.
Lalu di musim selanjutnya (2016/2017), pelatih berusia 52 tahun tersebut mampu membawa The Reds tampil di ajang Liga Champions setelah tiga musim absen.
Grafik menanjak kembali mampu Klopp tunjukan di musim 2017/2018, Jordan Henderson dan kolega dibawanya mencapai babak final Liga Champions dan bersua tim raksasa Spanyol, Real Madrid.
Sayangnya, blunder konyol yang dilakukan Karius di partai tersebut membuat Liverpool harus menyerahkan trofi Si Kuping Besar ke tangan Los Blancos.
Namun, bukan Klopp namanya jika ia tak belajar dari kekalahan. Di musim selanjutnya, The Reds sukses dibawanya tampil superior di Liga Champions hingga kembali melangkah ke babak final.
Tottenham Hotspur yang menjadi lawan dibuat tak berdaya, tim asuhan Pochettino berhasil Klopp kalahkan dengan skor meyakinkan 2-0 lewat sumbangan gol Mo Salah dan Divock Origi.
Raihan manis terakhir yang sukses Klopp berikan untuk Liverpool terjadi pada musim 2019/2020.
Liverpool menjalani musim paling luar biasa di liga dengan mengalami jumlah kekalahan yang dapat dihitung jari.
Mereka juga meninggalkan City di urutan kedua dengan selisih poin dua digit yang begitu jauh dan mustahil dikejar bahkan saat kompetisi masih menyisakan tujuh laga sisa.
Gelar Liga Primer Inggris pun berhasil mereka bawa pulang setelah 30 tahun lamanya tak masuk lemari prestasi di Anfield.
"Dia (Jurgen Klopp) akan dikenang selamanya oleh fans di Anfield, Klopp adalah orang yang harus dihormati berkat jasa-jasanya untuk Liverpool," Kata Gerrard, legenda hidup Liverpool dilansir ESPN.
Berhasil mencatatkan hasil istimewa untuk The Reds tak membuat eks pelatih Brussia Dortmund itu jumawa.
Dalam sebuah konferensi Pers, Klopp menyebut dirinya adalah The Normal One, dia tak merasa menjadi orang yang spesial walaupun telah memberi gelar bergengsi untuk Liverpool.
Permainan high pressing, gegenpressing, dan direct pass dipertontonkan oleh skuat juru taktik asal Jerman itu.
Ya, 'Rock and Roll football' yang diusung Jurgen Klopp dengan 3 skema tersebut mampu membuat Liverpool tampil mempesona musim ini juga musim-musim sebelumnya.
Salah satu yang paling mencolok adalah bagaimana Klopp menerapkan permainan gegenpressing untuk Liverpool.
"Gegenpressing adalah soal ketepatan dan kecepatan, kami memberi waktu 5 detik untuk pemain dapat merebut bola kembali setelah kehilangannya," kata Klopp, dilansir HaytersTV.
"Kami memanfaatkan kegagalan lawan melakukan transisi menyerang untuk menciptakan peluang dan mencetak gol, itu yang kami lakukan," lanjutnya.
Walaupun menguras stamina dan membuat pemain Liverpool rentan cedera, permainan yang diusung Klopp terbukti efisien untuk meraih 3 poin dan mengalahkan lawan-lawannya yang di atas kertas secara skuat lebih mewah dari tim yang bermarkas di Anfield Stadium tersebut.
Gaya kepelatihan seperti itu tak asing dengan juru taktik Man United bukan? Ya, gegenpressing adalah cetusan dari Ralf Rangnick yang dijadikan senjata Jurgen Klopp untuk The Reds.
Rangnick adalah maha guru untuk pelatih-pelatih dari Jerman. Nama-nama seperti Jurgen Klopp, Thomas Tuchel, hingga pelatih Bayern Munchen, Julian Nagelsmann merupakan murid-nya.
Nama yang disebutkan pertama dapat dibilang sebagai sosok yang menaruh kiblat permainannya seperti Rangncik.
