Ki Mas Hindi Menegaskan Palembang Bukan Jawa, Sejarah Museum Sultan Mahmud Badaruddin II
Setelah keraton Kuto Gawang dikuasai Belanda, Pangeran Rejek Putra Pertama mengungsi ke pedalaman.
Editor: Mohamad Yoenus
Laporan Wartawan Sriwijaya Post/Yandi Triansyah
TRIBUNNEWS.COM, PALEMBANG - Setelah keraton Kuto Gawang dikuasai Belanda, Pangeran Rejek Putra Pertama mengungsi ke pedalaman.
Namun kekuasaannya diserahkan kepada adiknya, Pangeran Ratu Ki Mas Hindi.
Ki Mas Hindi sebagai penguasa Palembang kembali mengikat hubungan dengan Mataram.
Akan tetapi Palembang hanya menerima penghinaan.
Atas sikap itulah, Palembang kemudian mengambil keputusan, bahwa hubungan ideologis kultural sudah waktunya dihentikan.
Sikap Ki Mas Hindi yang tegas, menganggap Palembang merupakan suatu kerajaan yang mandiri dengan identitas sendiri.
Ia menegaskan, Palembang adalah Palembang, bukan Jawa.
Ki Mas Hindi menunjukkan bahwa Raja Palembang sederajat dengan Raja Mataram.
Maka Ki Mas Hindi menggunakan gelar Sultan Abdurrahman bergelar Kholifatul Mukminin Sayidal Imam juga terkenal dengan Sunan Cinde Wayang.
Kondisi itulah yang membuat perubahaan besar dalam kesultanan Palembang.
Pelaminan khas Palembang yang dipajang di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. (Sriwijaya Post/Yandi Triansyah)
Hampir seluruh tata cara dan kebiasaan berubah.
Seperti keris, pakaian Jawa menjadi pakaian Melayu, aksara Jawa diganti menjadi aksara Melayu (Arab gundul).
Hanya bahasa keraton yang masih menggunakan bahasa Jawa.
Namun untuk rakyatnya, sudah menggunakan bahasa Palembang.
Cerita dan barang-barang bersejarah itu kini tersimpan di Museum Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II.
Pengunjung mengamati kain songket khas Palembang tempo dulu yang dipajang di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. (Sriwijaya Post/Yandi Triansyah)
Jika anda berkunjung ke museum ini, banyak informasi yang bisa digali mengenai Palembang di masa lalu.
Museum SMB II merupakan bangunan eks kolonial Belanda.
Berdasarkan hasil penelitian tim Arkeologi Nasional tahun 1988, di lokasi ditemukan fondasi batu bata dari bangunan Kuto Lamo, di atas tumpukan balok-balok kayu yang terbakar.
Menurut catatan, bangunan Benteng Kuto Lamo di masa Sultan Mahmud Badaruddin I (Jayo Wikramo) resmi ditempati pada hari Senin, 29 September 1737.
Pada era kepemimpinan Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II, tahun 1821 keraton ini mendapat serangan dari Pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian dibongkar habis pada 7 Oktober 1823 atas perintah Reguring Commissaris Belanda, J. L. Van Seven Hoven.
Pemerintah kolonial ingin menghilangkan monumental Kesultanan Palembang dan balas dendam atas dibakarnya Loji Sungai Aur oleh Sultan Mahmud Badaruddin II pada tahun 1811.
Atas pendudukan Kuta Besak dan penghancuran Kuta Lama, maka konsentrasi kota berada di wilayah ini.
Pasar dan kantor-kantor berdiri di lingkungan Kuta Besak, bahkan perahu-perahu pun menjadikannya tempat berlabuh yang ideal.
Melalui bangunan inilah kolonial Belanda mengendalikan sebagaian besar wilayah Sumbagsel terdiri dari Lampung, Jambi, Bengkulu, Babel dan Palembang.
Perpaduan arsitektur Eropa dan Palembang begitu tampak dari bangunan museum ini.
Museum Sultan Mahmud Badaruddin II di Jl Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. (Sriwijaya Post/Yandi Triansyah)
Bagian atap menggunakan limas, sedangkan bagian tangganya dinamakan Lingkung.
Terdapat dua tangga yang melengkung sisi kiri kanan bangunan.
Seiring dengan perjalanan waktu dan dinamika sejarah yang terjadi di Kota Palembang, fungsi bangunan ini telah silih berganti, mulai dari markas Jepang pada masa pendudukan, Teritorium II Kodam Sriwijaaya di awal kemerdekaan yang kemudian berpindah pengelolaan ke Pemerintah Kota Palembang sebelum akhirnya menjadi Museum.
Meski telah mengalami renovasi, bentuk asli bangunan tidak berubah.
Perubahan hanya dilakukan pada bagian dalam bangunan dengan menambah sekat-sekat dan penutupan pintu-pintu penghubung.
Berbeda dengan bangunan yang didirikan pada masa Kesultanan Palembang Darussalam yang umumnya memakai bahan kayu, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II memakai bahan bata.
Pengadaan koleksi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II diawali sekitar tahun 1984, bersamaan dengan dipindahkannya Museum Rumah Bari ke Museum Balaputera Dewa di Jalan Srijaya 1, KM 5.5 Palembang.
Museum Rumah Bari yang awalnya dikelola Pemerintah Kota Palembang, untuk kepentingan yang lebih besar dipindahkan ke Museum Provinsi Sumatera Selatan.
Namun pemindahan tersebut tidak beserta koleksinya.
Koleksi peninggalan Museum Bari-lah yang menjadi cikal-bakal koleksi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, selain koleksi Arca Buddha Siguntang yang terlebih dahulu berada di halaman Museum SMB II.
Meja dan kursi tamu Palembang yang terinspirasi sejak kedatangan Belanda ke Bumi Sriwijaya. (Sriwijaya Post/Yandi Triansyah)
Museum ini meyimpan arca-arca kuno diantaranya Ganesha, Amarawati dan Udha di era Sriwijaya, berbagai macam perabotan tradisional kesultanan Palembang serta sketsa yang menggambarkan perjuangan rakyat Palembang dalam usahanya mengusir penjajah Belanda.
Di dalam museum terdiri dari tujuh ruangan. Tiap-tiap ruangan menyimpan koleksinya sendiri.
Di ruangan pertama, pengunjung akan disuguhkan beberapa prasasti, seperti prasasti kedukan bukit, Boom Baru.
Namun bukan prasati aslinya melainkan miniaturnya.
Ruangan kedua, beberapa koleksi pakaian Sultan Mahmud Badaruddin II, songket, dan miniatur Masjid Agung.
Ruangan ketiga, diisi dengan koleksi kursi Sultan, dan bebera koleksi foto Sultan Palembang.
Ruangan keempat koleksi uang logam dari masa ke masa dan alat tangkapan ikan.
Ruangan lima, peralatan menikah dan lahiran. Sedangkan pelaminan dan pakaian pengantin menghiasi ruangan keenam.
Terakhir pada ruangan tujuh diisi oleh alat musik tanjidor, dan beberapa penjelasan mengenai makanan khas di Palembang.
Adapun biaya masuk ke museum untuk anak-anak Rp 1.000, pelajar Rp 2.000, dan umum Rp 5.000.
Jika Anda tertarik ingin berkunjung, museum ini terletak di Jalan Sultan Mahmud Badaruddin II No. 2, Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I.
Lokasinya tidak jauh dari Jembatan Ampera.
Museum juga berdekatan dengan heritage lainnya seperti Masjid Agung Palembang, Monpera, Benteng Kuto Besak (BKB) dan Pasar 16 Ilir Palembang.
Untuk tiba di lokasi tidak terlalu rumit.
Semua angkutan kota melintas di kawasan Jembatan Ampera.
Anda bisa menggunakan angkot rute apa saja dengan biaya Rp 4.000 per orang.