Survei World Security Report : Indonesia Paling Terkena Dampak Akibat Kebocoran Data
Indonesia diperkirakan akan menjadi negara kedua yang paling terdampak oleh sabotase, phishing, dan social engineering di tahun mendatang.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berbagai perusahaan besar di dalam negeri memprediksi bahwa Indonesia akan menghadapi banyak ancaman eksternal dan internal tahun depan.
Salah satu ancaman ini adalah intrusi, yang didefinisikan sebagai tindakan memasuki suatu tempat atau sistem yang dilakukan tanpa izin untuk melancarkan kegiatan kriminal atau kejahatan.
Indonesia juga diperkirakan akan menghadapi dampak yang lebih besar akibat ancaman intrusi ini dibandingkan dengan negara lain.
Baca juga: Cegah Serangan Siber, UIN Imam Bonjol Tingkatkan Perlindungan Keamanan di Dunia Digital
Hal ini merupakan temuan utama dalam World Security Report yang diterbitkan oleh G4S untuk pertama kalinya.
World Security Report merupakan laporan yang melibatkan 1.775 Chief Security Officer (CSO) dari berbagai perusahaan global yang berlokasi di 30 negara dan memiliki total pendapatan yang melebihi 20 triliun dolar AS.
Managing Director G4S in Indonesia, Faisal Muzakki mengatakan, berdasarkan laporan ini, Indonesia diperkirakan akan menjadi negara kedua yang paling terdampak oleh sabotase, phishing, dan social engineering di tahun mendatang.
"Perihal ancaman internal ini, Indonesia diperkirakan akan menjadi negara kedua di bawah Kenya paling terdampak oleh kasus kebocoran data," kata Faisal dalam keterangnnya, Rabu (11/10/2023).
Indonesia dan Jepang sama-sama menduduki peringkat ketiga secara global, di mana 44 persen responden mengatakan bahwa penyalahgunaan data perusahaan akan menjadi ancaman internal yang mengkhawatirkan.
Para Chief Security Officer yang disurvei memperkirakan bahwa ancaman kejahatan ekonomi di Indonesia akan naik dari 27 persen pada tahun 2022 menjadi 60 persen pada tahun 2023.
Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan angka rata-rata global yakni 49 persen dan regional 51 persen.
Selain itu, Thailand diperkirakan akan terkena dampak lebih besar akibat kejahatan ekonomi di Asia Pasifik.
"Indonesia merupakan negara tertinggi kedua secara global setelah Amerika Serikat, di mana 62 persen CSO memandang bahwa ancaman subversi, atau kejahatan yang dilakukan untuk melemahkan keamanan sistem sehingga mudah diretas, sebagai masalah yang juga mengkhawatirkan di masa mendatang," katanya.
Banyak perusahaan di Indonesia yang menerapkan teknologi untuk mengantisipasi berbagai permasalahan yang dapat muncul.
Laporan ini menunjukkan bahwa 69 persen perusahaan Indonesia sudah menggunakan teknologi canggih di atas rata-rata regional 43 persen dan global 38 persen.
Dalam lima tahun ke depan, 62 persen CSO di Indonesia berharap dapat menggunakan lebih banyak teknologi kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran mesin (machine learning) dibandingkan dengan negara lainnya di kawasan Asia Pasifik.
Regional CEO G4S Asia Pacific Sanjay Verma, mengatakan, Asia Pasifik merupakan kawasan yang sangat penting dan dinamis bagi berbagai perusahaan besar di dunia. Banyak yang menjalankan kegiatan manufaktur dan rantai pasokan global di kawasan ini meskipun demikian, kawasan ini juga rentan mengalami ketegangan geopolitik yang terus meningkat.
“Tahun depan tampaknya akan penuh tantangan, di mana Asia Pasifik diperkirakan akan sangat terdampak oleh krisis ekonomi.
Para pemimpin perusahaan telah menyadari hal ini dan mulai berfokus mempersiapkan keamanan seiring dengan kawasan Asia Pasifik yang mengalami pemulihan pasca pandemi serta tingkat pertumbuhan yang positif pada tahun 2023," katanya.