Kekuatan Bangsa Diukur dari Kemampuan Penguasaan Iptek
Rendahnya penguasaan teknologi Indonesia saat ini, dapat ditelusuri dari beberapa indeks yang dipublikasikan oleh lembaga-lembaga internasional.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Dewi Agustina
Dalam mengejar ketertinggalan teknologi, Indonesia dapat mencontoh keberhasilan negara-negara lain.
Berdasarkan pengalaman dari negara-negara lain, beberapa hal elementer yang harus diperhatikan oleh Indonesia, antara lain adalah pengembangan inovasi teknologi sudah seharusnya diprioritaskan pada sektor unggulan.
"Juga penting melakukan penguatan sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi/lembaga riset, industri/dunia usaha, dan masyarakat," katanya.
Dalam pengembangan inovasi teknologi pada “sektor unggulan”, sudah seharusnya Indonesia memberikan prioritas pada pengembangan kekhasan potensi Indonesia yang bisa memberi nilai tambah terhadap keunggulan komparatif (comparative advantage) yang kita miliki.
Sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi/lembaga riset, industri/dunia usaha, dan masyarakat yang sering disebut kolaborasi “quarto helix” sangatlah penting, terutama dalam mendorong proses hilirisasi," katanya
Pontjo menambahkan, persoalan besar yang perlu kita sadari dan waspadai bersama dalam membangun teknologi Indonesia adalah ancaman kekuatan global, baik oleh entitas negara (state actor) atau non-negara (non-state actor) yang memang tidak menghendaki Indonesia menguasai dan maju teknologinya.
Jenis dan bentuk ancaman semacam ini, sangat mengemuka dalam era Perang Generasi ke-IV dewasa ini yang lebih mengutamakan penggunaan soft-power dalam berbagai sendi kehidupan secara multidimensi dalam menghancurkan sebuah negara sasaran, tidak terkecuali Indonesia.
"Sementara di dalam negeri sendiri, kita masih menghadapi praktik mafia pemburu rente (rent seeking) dalam bidang perekonomian/perdagangan termasuk dalam sektor kesehatan dan farmasi," katanya.
Bisa jadi dengan disadari atau tanpa disadari, para mafia pemburu rente ini digunakan sebagai “proxy” oleh kekuatan global seperti saya sampaikan tadi, untuk menghancukan Indonesia atau sekurang-kurangnya tidak ingin perekonomian Indonesia mandiri dan berdaulat.
"Bukan rahasia lagi, bahwa industri nasional di sektor kesehatan dan farmasi belum bisa tumbuh maksimal, juga karena masih dikendalikan oleh "mafia" dalam negeri yang berkolaborasi dengan industri raksasa medis di luar negeri," katanya.
Industri kesehatan nasional, kata dia seringkali hanya berfungsi sebagai "penyalur" dari produsen luar negeri untuk alat kesehatan.