Pakar Komputer Sebut Kejahatan Siber Dana Perbankan Masih Marak
Namun, keduanya tidak dapat melakukan tindakan lebih selain membuat sistem yang aman bagi nasabah.
Penulis: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pakar Komputer Forensik dari Universitas Gunadarma Ruby Alamsyah menyebut, kejahatan siber yang mengincar dana nasabah di perbankan masih marak dilakukan tahun ini. Bahkan, pelaku semakin pintar dalam mengeruk dana nasabah.
"Ada peningkatan modus, maksudnya modusnya diubah sedikit," ucap Ruby dalam seminar bertajuk 'Indonesia dan Ancaman Siber yang Merajalela' di Kampus Universitas Gunadarma, Jl TB Simatupang, Jakarta.
Ia menjelaskan, jumlah dana yang diambil oleh pelaku kejahatan sekitar Rp100 juta per harinya. Menurut Ruby, pelaku kejahatan siber semakin memahami keamanan di perbankan yang diatur oleh regulator Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Bank Indonesia (BI). Menurut Ruby, pelaku kejahatan ini merupakan orang asing yang berasal dari Rusia.
"Ini background nya Rusia, dari 2009-2010 hacker Rusia selalu menargetkan negara berkembang seperti ini," katanya.
Ia menjelaskan, teknis pengambilan dana nasabah dilakukan melalui internet banking. Pelaku telah memantau rutinitas transaksi dari pemilik rekening, kemudian saat nasabah melakukan transaksi tujuan pengiriman dan jumlah transaksi akan diubah oleh pelaku.
Untuk mengatasi hal ini, Ruby sendiri telah melakukan diskusi dengan BI dan OJK. Namun, keduanya tidak dapat melakukan tindakan lebih selain membuat sistem yang aman bagi nasabah.
"Mereka regulator keuangan, kendala mereka harus mempunyai siber security," katanya.
Lebih Gawat Dibanding WannaCry
Kasus ransomware WannaCry memang sempat bikin heboh. Namun dari sisi nilai kerugian, ternyata ada kasus siber lainnya yang jauh lebih menakutkan dan bikin korbannya yang mayoritas ibu-ibu muda.
"Nilai tebusan yang dihasilkan ransomware cuma Rp 600 juta saja, itu pun di seluruh dunia, bukan cuma di Indonesia. Angkanya masih jauh lebih besar kasus Nigerian Scam," ungkap Ruby
Kasus kejahatan ini merupakan penipuan komplotan penjahat siber yang berpura-pura memiliki paras tampan. Umumnya, mereka merayu perempuan berumur 25-35 tahun hingga melakukan video call.
Dalam video call tersebut, tak jarang perempuan akan dirayu hingga mau membuka sebagian aurat nya dan memperlihatkan kepada pelaku. Hal itu akan direkam sebagai alat pemerasan untuk sang korban.
Menurut Ruby, kejahatan ini bahkan menguras dana korban hingga ratusan miliar. Dalam setahun, ia mencatat setidaknya total dana yang dikeluarkan korban mencapai Rp500 miliar per tahun.
"Ini banyak yang tidak melaporkan, karena mungkin malu jika ketauan dengan kolega," jelasnya.
Sementara pakar hukum teknologi informasi dari Universitas Gunadarma, Edmon Makarim, menilai kejahatan dunia maya bukan dilakukan penggunanya. Namun seorang yang membuat program software dan hardware yang harus bertanggung jawab.
"Cyber crime yang menjadi penjahat bukan pengguna, tapi yang bikin program, Wannacry gara-gara apa, ini tidak ada manusia yang sempurna membuat program. Tapi kalau ini program jelek tapi digunakan, bisa dibilang sarana kejahatan, turut serta," katanya.
Diskusi tentang isu siber ini merupakan inisiatif dari Universitas Gunadarma untuk mengedukasi pengguna dan mengantisipasi kejahatan siber yang belakangan kian merajalela.
"Kami melaksanakan seminar ini dalam rangka antisipasi dan edukasi kepada pengguna terkait dengan isu-isu siber yang terjadi saat ini," pungkas ketua panitia Muhammad Akbar Marwan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.