Soroti Revisi Kedua UU ITE, Koalisi Masyarakat Sipil: Ancaman Publik Dalam Berekspresi
Sejak disahkan pada 2008 dan revisi pertama 2016, UU ITE telah mengkriminalisasi pembela hak asasi manusia.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) (Koalisi Serius) menyoroti revisi kedua UU ITE, yang dinilai mempertahankan pasal-pasal karet yang lama, dan menambah pasal baru berbahaya.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur yang tergabung dalam Koalisi Serius menyoroti bahwa revisi UU ITE masih memuat pasal-pasal bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses.
"Pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia," kata Isnur di Jakarta, Jumat (5/1/2024).
Baca juga: Revisi UU ITE Harus Mampu Perkuat Perlindungan terhadap Setiap Warga Negara
UU ITE di Indonesia dinilai sebagai salah satu contoh tren di dunia bagaimana undang-undang terkait kejahatan dunia maya disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
"Sejak disahkan pada 2008 dan revisi pertama 2016, UU ITE telah mengkriminalisasi pembela hak asasi manusia (HAM), jurnalis, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, hingga warga yang melontarkan kritik sahnya," tambah Isnur.
Koalisi Serius menyoroti tertutupnya proses revisi sehingga memberikan sedikit ruang bagi keterlibatan dan pengawasan publik. Kurangnya transparansi dianggap menimbulkan risiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan elite dibandingkan perlindungan hak asasi manusia.
"Alih-alih menghilangkan pasal yang selama ini bermasalah, koalisi menemukan bahwa perubahan Undang-undang ini masih mempertahankan masalah lama," ujar Isnur.
Pasal-pasal bermasalah itu antara lain Pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil; Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang kerap dipakai untuk membungkam kritik; hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B.
DPR bersama Pemerintah juga menambahkan ketentuan baru, salah satunya Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang. Ketentuan ini masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis. Pasal baru lainnya adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran.
Pasal tersebut antara lain berbunyi:
Pasal 27B ayat (1) berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk:
a. Memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain,
b. Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang.
Pasal 2B ayat (2) berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:
a. Memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain,
b. Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang.
Selain itu, ada juga pasal 28 ayat 3 dan pasal 45A ayat (3) tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru.
"Pasal ini berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong dalam pasal ini," terang Isnur.
Pasal 28 ayat 3 berbunyi Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.
Selain pasal-pasal pemidanaan, hasil revisi kedua UU ITE masih mempertahankan Pasal 40 yang memberikan kewenangan besar bagi pemerintah memutus akses terhadap informasi yang dianggap mengganggu ketertiban dan dan melanggar hukum.
Sebelumnya, sebanyak 68 organisasi global juga menyoroti tertutupnya proses revisi sehingga memberikan sedikit ruang bagi keterlibatan dan pengawasan publik. Kurangnya transparansi ini menimbulkan risiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan elite dibandingkan perlindungan hak asasi manusia.
Melihat berbagai masalah tersebut, yang masih eksis pada revisi kedua UU ITE, maka Koalisi Serius menyatakan:
1. Menolak dengan tegas pengundangan Revisi Kedua UU ITE oleh DPR RI dan Pemerintah karena telah mengabaikan partisipasi publik bermakna, serta terus melanggengkan pasal-pasal yang berpotensi digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan pelanggaran HAM lainnya;
2. Mendesak pemerintah untuk memastikan implementasi UU No.1/2024 agar tidak digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok kritis dan korban kejahatan yang sesungguhnya.
3. Mendesak pemerintah dan DPR RI untuk menerapkan partisipasi publik yang bermakna dalam setiap pengambilan keputusan.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menandatangani Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
UU ITE ini merupakan hasil perubahan kedua yang disahkan oleh DPR RI pada 5 Desember 2023. Dilansir dari salinan lembaran UU Nomor 1 Tahun 2024 yang telah diunggah di laman resmi Sekretariat Negara, Kamis (4/1/2024), beleid itu diteken Presiden pada 2 Januari 2024.