Beberapa pemain Liverpool sekarang adalah bekas asuhan Rangnick ang ia godok di klub terdahulunya.
"Klopp tidak perlu berterima kasih kepada saya. Ini jelas bukan kebetulan bahwa ia memiliki empat mantan pemain saya (Sadio Mane, Naby Keita, Firmino, dan Joel Matip)," Kata Rangnick dilansir BT Sport.
"Karena itu menunjukkan bahwa ia sebenarnya mencari jenis pemain yang sama, dengan aset yang sama, dengan mental yang sama," lanjutnya.
Jelas bukanlah tanpa alasan mengapa Klopp seniat itu untuk menerapkan filosofi Rangnick untuk Liverpool yang sedang ia buat menjadi tim terbaik Eropa.
Kini di sisa-sisa tenaga pasukan Jurgen Klopp, gelar Liga Inggris akan didapat jika tiga poin sukses diraih saat berhadapan dengan Wolves dan City terpelesat saat bersua Aston Villa di partai pamungkas.
Sepak Bola Modern Manchester City
Meski tampil tanpa striker murni di depan, racikan Guardiola yang mengandalkan kolektivitas pemain membuat lini depan manchester City begitu moncer.
Guardiola tak bergantung pada satu atau dua pemain untuk mencetak gol, seluruh pemain The Citizens dapat mencatatkan namanya di papan skor.
Dilansir Transfermarkt, sudah ada 23 pemain The Citizens yang sukses merobek jala gawang lawan, ciamik!
Guardiola yang bermain false nine tak segan untuk mengotak-ngatik barisan gelandangnya untuk menjadi striker palsu di depan.
Ia memanglah jenius, ia bisa menggunakan beberapa pakem di pertandingan-pertandingan Manchester City.
Baca juga: 10 Fakta dan Angka Menarik Jelang Laga Southampton Vs Liverpool, Konate Tak Terkalahkan di 26 Laga
Ia tak ragu untuk mencadangkan pemain mentereng jika gaya bermainnya tak sesuai dengan skema yang telah ia racik.
Musim ini, Guardiola paling sering bermain dengan skema 4-3-3, dengan dua full back yang rajin membantu penyerangan.
Bahkan, Joao Cancelo seringkali bergerak ke tengah guna menambah pemain City di lini tengah, itu membuat skema City berbentuk 3-2-2-3.
Saat City membangun serangan, Cancelo akan naik ke tengah untuk berdiri sejajar bersama gelandang bertahan, lalu posisinya di bek kiri diisi bek tengah The Citizens.
Hal tersebut membuat Manchester City unggul jumlah pemain di lini tengah.
Di trio lini depan, Guardiola lebih sering memainkan Grealish/Sterling, De Bruyne/Foden, dan Gabriel Jesus/Mahrez.
Hampir di setiap pertandingan, Guardiola selalu memasang trio penyerang yang berbeda.
Bermain tanpa striker murni memang membuat Pep Guardiola mengubah starting line upnya, ia membutuhkan pemain winger kreatif untuk membuat The Citizens kuat dalam ball possesion. Dan pemain tersebut adalah Grealish.
Ya, Pep Guardiola memberi komentar menarik terkait kritikan yang media layangkan kepada salah satu pemainnya, Jack Grealish.
Menurut Pep, minimnya gol yang Grealish sumbangkan untuk Manchester City musim ini bukanlah menjadi masalah untuknya.
Pria asal Spanyol itu tak memanfaatkan atribut Grealish untuk menjadi seorang goal getter di depan, namun untuk terlibat dalam pakem yang ia usung.
"Statistik hanyalah sedikit informasi yang kami miliki, tetapi ada pemain yang membuat tim bermain bagus dan tidak ada dalam statistik," kata Guardiola dilansir Sportskeeda.
"Para pemain bertanya, 'Berapa banyak gol yang saya cetak atau berapa banyak assist?', ini masalahnya."
"Statistik ini tidak pernah ada sebelumnya," lanjutnya.
