Nasi Sayur Babanci, Dulu Santapan Tuan Tanah dan Mandor
Sekilas tidak ada yang berbeda dari bangunan-bangunan di Kota Tua.
Editor: Gusti Sawabi
Tribunnews.com - Sekilas tidak ada yang berbeda dari bangunan-bangunan di Kota Tua. Museum-museum, kantor pos, kafe dan restoran berjejer di kawasan Pemerintah Hindia Belanda dulu ini. Namun siapa sangka di salah satu bangunan terdapat satu jejak kuliner Betawi yang sudah hampir punah. Nasi Sayur Babanci namanya.
Memasuki bangunan, pengunjung disambut dengan toples-toples yang berisi rempah-rempah khas Indonesia. Cengkeh, lada, kayu manis, pala, kunyit, jahe dan lengkuas dalam bentuk dikeringkan maupun bentuk bubuk warna-warni berjejer rapi di atas rak. Menengok ke atas, terdapat lampu-lampu yang dibuat dari bahan bekas yaitu pelek sepeda dengan berbagai ukuran.
Ketika berada di dalam, pengunjung serasa diajak kembali ke suasana tempo dulu. Barang-barang antik seperti peta-peta hasil reproduksi, lukisan, kaleng-kaleng produk biskuit, proyektor hingga televisi tersebar di setiap dinding restoran. Tak mau membiarkan dinding kosong, satu sisi dinding dicat dengan gaya mural dan permainan warna-warna yang sejuk.
Saya segera memilih duduk di sudut sisi dinding yang bermural. Meja dan bangku masih berbahan kayu jati. Corak-corak khas vintage membungkus bangku-bangku. Sejak awal melihat restoran ini, saya penasaran dengan menu nasi sayur babanci. Belum pernah mendengar sebelumnya. Segera saya pesan kepada pramusaji bersama satu botol sarsaparilla badak.
“Sayur babanci sudah jarang bahkan bisa dibilang hampir punah mas. Sudah jarang rumah-rumah yang bikin. Dulu dimakan orang-orang Betawi-Tionghoa tapi kalangan atas seperti mandor sama tuan tanah. Baba dan Enci jadi suka disingkat Babanci,” kata Putri Karleti, Asisten Manajer Historia Food & Bar kepada Kompas.com, Kamis (19/2/2015).
Semangkuk menu yang saya pesan akhirnya datang. Secara kasat mata, nasi sayur babanci terlihat seperti soto, gulai, dan kari. Warna kuning kuah mendominasi di antara putih dan hijau. Untuk isi sayur babanci sendiri yaitu pete, bawang goreng, daging sengkleng/daging pinggang sapi, kikil, serundeng, dan daging kelapa muda. Sementara nasi, sambal, acar, dan kecap disajikan terpisah.
Yang cukup unik pada sayur babanci ini adalah penggunaan kelapa yang mendominasi. Mulai dari kuahnya, taburan serundeng, hingga daging kelapa muda. “Nasi sayur babanci itu sebenarnya menu yang serba menggunakan kelapa. Semua bagian kelapa digunakan dari air, parutan, dan dagingnya,” katanya.
Pertama kali yang saya lakukan adalah mencicipi kuahnya. Ketika saya coba mengaduk kuahnya, terasa kental. Kemudian lidah mulai menyeruput. Gurih, asin, dan asam tercampur membuat ketagihan untuk kembali merasakan. Jeroan daging sengkleng juga terasa lembut ketika digigit. Hal itu menunjukkan daging direbus cukup lama sehingga lunak. Petai menambah ramai isi di sayur babanci ini.
Kesan kasar dan halus dari daging kelapa yang digunakan juga menambah rasa penasaran. Kasar berasal dari kelapa yang diparut lalu digoreng kering/disangrai. Sementara yang halus berasal dari irisan daging kelapa muda. Penggunaan daging kelapa muda di dalam menu berkuah ini merupakan pengalaman pertama saya selama mencicipi kuliner nusantara.
Putri menjelaskan, secara konsep restoran, pihaknya berusaha menampilkan suasana sejarah dalam restoran sesuai dengan lokasinya berada. Untuk menu, sayur babanci menjadi unggulan di sini yang ditawarkan ke masyarakat. Selain itu, menurutnya, kuliner tersebut merupakan khasanah budaya yang sebenarnya harus terus dilestarikan.
Menemani menyantap nasi sayur babanci, sebotol sarsaparilla cap badak sudah tersedia. Minuman bersoda dengan es batu menambah kuliner makin lengkap. Menurut sang asisten manajer, minuman bersoda ini merupakan produksi dalam negeri yaitu PT Pabrik Es Siantar di Siantar, Medan. Minuman yang melegenda di tanah Medan dan Pematang Siantar.
Untuk mencicipi seporsi nasi sayur babanci yang sudah hampir punah, pengunjung cukup mengeluarkan uang sebesar Rp 45.000. Sementara sebotol sarsaparilla cap badak dihargai Rp 22.000. Historia Food & Bar terletak di sebelah barat Museum Fatahillah dan sejajar dengan Bangi Kopi Tiam. "Setiap hari kami buka. Kalau hari kerja, buka dari jam 10 pagi sampai 10 malam. Kalau hari libur, buka lebih awal dari jam 8 pagi dan tutup jam 10 malam," tutupnya.
(Wahyu Adityo Prodjo)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.