Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Techno

AS Akan Gugat Google Karena Dianggap Monopoli Iklan, Bagaimana Dengan Indonesia?

Raksasa teknologi Amerika Serikat (AS), Google, dilaporkan bakalan digugat oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat (DOJ).

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in AS Akan Gugat Google Karena Dianggap Monopoli Iklan, Bagaimana Dengan Indonesia?
Infront Webworks
Ilustrasi lokasi di Google Maps 

TRIBUNNEWS.COM – Raksasa teknologi Amerika Serikat (AS), Google, dilaporkan bakalan digugat oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat (DOJ).

DOJ dilaporkan bersiap melakukan penyelidikan terhadap dugaan monopoli iklan platform teknologi besar di negara itu.

Komisi Perdagangan AS (FTC) telah menggugat Meta Platform Inc, serta memerintahkan perusahaan teknologi ini untuk menjual Instagram dan WhatsApp.

Selain itu, FTC juga sedang menyelidiki Amazon terkait kendalinya atas bisnis ritel online.

Menurut lembaga riset digital marketing eMarketer mengungkapkan pada tahun 2021, Google mengendalikan sekitar 28,6 persen dari 211,2 miliar dolar AS pengeluaran iklan digital di Amerika Serikat, sementara Facebook menyumbang 23,8 persen dan Amazon 11,6 persen.

Baca juga: Regulator AS Bersiap Tuntut Google Terkait Kasus Monopoli Iklan Digital

Fenomena over the top (OTT) global menguasai periklanan tersebut sejatinya juga terjadi di Indonesia dan negara-negara lainnya, saat ini pemasukan sejumlah media-media tradisional seperti televisi dan media online tergerus oleh keberadaan mereka.

Pengamat telekomunikasi MS Hendrowijoyo mengatakan, aplikasi over-the-top sebagai apa pun yang mengganggu model penagihan tradisional - dari perusahaan telekomunikasi atau perusahaan kabel / satelit.

Berita Rekomendasi

Contohnya termasuk Hulu atau Netflix untuk video (mengganti penyedia TV reguler Anda) atau Skype (menggantikan penyedia jarak jauh Anda).

Penciptaan aplikasi OTT telah menyebabkan konflik luas antara perusahaan yang menawarkan layanan serupa atau tumpang tindih. Penyedia layanan internet (ISP) tradisional dan perusahaan telekomunikasi harus mengantisipasi tantangan terkait dengan perusahaan pihak ketiga yang menawarkan aplikasi over-the-top.

“Pikirkan, misalnya, tentang konflik antara perusahaan seperti Netflix dan perusahaan kabel. Konsumen masih membayar perusahaan kabel untuk akses ke Internet, tetapi mereka mungkin menyingkirkan paket kabel mereka demi video streaming yang lebih murah melalui Internet.

Sementara perusahaan kabel ingin menawarkan unduhan cepat, ada konflik kepentingan yang melekat dalam tidak mendukung pesaing, seperti Netflix, yang memintas saluran distribusi tradisional kabel,” kata Hendro dalam tulisannya kepada Tribunnews.com.

Hendro mengatakan, tidak mudah untuk menggugat Google, juga usaha-usaha OTT yang memanfaatkan jaringan milik operator telekomunikasi tanpa membebaninya, karena mereka hanya merambat saja di atas jaringan itu.

“Secara aturan perundangan memang sulit dibuktikan bahwa mereka melanggar, sebab sama sekali tidak ada kerugian di operator pemilik jaringan, walau dampaknya terasa, iklan-iklan direbut secara drastis oleh OTT tanpa operator – dan negara – mendapat bagian dan keuntungan mereka,” ujar mantan wartawan Kompas itu.

Baca juga: Inflasi AS Buat Pendapatan Google Catatkan Penurunan di Kuartal 2 Tahun 2022

Google, Facebook dan sebagainya, menurutnya, secara fisik tidak melakukan usaha (periklanan), sebab bisnisnya tidak berwujud. Lain kalau operator menjual iklan di jaringannya, bisa terdeteksi kantor pajak dengan mudah.

