Sayang, seorang pengunjung tidak tahan untuk mengabadikan kedatangan si penyu. Pengunjung ini menyoroti karapas (cangkang) penyu dengan cahaya merah, lalu klik, klik, klik. Sejumlah foto dihasilkan kameranya. Namun, setelah 45 menit menempuh jarak sekitar 8 meter, penyu itu pelan-pelan putar arah dan kembali ke laut. Ia memutuskan menunda proses bertelur.

Ujan Jibarullah, pemandu yang juga anggota staf konservasi di Pangumbahan, berkali- kali mengingatkan pengunjung agar tidak menimbulkan cahaya. Penyu sangat sensitif sebelum telur benar-benar dikeluarkan, terutama pada cahaya selain dari bulan.

”Pak, tolong Pak, jangan...!” bisik Ujan ketika Kompas bergeser sedikit hanya untuk mendapat pemandangan si penyu yang lebih jelas. Dia berusaha mencegah setiap gerakan berisik yang bakal mengganggu penyu.

Namun, peringatan itu tidak mampu mengurungkan niat salah satu pengunjung yang nekat memotret tadi. Akibatnya, pupuslah harapan melihat proses penyu muncul dari laut, menyeret tubuh di pantai, hingga bertelur. Mengobati kecewa, pemandu lain, Ratno, berusaha membesarkan hati. ”Besok ada lagi,” katanya.

Namun, rombongan pengunjung ini tak punya waktu besok. Mereka, termasuk sejumlah wartawan, harus kembali ke Jakarta. Kekecewaan pun mengapung di udara. Apalagi, jika mereka mengingat betapa repotnya perjalanan menuju lokasi itu.

Berita Rekomendasi

Pengunjung dari Jakarta harus menempuh sekitar delapan jam perjalanan. Itu pun kondisi jalan penuh lubang, terkadang berkubang, sehingga kerap bikin mual.

Regenerasi lambat

Proses regenerasi penyu termasuk lambat. Seekor penyu baru mencapai kematangan untuk bereproduksi pada usia 30 tahun. Selain usia kematangan seksual yang melebihi manusia, penyu hijau tidak setiap tahun bertelur.

Menurut Agus Dermawan, Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, penyu hijau akan bermigrasi selama empat tahun sebelum kembali bertelur. Kelompok populasi penyu hijau yang bertelur di Pangumbahan terpantau bermigrasi ke kawasan perairan barat Australia.

Dalam satu masa bertelur, penyu hijau akan mendarat di Pangumbahan sebanyak 3-5 kali dengan interval 14 hari antarpendaratan. Sekali bertelur, penyu menghasilkan 56-140 telur yang akan menetas menjadi tukik atau anak penyu. Namun, dari 100 tukik, kemungkinan hanya satu tukik yang selamat dan terus tumbuh menjadi penyu dewasa.

Jumlah penyu hijau di dunia pun terus berkurang akibat maraknya konsumsi daging dan telur penyu. Karena itu, di tingkat internasional, penyu hijau dimasukkan dalam Appendix I Konvensi Perdagangan Internasional Flora dan Fauna yang Terancam Punah (Cites). Artinya, perdagangan segala produk dari penyu hijau dilarang.


Indonesia beruntung karena memiliki kekayaan hayati ini. Dari total enam jenis penyu, lima jenis hidup di Indonesia, yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivachea), dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea), dan penyu pipih (Natator depressus). Hanya satu penyu yang tidak ada di sini, yaitu penyu lekang kempi (Lepidochelys kempi).

Ekowisata

Pemerintah Indonesia juga menetapkan penyu sebagai jenis binatang yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, yang mengubah UU No 31/2004 tentang Perikanan. Tempat pendaratan penyu untuk bertelur pun dikonservasi, salah satunya Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan.