Sky News Australia Hapus Akun TikTok, Singgung Risiko Keamanan Data
Media berita Sky News Australia meninggalkan TikTok karena alasan keamanan data
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, CANBERRA - Media berita Sky News Australia meninggalkan TikTok karena alasan keamanan data setelah sebelumnya beberapa negara Barat melarang aplikasi video tersebut pada perangkat yang digunakan oleh para pejabat.
Adanya risiko keamanan yang ditimbulkan oleh "platform yang dikendalikan oleh China", menjadi alasan Sky News Australia memilih meninggalkan TikTok, kata editor digital Sky News Australia, Jack Houghton, pada Senin (10/4/2023)
"TikTok adalah jaringan mata-mata yang menyamar sebagai platform media sosial yang telah terbukti mencuri data jurnalis, warga negara dan politisi secara ilegal," tulis Houghton, yang dikutip dari CNN.
"Kami mendesak (organisasi media) untuk mempertimbangkan dilema ini dan berhenti memperdagangkan keamanan dan integritas untuk beberapa pandangan yang tidak berharga," tambahnya.
General Manager Operasional TikTok di Australia dan Selandia Baru, Lee Hunter, mengatakan ia menghormati hak lembaga penyiaran untuk mengambil keputusan demi melayani pemirsanya, tetapi ia menolak "tuduhan dan sindiran" yang dibuat dalam artikel Sky News Australia.
"(Tuduhan itu) sepenuhnya salah dan kami menolaknya dengan tegas," kata Hunter.
Para ahli mengatakan, kekhawatiran keamanan di balik larangan pemerintah baru-baru ini, tampaknya hanya mencerminkan potensi TikTok digunakan untuk intelijen asing, bukan karena hal itu telah terjadi.
Masih belum ada bukti publik yang menunjukkan pemerintah China benar-benar memata-matai orang melalui TikTok.
Baca juga: TikTok Dijatuhi Denda 16 Juta Dolar AS oleh Inggris, Ini Penyebabnya
Sky News Australia dimiliki oleh Rupert Murdoch's News Corp (NWSA), dan merupakan entitas yang terpisah dari lembaga penyiaran Inggris Sky News, yang dimiliki oleh Sky Group, sebuah divisi dari konglomerat Amerika Serikat, Comcast (CCZ).
Tahun lalu, pemilik TikTok, ByteDance, mengakui empat karyawannya telah mengakses data pribadi dua jurnalis dari Financial Times dan BuzzFeed secara tidak sah.
ByteDance mengatakan staf yang bersangkutan sedang menyelidiki potensi kebocoran informasi, dan mereka dipecat karena menyalahgunakan wewenang mereka untuk mengakses data pengguna TikTok.
Baca juga: Australia Larang TikTok di Perangkat Pemerintah, Dianggap Bisa Curi Data Nasional
Secara terpisah, kekhawatiran yang lebih luas telah disampaikan oleh para ahli di seluruh dunia bahwa TikTok menghadirkan risiko keamanan karena banyaknya data yang dikumpulkannya dari jutaan pengguna.
Selain itu, platform ini juga memiliki kerentanan terhadap potensi campur tangan dari pemerintah China, yang memiliki pengaruh besar terhadap bisnis di wilayah yurisdiksinya.
Larangan Pemerintah
Pemerintah Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya telah melarang aplikasi ini di perangkat pemerintah.
Pemerintah Joe Biden mengancam akan melangkah lebih jauh dengan memberlakukan larangan yang lebih luas, kecuali jika pemilik TikTok di China menjual saham mereka di perusahaan tersebut.
Larangan menyeluruh akan menghalangi akses 150 juta pengguna AS ke platform tersebut.
Baca juga: CEO TikTok Shou Zi Chew Viral di Platformnya Sendiri setelah Disidang Kongres AS Lebih dari 4 Jam
TikTok telah berulang kali membantah memiliki hubungan dengan Beijing, dan CEO-nya Shou Chew mengatakan dalam sidang kongres AS baru-baru ini bahwa ia tidak melihat bukti pemerintah China memiliki akses ke data pengguna.
Chew juga tidak melihat adanya bukti yang menunjukkan pemerintah China meminta TikTok menyerahkan data penggunanya.
Selain itu, dia mengatakan jumlah informasi yang dikumpulkan perusahaan pada pengguna tidak lebih banyak dari kebanyakan pemain industri.
Meskipun sejumlah pemerintah telah bergerak untuk menghapus TikTok dari ponsel karyawan mereka, sebagian besar perusahaan berita besar belum mengikutinya.
Bulan lalu, BBC menyarankan para stafnya untuk menghapus TikTok dari ponsel kerja mereka, mengikuti langkah serupa yang dilakukan oleh lembaga penyiaran publik Denmark, DR, tetapi lembaga penyiaran Inggris ini masih mempublikasikan kontennya di aplikasi video pendek tersebut kepada jutaan pengikutnya.
Houghton mengatakan keputusan BBC untuk melarang aplikasi tersebut namun tetap mempublikasikan konten di TikTok merupakan sebuah "paradoks", yang "membuktikan bahwa rasa lapar untuk menjangkau demografi baru telah memutarbalikkan strategi editorial di ruang redaksi secara global."
Sebelum menghapus akunnya, Houghton mengatakan Sky News Australia memiliki 65.000 pengikut dan "jutaan penayangan video."
Sky News dikenal dengan komentar konservatifnya dan pada tahun lalu digambarkan dalam sebuah laporan oleh lembaga think tank Inggris, Institute for Strategic Dialogue, sebagai "saluran sayap kanan yang penting dengan pengaruh yang semakin besar di dunia internasional."