Masalahnya, Indonesia dan banyak negara, bahkan AS belum memiliki aturan perundangan yang sasarannya OTT, bisnis yang wujudnya tidak terdeteksi, dikendalikan dari luar negeri meski sasaran konsumennya di dalam negeri.

Di beberapa negara Google dan kawan-kawan lolos dari gugatan supaya membayar pajak karena mereka melakukan bisnisnya dari luar yurisdiksi negara yang menggugatnya. Secara teknis pun, sulit mencegat masuknya iklan-iklan dari Google dan OTT lain, tanpa ada regulasi yang jelas dan beralasan kuat untuk memidana pelaku OTT.

Jangankan membuat regulasi anti-OTT, mengajak mereka untuk mendaftarkan diri sebagai PSE (penyelenggara sistem elektronik) lingkup privat saja, Google masih berkelit. Alasannya mereka tidak punya kantor perwakilan di sini dan yang disebut Google di Indonesia hanyalah kantor perwakilan.

Padahal pemerintah (kominfo) sudah menegaskan bahwa pendaftaran PSE ini hanya untuk pendataan bukan untuk memajaki mereka.

Baca juga: Google Luncurkan Street View di India, Enam Tahun Lalu Pernah Ditolak

Terasa kesulitan kalau negara membuat regulasi anti-OTT karena bisnis mereka tidak berwujud, tidak bisa diraba, tidak bisa dilihat, karena hanya merambat saja tidak masuk jaringan operator.

Ia memberikan contoh sebenarnya pernah ada di peradilan pidana Indonesia beberapa dekade lalu, soal kasus pencurian listrik. Jaksa tidak bisa membuktikan atau mengajukan bukti fisik tentang bentuk listrik yang diperkarakan pencuriannya.

Akhirnya dengan yurisprudensi, keputusan hukum tentang hal yang belum pernah terjadi, tetapi lalu diikuti seterusnya, pencurian listrik bisa dipidana.

“Harus mau bersusah payah membangun payung hukumnya lebih dulu, tetapi pemerintah akan menghitung untung-ruginya dengan cermat. Ribet di DPR dalam mengajukan draft rencana UU (UU), ribetnya di dunia maya yang bisa saja dibuat oleh yang berkepentingan agar RUU itu ditolak masyarakat,” terangnya.

Hendro juga menyebutkan di pihak kementerian keuangan akan ribet menetapkan formula pasal-pasalnya agar UU anti-OTT itu bisa keras tegas dan “bengis”, sehingga pemerintah dapat sumber revenue berupa pajak untuk APBN-nya. Lobi-lobi dari berbagai pihak yang berkepentingan menjelang draft RUU disampaikan ke DPR juga harus bisa diredam, terutama untuk “menjinakkan” legislator.

Namun pada dasarnya, ketika seseorang membuat bisnis di satu temat walau bukan dengan cara membuka lapak, tetapi melempar barang dagangan dari balik pagar, jika ia mendapat untung, wajib hukumnya membagi keuntungan itu kepada negara “yang dilempar”.

Belum ada Rencana Bikin Platform Serupa

Sementara itu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) meyampaikan saat ini pemerintah belum memiliki rencana dalam pembuatan platform mesin pencari layaknya Google.

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan, anggaran pemerintah Indonesia masih berfokus terhadap penanganan dampak pandemi Covid-19 saat ini.

"Saat ini, kita belum menyiapkannya karena memang kita punya waktu dan biaya selama ini kan lebih banyak perhatiannya untuk menangani Covid-19," pungkas Johnny di Gedung Kementerian Kominfo, Senin (8/8/2022).

Namun, Johnny menyebut jika suatu negara punya mesin pencari buatan sendiri, maka jadi hal bagus untuk sektor digital.

"Tentu suatu saat nanti kalau bisa mempunyai search engine, kan baik juga," ujarnya

Menurutnya, mesin pencari juga dapat menjadi bentuk independensi yang ideal bagi suatu negara, meski biayanya mahal.

"Lebih susah lagi (search engine) karena sangat besar dan mahal. Idealnya untuk independensi tentu punya search engine, ada banyak negara mempunyai search engine, AS, China, Rusia, dan Prancis, punya masing masing," katanya. (Tribunnews.com/Hendra Gunawan/Yanuar R Yovanda)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas