Uniknya Ranah Minang, Tower Pembangkit Listrik Jadi Menara Masjid
Dibelah oleh Bukit Barisan, Ranah Minang memiliki alam indah dan kaya akan sumber daya alam
Editor: Yudie Thirzano
Laporan Wartawan Sriwijaya Post, Theresia Juita
TRIBUNNEWWS.COM, PADANG - Provinsi yang terletak di barat Pulau Sumatera, ini memiliki banyak kekhasan dan keunikan. Dibelah oleh Bukit Barisan, Ranah Minang memiliki alam indah dan kaya akan sumber daya alam.
Wartawan Sriwijaya Post yang pekan lalu, berkesempatan menyusuri beberapa nagari (setingkat desa) di kabupaten dan kota selama enam hari, menuliskan beberapa keunikan di Ranah Minang.
Menempuh tiga jam perjalanan ke arah timur laut Kota Padang, kita akan memasuki kota tua berjuluk Kota Tambang Batubara, yakni Kota Sawahlunto.
Kota ini diapit oleh tiga kabupaten di Provinsi Sumatera Barat, Kabupaten Tanah Datar, Solok, dan Sijunjung.
Kota multi etnik yang sempat mati setelah penambangan batubara dihentikan tersebut kini merias diri menjadi kota wisata tambang.
Kota yang dialiri Batang Ombilin ini didirikan oleh Belanda pada tahun 1888 setelah diketahui bahwa di batang (sungai) tersebut banyak sekali mengandung batubara.
Banyak bangunan tua yang kini ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah dan dirawat dengan baik.
Di antaranya, Museum Gudang Ransum, Museum Kereta Api, Bangunan Pusat Pembangkit Listrik, Kantor PT Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin dan Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto.
Kota Sawahlunto dimukim tidak hanya oleh etnik Minangkabau saja, tetapi juga etnik Jawa, Tionghoa dan Batak.
Semua ini tidak terlepas dari peran penjajahan Belanda yang membangun kota ini demi mengeksploirasi batubara yang ada di Batang Ombilin.
Di kota ini Belanda kemudian membangun pembangkit listrik pada tahun 1894.
Namun, sejak tahun 1952 pusat pembangkit listrik ini berubah fungsi menjadi masjid yang dikenal dengan nama Masjid Agung Nurul Islam Sawahlunto.
Masjid ini memiliki satu kubah besar yang dikelilingi oleh empat kubah lebih kecil.
Uniknya, tower pembangkit listrik pun disulap menjadi menara masjid yang tingginya mencapai 80 meter.
Makanan Orang Rantai
Perusahaan Tambang Batubara yang dibangun oleh Belanda di Sawahlunto selain mempekerjakan masyarakat di sekitar Kota Sawahlunto, juga memberlakukan kerja paksa (rodi) terhadap para tahanan politik dari tanah Jawa.
Tahan-tahanan politik ini tinggal di penjara bawah tanah dan dipaksa untuk bekerja sebagai penambang batubara.
Mereka diikat dengan rantai agar tidak lari, oleh sebab itu tahanan-tahanan politik ini dikenal sebagai Orang
Rantai.
Demi memenuhi kebutuhan makan para pekerja tambang dan Orang Rantai, Belanda membangun komplek dapur umum sebagai tempat untuk mengolah makanan bagi ribuan pekerja tambang.
Sebelum tahun 1912, makanan untuk pekerja tambang dipasok oleh Bangsa Tionghoa yang dikontrak oleh perusahaan tambang.
Namun, jumlah makanan dan variasi menu yang kurang serta mutu yang buruk menyebabkan Belanda menghentikan kontraknya.
Lalu, pada tahun 1912 hingga 1918, perusahaan tambang pun mengangkat pengawas dapur dari Belanda plus tiga penjaga untuk mengawasi distribusi makanan untuk pekerja tambang.
Namun, karena terjadi korupsi akhirnya cara distribusi makanan ini pun dihentikan.
Dan, pada tahun 1918, perusahaan tambang memutuskan untuk membangun Kompleks Dapur Umum untuk memasak dan memenuhi kebutuhan gizi pekerja tambang.
Kompleks Dapur Umum ini memiliki tiga tungku raksasa untuk menghasilkan uap panas dalam memasak nasi, lauk pauk dan air minum.
Kepada Sriwijaya Post, Nola Lestari (32), penjaga Kompleks Dapur Umum yang sejak tahun 2005 menjadi Museum Gudang Ransum itu bercerita.
"Saat itu, untuk memenuhi kebutuhan makan ribuan pekerja tambang dan Orang Rantai, sehari dapur umum memasak 65 pikul (3.900Kg) beras," katanya, ditemui Minggu (10/5/2015).
Untuk memasak nasi menggunakan periuk berdiameter 124 Cm sampai 134 Cm dan tinggi 60 Cm sampai 62 Cm.
Sedangkan periuk lauk pauk atau sayur dan air minum berdiameter 148 Cm, tinggi 70 Cm.
Dapur umum memasak dengan menggunakan uap air yang dihasilkan dari pembakaran batubara dari tiga tungku besar sebagai pemanas.
Uap air dari tiga tungku besar yang dibuat oleh Rohdemdam PFK Essel Fabrik pada tahun 1894, kemudian dialirkan ke dapur dengan menggunakan tabung penghubung besar.
Di Museum Gudang Ransum, selain memiliki jenis-jenis periuk dan tungku raksasa, juga ada lesung penumbuk padi/beras raksasa yang terbuat dari kayu.
Juga ada Museum Etnologi yang menampilkan pakaian penganten adat Minang Kabau, Tionghoa, Batak, dan Jawa yang mencerminkan di kota ini bermukim berbagai etnik sejak ratusan tahun lalu.