Museum Tsunami di Banda Aceh, Catatan Kelam yang Jadi Aset Wisata Sejarah Bumi Serambi Indonesia
Museum Tsunami di Kota Banda Aceh, dokumentasi catatan kelam bencana tsunami yang jadi aset wisata sejarah dan pendidikan.
Editor: Agung Budi Santoso
Laporan Reporter Serambi Indonesia, Nurul Hayati
TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Setelah dihempas tsunami, Kota Banda Aceh terus berusaha bangkit, termasuk dalam hal industri wisatanya.
Catatan kelam bencana tsunami pun didokumentasikan dengan rapi sebagai salah satu aset wisata sejarah yang jadi pelajaran generasi penerus untuk menyadari early warning (peringatan dini) tsunami di bumi Serambi Indonesia itu.
Adalah Museum Tsunami, bangunan yang didedikasikan untuk mengenang mahaduka yang telah merenggut lebih dari 200 ribu nyawa pada akhir 2004 silam.
Bangunan sewarna tanah mahakarya arsitek dalam negeri, Ridwan Kamil, tersebut bagai magnit yang tak penah habis untuk dikulik.
Museum Tsunami tampak luar
Setiap inci dari dinding dan semua perkakas yang bertengger di dalamnya ibarat laboratorium bencana. Di sini kita mengenang dan belajar bersahabat dengan alam.
Bangunan berasitektur unik itu berdiri anggun di jantung kota, Jalan Sultan Iskandar Muda No 3 Blang Padang, Banda Aceh.
Bangunan itu mengawinkan konsep kearifan lokal berwujud rumah panggung dengan konsep escape building hill berupa bukit untuk evakuasi bencana.
Dikelilingi Batu Prasasti
Museum tsunami, demikian nama yang tersemat pada bangunan tiga lantai dan 1 lantai dasar.
Lantai 1 merupakan area terbuka dengan kolam yang dikelilingi batu prasasti bertuliskan nama-nama negara yang menjadi donator.
Gemericik air ditingkahi pemandangan ikan hias yang menari-nari di dalam kolam menyegarkan mata yang melihat.
Sementara desau angin membelai lembut siapa saja yang datang.
Terletak di ketinggian sekitar satu meter, taman terbuka ala masyarakat urban tersebut ibarat oase yang mengalirkan kesejukan.
Tempat yang diresmikan pada 2008 lalu itu tak pernah sepi pengunjung.
Akhir pekan dan hari libur nasional menjadi puncak kunjungan.
Wisatawan lokal dan turis mancanegara tumpah ruah ke gedung yang apabila dilihat dari kejauhan menyerupai kapal laut lengkap dengan cerobongnya.
Seluruh detail bangunan yang menempel padanya melemparkan ingatan kita saat sang badai menyapu pesisir Aceh dan sembilan negara tetangga lainnya yang dijilati Samudera Hindia.
Dilengkapi Kafetaria dan Galeri Seni
Bagi yang ingin mengisi perut, pengunjung tak perlu khawati karena kafetaria siap menyuguhkan makanan maupun minuman ringan pelepas dahaga.
Kehadiran galeri seni mini yang berdiri satu atap dengan museum menawarkan buah tangan khas Aceh.
Pengunjung bisa menenteng sovenir khas Aceh dengan harga yang relatif bersahabat dengan kantong.
Tempat ini dibuka mulai jam 08.00 – 16.00 WIB setiap harinya.
Namun tatkala Serambi menyambangi tempat ini pada Sabtu, (16/5) atau bertepatan dengan libur nasional, pemerintah setempat sebagai pengelola hanya membuka lantai dasar yang notabenenya memang ruang terbuka.
Sebuah kebijakan yang membuat kening mengernyit dan hati menyimpan tanda tanya lantaran hari libur nasional justru adalah saat-saat museum tsunami dibanjiri pengunjung.
Tak kurang dari seribuan pengunjung tumpah ruah kemari setiap harinya.
Museum tsunami menempati letak strategis tepat di depan lapangan Blang Padang dan hanya terpaut beberapa meter dari masjid Raya Baiturrahman.
Bisa Naik Bentor, Sudako atau Ojek
Untuk menuju ke tempat ini ada banyak alternatif angkutan umum yang bisa dipilih.
Bisa becak motor, sudako (labi-labi), atau ojek. Jika berangkat dari seputaran Banda Aceh, maka cukup merogoh kocek ribuan atau belasan ribu saja untuk sampai kemari.
Namun bagi pengunjung yang datang dari luar daerah ada baiknya menanyakan tarif terlebih dulu sebelum menjatuhkan pilihan.
Hal ini karena banyaknya pelaku jasa angkutan nakal yang mengutip ongkos diluar tarif yang ditetapkan Organda.
Damri bisa menjadi pilihan yang tepat menjelajah kota.
Meskipun belum menjadi kota sadar wisata, namun keramahan khas orang Timur memburat dalam keseharian warga Tanah Rencong.
Jadi jangan ragu untuk bertanya.
Memasuki museum, pemandu siap mengantarkan pengunjung memasuki labirin waktu dan merasakan sensasi saat badai datang menyapa.
Menapaki lorong tsunami sepanjang 30 meter dengan ketinggian 19-23 meter ini, gemuruh air yang mengalir di kedua sisinya membekap pendengaran pengunjung.
Ditingkahi keremangan cahaya dalam ruangan sempit nan lembab yang menggambarkan ketakutan yang melanda masyarakat Aceh kala itu.
Selanjutnya pengunjung diajak memasuki ruang kenangan yang menyuguhi slide foto yang berbicara tentang nestapa yang merundung Aceh melalui perangkat-perangkat monitor.
Puluhan foto saat dan ketika evakuasi bencana dilakukan terbingkai rapi layaknya pameran , berjejer membuat terenyuh.
Sementara miniatur museum tsunami membuat pengunjung bisa melihat bangunan monumental sarat filosofis itu dari segala sisi.
Deretan Nama-nama Korban
Selanjutnya silahkan mengayunkan langkah menuju sumur doa. Ruang berbentuk silinder dengan nama-nama korban yang menempeli setiap jengkal dinding dan lafadz Allah bertulisan Arab pada puncaknya.
Pendaran lampu membuat ruangan temaram dan sempitnya ruangan membuat suara bergaung.
Dari situ pengunjung beranjak ke lorong cerobong atau lorong kebingungan.
Lantai nan berkelok sengaja dirancang untuk mengajak pengunjung merasakan gelombang kekalutan yang mendera warga yang kehilangan sanak kerabat dan harta benda.
Sinaran yang menyusup di ujung lorong mengantarkan pengujung ke jembatan harapan.
Jembatan yang melengkung ini menukilkan 54 bendera yang mengucapkan kata damai dengan bahasa masing-masing dengan simbol bendera kebangsaan.
Satu dekade telah berlalu, namun mahaduka itu masih segar dalam ingatan.
Tentu saja bukan hanya untuk dikenang tapi juga untuk diambil pengajaran.
Pemerintah setempat gencar melakukan simulasi bencana bagi warganya.
25 Desember menjadi puncak peringatan yang dihelat dalam bingkai doa bagi yang sudah menjadi korban dan harapan baru yang ditinggal.
Bagi mereka yang diberi kesempatan kedua itu penderitaan justru baru saja dimulai karena sejatinya setiap akhir adalah awal dari sesuatu yang baru.
Bencana maha dahsyat itu telah meruntuhkan sekat-sekat perbedaan dan merekatkan hubungan antar bangsa.
Wajah Banda Aceh lebih molek justru usai badai menyapa.
Datang dan buktikan sendiri.