Banyak Anggapan Algoritma Media Sosial Menyeramkan Lantaran Takut Diawasi oleh Platform
Algoritma pada media sosial diperlukan pengguna untuk mengetahui konten apa yang mereka lihat, lalu hal tersebut disinkronisasikan oleh sistem
Penulis: Willem Jonata
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengguna sering dibuat bingung dengan kecanggihan sosial media padahal hal tersebut dikarenakan adanya sebuah sistem yang dikenal sebagai algoritma.
Algoritma memicu munculnya suatu konten di media sosial kita terkait apa yang kita cari baru-baru ini dan sistem tersebut memerlukan proses berupa masukan dan keluaran agar konten yang dihasilkan sesuai dengan tiap-tiap penggunanya.
"Algoritma pada media sosial diperlukan pengguna untuk mengetahui konten apa yang mereka lihat, lalu hal tersebut disinkronisasikan oleh sistem," kataRelawan TIK Kalimantan Selatan Azmi Irfala saat webinar bertema Mari Mengenal Algoritma Media Sosial di Kota Pontianak belum lama ini.
Selain Azmi hadir sebagai pembicara dukator Kakatu (Layanan Edukasi Digital Anak) Verra Rousmawati dan M Adi Bagus Tri P selaku Relawan TIK Kalimantan Selatan.
"Tidak hanya untuk menyaring konten, Algoritma ini berfungsi untuk meningkatkan kualitas konten," kata Relawan TIK Kalimantan Selatan Azmi Irfala.
Baca juga: Punya Cara Taklukkan Algoritma TikTok, Buzzohero Bikin Gebrakan di Dunia Digital
Azmi menjelaskan cara kerja algoritma yang secara garis besar sistem menampilkan konten secara acak dengan membaca interaksi pengguna atau pencarian terbanyak.
Selanjutnya, hasil data dari analisis sistem algoritma akan disajikan kepada penggunanya berdasarkan kesukaan masing-masing.
“Kadang kita mencari apa, namun hal tersebut muncul juga di media sosial kita padahal beda platform.
Nah, mereka itu bekerja sama melalui search engine yang kita gunakan. Email yang kita gunakan pada search engine itu sama dengan email yang kita gunakan di media sosial. Sama juga dengan marketplace, mereka bekerja sama dengan mengumpulkan data kita,” ujar Azmi.
Azmi menyayangkan masih banyak orang yang beranggapan algoritma media sosial menyeramkan lantaran takut diawasi oleh pihak platform.
Terkait etika digital, Verra Rousmawati menekankan perlunya pemahaman masyarakat terkait keamanan digital karena data-data kita akan mudah diakses oleh masyarakat luas.
Ia menggarisbawahi apabila tidak semua diantara pengakses internet merupakan orang yang baik karena setiap celah keamanan dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan, mulai dari pencurian data hingga bentuk kerusakan pada sistem.
“Misalnya, teman-teman menyukai BTS dan Blackpink. Teman-teman sering mengakses informasi-informasi mereka, maka akan otomatis di seluruh sosial media yang teman-teman miliki, contohnya Youtube, Instagram, Facebook akan muncul mengenai BTS dan Blackpink,” katanya.
Sementara M Adi Bagus Tri P menjabarkan jenis-jenis hard skill, seperti T-shaped (bisa melakukan banyak hal tetapi tidak terlalu jago dalam semuanya dan bisa berkolaborasi), M-shaped (menguasai banyak keterampilan secara umum dan menguasai beberapa keterampilan secara mendalam), dan I-shaped (menguasai hanya satu hal atau keterampilan secara mendalam).
Pemaparan dilanjutkan oleh Adi terkait piramida efektivitas belajar, dimana persentase tertinggi dihasilkan oleh cara mengajarkan kepada kawan, yakni sebesar 70-80 persen.
“Untuk membentuk karakter, diperlukan waktu yang lama memang, biasanya sistematis dan berkelanjutan. Oleh karena itu, apabila guru sedang mengajar di kelas, maka perlu diperhatikan soalnya nanti ada proses pembiasaan yang sengaja di bikin sistematis oleh ibu bapak guru untuk kebaikan adik-adik kedepannya. Maka dari itu, pembentukan karakter memerlukan pembiasaan,” tuturnya.