Survei YLKI Ungkap Alasan Orang Pilih Transportasi Online
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) selesai menggelar survei online untuk pelayanan transportasi online.
Editor: Fajar Anjungroso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) selesai menggelar survei online untuk pelayanan transportasi online.
Survei dilakukan pada 5-16 April 2017, dengan melibatkan 4.668 responden.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, alasan utama responden memilih menggunakan transportasi online, adalah murah yakni 84,1 persen.
Disusul alas an cepat (81, 9 persen), nyaman (78, 8 persen), dan terakhir alasan aman sebanyak 61, 4 persen.
“Adapun moda transportasi yang dipilih konsumen, sebanyak 55 persen menggunakan transportasi online jenis mobil dan motor; sedangkan yang menggunakan "motor saja" sebanyak 21 persen dan menggunakan "mobil saja" sebanyak 24 persen.” Ujarnya, Jumat (12/5/2017).
Aplikasi Gojek menduduki rating tertinggi dipilih konsumen, sebanyak 72,6 persen; kemudian Grab sebanyak 66, 9 persen; Uber digunakan oleh 51 persen dan terakhir My BlueBird sebanyak 4,4 persen.
“Jika dilihat frekuensi penggunaannya, paling banyak menggunakan transportasi online adalah 2-3 kali dalam seminggu (31,6 persen), 1-2 kali dalam sehari (27,6 persen), seminggu sekali 13, 7 persen dan lebih dari 3 kali dalam sehari sebanyak 8,7 persen,” ujarnya lagi.
Tulus menjelaskan, secara dominan konsumen menjawab pelayanan sangat baik (77,7 persen), kemudian cukup 21,8 persen, kurang baik 0,4 persen dan menjawab sangat buruk sebanyak 0,1 persen.
Namun, di sisi lain, ketika ditanyakan apakah konsumen pernah dikecewakan oleh pelayanannya; sebanyak 41 persen responden mengaku pernah dikecewakan, dan sebaliknya 59 persen responden tidak pernah dikecewakan.
“Hal ini menandakan tidak adanya standar pelayanan minimal yang diberikan oleh operator transportasi yang bersangkutan. Dampaknya potensi kerugian konsumen sangat besar,” tuturnya.
Terkait intervensi regulasi dan wacana kebijakan pentarifan oleh Kemenhub, mayoritas responden (63 persen) bersikap tidak setuju jika pemerintah akan mengatur transportasi online, dan hanya 37 persen yang setuju.
Bahkan, perihal wacana implementasi tarif batas atas dan batas bawah, hanya 37, 2 persen responden yang setuju, dan 62, 8 persen responden yang menyatakan tidak setuju.
Ia mengatakan keberadaan transportasi online tidak bisa dielakkan, apalagi dilarang. Fenomena ini terjadi karena masih buruknya pelayanan angkutan umum di kota-kota besar Indonesia, termasuk Kota Jakarta.
“Pelayanan transportasi online belum mempunyai standar yang jelas. Oleh karena itu mendesak untuk adanya standar pelayanan minimal, khususnya untuk taksi online. Standar pelayanan minimal sangat urgen, untuk menjamin pelayanan yang terukur bagi konsumen,” tuturnya.
Tulus menambahkan, klaim tarif transportasi online lebih murah, adalah tidak terlalu tepat.
Karena faktanya mereka menerapkan tarif yang samgat mahal pada jam-jam sibuk (rush hour). Jauh lebih mahal daripada taksi konvensional.
“Wacana penerapan model tarif batas atas dan batas bawah harus melalui kajian mendalam. Kemenhub harus bisa membuktikan apakah tarif transportasi online itu karena faktor efisiensi atau faktor "banting harga". Jika faktor efisiensi menjadi penyebab, maka tarif batas bawah tidak layak diterapkan,” tegasnya.