Bandwidth dan Kualitas Harus Jadi Pertimbangan Kemendikbud untuk Bermitra dengan Operator
untuk mendukung program pelaksanaan pembelajaran dari rumah, idealnya menggunakan jaringan fixed broadband
Penulis: Hendra Gunawan
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah memperbolehkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Reguler dipergunakan untuk membeli pulsa atau kuota data guna mendukung pelaksanaan pembelajaran dari rumah.
Langkah tersebut dinilai positif oleh peneliti dan dosen Sekolah Tinggi Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung (ITB) Ridwan Effendi. Terlebih lagi di masa pandemi Covid-19 yang saat ini masih melanda Indonesia.
Lanjut Ridwan, untuk mendukung program pelaksanaan pembelajaran dari rumah, idealnya menggunakan jaringan fixed broadband, karena internet fixed broadband akan jauh lebih andal dan stabil dibandingkan wireless.
Baca: Tunda Program Organisasi Penggerak, Dana Dialokasikan untuk Pulsa Guru
Baca: CBA: Pemerintah Harus Punya Perencanaan Matang dalam Penyaluran Bantuan Pulsa Melalui Dana BOS
“Namun karena penetrasi fixed broadband masih terbatas, maka wireless yang menjadi tumpuan pemerintah dalam program pelaksanaan pembelajaran dari rumah. Oleh sebab itu saya meminta kepada Kemenkominfo untuk dapat memanfaatkan dana Universal Service Obligation (USO) untuk menggelar fiber optik ke seluruh wilayah Indonesia. Agar seluruh masyarakat Indonesia dapat menikmati broadband yang andal,” ujar Ridwan.
Untuk dapat menjalankan program pembelajaran dari rumah, menurut Ridwan, Kemendikbud atau Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten Kota harus menentukan kebutuhan kuota yang diperlukan untuk kegiatan belajar mengajar.
Dari pengalaman yang dimiliki Ridwan, untuk sekali melakukan pengajaran daring dengan durasi 1 jam dibutuhkan setidaknya kuota data 200 mega. Jika satu hari ada 7 jam pelajaran, maka setidaknya dalam satu hari dibutuhkan kuota internet 1,4 giga.
Selain harus mempertimbangkan jumlah kuota yang dibutuhkan, kapasitas dan kekuatan sinyal operator juga harus menjadi pertimbangan penting Kemendikbud dan Dinas Pendidikan di daerah. Sehingga menurut Ridwan harga yang murah bukan jaminan kelancaran proses belajar mengajar secara daring.
Ridwan menjelaskan, saat ini sinyal dan kapasitas operator selular dalam memberikan layanan telekomunikasi tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Khususnya dalam memberikan layanan di daerah pinggiran kota yang tak banyak penduduknya, tidak menguntungkan, serta wilayah Tertinggal, Terluar dan Terdepan (3T).
“Di Jakarta mungkin sinyal seluruh operator telekomunikasi tersedia dengan kapasitas yang hampir seragam. Namun di daerah non perkotaan dan tidak memiliki banyak penduduk, sinyal dan kapasitas operator sangat minim. Bahkan ada operator yang hanya memiliki satu BTS di satu wilayah kecamatan, sehingga membuat sinyal dan kapasitas layanan broadbandnya terbatas,” terang Ridwan.
Agar peserta didik nyaman dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar, idealnya speed yang diberikan ke pelanggan minimal 1,5 Mbps. Karena untuk melakukan pendidikan jarak jauh dengan menggunakan Zoom, Googel Meet, atau layanan tele conference lainnya membutuhkan bandwidth yang cepat dan latency yang sedikit.
Selain bandwidth yang besar, kekuatan sinyal juga harus dimiliki oleh operator agar dapat mendukung proses kegiatan belajar. Minimal operator telekomunikasi selular harus bisa memberikan sinyal 3 bar agar proses belajar peserta didik tidak tergangu.
Jika operator hanya memiliki satu BTS dalam satu wilayah tentu, menurut Ridwan akan mustahil masyarakat mendapatkan kenyamanan dalam proses belajar mengajar. Pasti sinyal tak akan stabil dan speed yang didapatkan mungkin tak akan mencapai 1 Mbps.
Dengan kondisi tersebut, tidak akan mungkin operator melayani peserta didik untuk program belajar dari rumah. Peserta didik hanya akan mendapatkan kualitas video yang buruk dan buffering.