"Begitulah cara Anda bermain jika Anda tampil maksimal, sebaik mungkin, membantu rekan satu tim Anda membuat proses bertahan dan menyerang lebih baik, itu sudah cukup," pungkasnya.
Apa yang dikatakan Pep bukanlah omong kosong belaka, hadirnya Grealish di lapangan saat melawan Atletico membuat serangan The Citizens makin rancak.
Bahkan, per catatan Squawka, pemain asal inggris itu menjadi pemain yang paling sering dilanggar untuk Man City (56 kali) meski lebih sering bermain dari bangku cadangan.
Sejak bermain bersama Aston Villa, pemain asal Inggris tersebut memang memiliki atribusi dalam hal penguasaan bola dan kemampuan dribel yang ciamik.
Grealish juga memiliki visi bermain yang tinggi, itu membuatnya seringkali bergerak ke tengah untuk menjadi seorang playmaker, bergantian dengan de Bruyne ataupun Bernardo Silva.
Hal tersebut membuat City mampu menguasai ball Possesion hingga 71 % per pertandingannya.
Sterling tentunya tak bisa berperan seperti Grealish, pemain berpostur 170 cm itu lebih bertipikal sebagai winger murni yang mengandalkan kecepatan dan skill olah bola.
Perubahan skema yang diterapkan Guardiola membuat Sterling harus bersabar untuk bermain dari menit awal di tiap pertandingannya.
Meski ta terlalu menonjol, Grealish mampu menjawab kepercayaan Guardiola dengan baik.
Dilansir FBref, progressive passes Grealish berada di angka 5.13 tertinggi kedua setelah de Bruyne, dribbles completed Grealish juga berada di angka 2.55 berada di atas Raheem Sterling yang hanya berada di angka 2.21.
Grealish memang tak rajin mencetak gol untuk The Citizens, hanya 4 gol dan 4 assist dari 39 pertandingan.
Namun, hadirnya dia di sisi kiri Manchester City membuat serangan The Citizens lebih rancak.
Memasang Grealish dan de Bruyne berarti Guardiola memiliki dua pemain bertipe playmaker di sepertiga akhir.
Visi keduanya membuat City memiliki lebih banyak opsi untuk membongkar pertahanan lawan.
Dari sayap kiri dan tengah, Grealish menambah daya gedor The Citizens.
Anak asuh Guardiola jadi memiliki opsi lebih untuk membongkar pertahanan.
Grealish memiliki kontrol bola dan teknik yang cukup untuk menarik lawan agar mengerubunginya, hal ini berguna agar kawalan terhadap penyerang lain melemah.
Saat lawan berfokus ke areanya, Grealish mampu memindah serangan ke area yang lebih kosong dengan cepat.
Hal tersebutlah yang tak bisa dilakukan oleh Sterling untuk Guardiola, permainan Sterling lebih menusuk, ketika dikepung lawan ia akan lebih sering memaksakan diri dan akhirnya kehilangan bola.
Maka, tak heran jika nama Grealish terus masuk dalam starting line up Manchester City meski catatan gol dan assistnya tak mencolok.
Efektivitas permainan-lah yang dibutuhkan Guardiola dalam diri Jack Grealish, urusan mencetak gol dan memberi assist akan menjadi tanggung jawab pemain The Citizens lainnya.
Hadirnya Grealish membuat peran De Bruyne sebagai pengatur serangan di sepertiga akhir menjadi terbantu.
Bahkan hadirnya Grealish mampu membuat De Bruyne tampil lebih cair dan lebih sering berada di area sentral lawan untuk mencatatkan namanya di papan skor.
Hasilnya, torehan gol De Bruyne musim ini cukup produktif, ia mampu menjebol gawang sebanyak 13 kali dari 38 pertandingan yang sudah dijalani bersama The Citizens.
Ya, kedalaman skuat dan kecerdasan Guardiola dalam memanfaatkan atribut pemainnya menjadi kunci dari kecemerlangan City di musim ini.
(Tribunnews.com/Deivor)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.