Bandung Sudah Kebanyakan Hotel, Saking Tak Lakunya, Tarif Kamar Diobral Rp 70 Ribu
Saatnya moratorium pembangunan hotel baru di Bandung. Karena sudah kebanyakan. Tak logis, saking sepinya, ada yang mengobral Rp 70 ribu per malam.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Herman Muchtar menyurati Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil. Surat yang disampaikan hampir sebulan lalu tersebut hingga kini belum mendapat tanggapan.
"Mungkin Pak Ridwan Kamil sedang sibuk persiapan Konferensi Asia Afrika (KAA). Tapi kami berharap bisa segera bertemu dengan beliau," ujar Herman kepada wartawan di Bandung, Kamis (26/3/2015).
Herman mengaku beberapa kali memang bertemu di acara lain. Namun ia tidak bisa menyampaikan maksud dan tujuan PHRI melakukan diskusi dengan Emil, --demikian Ridwan Kamil biasa disapa. Sebab, menurut Herman, diskusi tersebut membutuhkan waktu panjang.
Topik yang akan disampaikan kepada Emil adalah kondisi bisnis hotel di Kota Bandung yang tidak sehat. Berdasarkan pendataan terakhir yang dilakukan PHRI, jumlah hotel di Kota Bandung mencapai 470 dengan jumlah kamar 23.000.
Jumlah ini akan terus bertambah. Sebab, dari izin yang diberikan beberapa waktu lalu, 2015 ini, jumlah kamar di Kota Bandung akan bertambah 4.000-5.000 kamar.
"Jumlahnya sangat besar. Untuk itu kami meminta pemberlakuan moratorium hotel dulu seperti yang dilakukan Bali, Yogyakarta, dan Surabaya," ucap dia.
Moratorium, sambung Herman, harus dilakukan mengingat persaingan hotel di Kota Bandung sudah tidak sehat. Misal, dalam hal tarif, banyak hotel bintang yang membanting harga. Itu bisa dilihat di portal penjual kamar hotel seperti Agoda atau Traveloka. Harga yang ditawarkan jauh di bawah rate hotel.
Kondisi ini berpengaruh pada hotel yang ada di bawahnya. Hotel bintang lima banting harga, otomatis, hotel bintang empat dan tiga, dan melati terpaksa menekan harga.
Bahkan di hotel melati, banyak hotel yang menyewakan kamar sesuai budget. Misal, ketika tamu datang ke hotel dan terlihat bingung, resepsionis akan bertanya berapa uang yang dipunya tamu.
"Ada kamar yang dijual Rp 150.000. Ada juga kamar isi empat dijual Rp 70.000 tanpa sabun, handuk, dan sarapan," ucap Herman.
Sementara itu, penasihat PHRI sekaligus pemilik hotel melati, Momon mengaku bisnisnya sudah babak belur. Meski sudah membanting harga hingga titik terendah, kamar yang dijualnya jarang laku.
Kondisi ini tidak sejalan dengan tuntutan pajak dari pemerintah. Misalnya dalam sebulan pendapatan hotel melati hanya Rp 2.000.000 lalu dipotong pajak 10 persen hingga sisanya Rp1.800.000.
Dengan pendapatan seperti itu, bagaimana bisa membayar listrik. Untuk itu, ia berharap ada peraturan wali kota yang mengatur masalah pajak. "Yang penghasilan berapa yang kena pajak, jangan disamaratakan," tutup dia. (Reni Susanti)